Suara.com - Keinginan pemerintah membangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda dalam waktu yang hampir bersamaan menuai kritik. Selain dinilai semakin mempertebal kesenjangan dan diskriminasi pendidikan, ide tersebut juga dianggap sebagai langkah mundur ke era kolonial.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, pemerintah harusnya menciptakan semua sekolah menjadi sekolah unggulan. Bukan justru mengkotak-kotakan berdasarkan kelas sosial.
"Mau anak orang miskin, anak yang berprestasi, anak yang tidak berprestasi, atau yang difabel, itu semua punya hak yang sama untuk mendapat sekolah unggulan. Jadi yang benar itu sekolah unggulan buat rakyat," kata Ubaid kepada Suara.com, Rabu (15/1/2024).
Keinginan pemerintah untuk membangun Sekolah Rakyat itu sebelumnya diungkap Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar setelah menggelar rapat bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 3 Januari 2024.
Cak Imin sapaan akrabnya, menyebut Prabowo menginginkan Sekolah Rakyat yang diperuntukkan khusus bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem.
Dalam pelaksanaannya akan dieksekusi oleh Kementerian Sosial atau Kemensos sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengungkap, sekolah rakyat akan dibangun menyerupai sekolah asrama atau boarding school. Selain biaya pendidikannya dijamin pemerintah alias gratis, siswa-siswa di Sekolah Rakyat juga akan mendapat asupan makanan bergizi.
Tujuan program Sekolah Rakyat, kata Gus Ipul, yakni memutus mata rantai kemiskinan. Sekalipun berada di bawah Kemensos, pelaksanaan proses belajar dan mengajarnya akan tetap melibatkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen.
”Jika orang tuanya miskin, jangan sampai anaknya jadi miskin. Ini harus diputus dengan menyekolahkan mereka,” kata Gus Ipul.
Sedangkan program untuk membuat SMA Unggulan Garuda merupakan salah satu janji kampanye Prabowo.
Setelah terpilih sebagai presiden, Prabowo melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi atau Kemendiktisaintek menargetkan membangun 40 SMA Unggulan Garuda hingga 2029.
Sekolah unggulan yang juga berbentuk asrama, bertujuan memberikan peluang yang lebih besar bagi siswa-siswa agar bisa masuk ke universitas-universitas terbaik baik di dalam maupun luar negeri.
Proses pembelajarannya juga akan menggunakan kurikulum Internasional Baccalaureate atau BI.
Setiap SMA Unggulan Garuda ditargetkan dapat menampung 480 siswa. Terdapat tiga jalur penerimaan; jalur afirmasi, reguler dan pararel.
Jalur afirmasi untuk siswa dari keluarga prasejahtera kuotanya sebesar 30 persen dari total jumlah siswa, sedangkan jalur reguler atau beasiswa kuotanya 50 persen.
Selanjutnya jalur paralel atau mandiri untuk anak dari keluarga mampu, kuota penerimaannya mencapai 20 persen dari total jumlah siswa.
"Sekolah Unggulan Garuda sudah diproses untuk bisa dimulai awal tahun 2025 ini," kata Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro, Senin, (30/12/2024).
Balik ke Era Kolonial
Ubaid menilai pemerintah semestinya berkaca pada sejarah. Sebab konstruksi pendidikan eksklusif dan terkotak-kotak berdasar kelas sosial telah terbukti hanya akan melanggengkan kebodohan.
Keinginan pemerintah membentuk Sekolah Rakyat untuk orang miskin dan Sekolah Unggulan Garuda untuk orang kaya dan berprestasi, hanya akan mengembalikan dunia pendidikan Indonesia ke masa Kolonial Belanda.
Ia mengemukakan bahwa pada masa pemerintah kolonial, hanya orang pribumi yang berasal dari golongan ningrat atau priyayi yang dapat bersekolah di Holland Inlandsche School atau HIS yang bisa mengenyam pendidikan menengah hingga tinggi.
“Kalau sekarang ada lagi sekolah unggulan dan sekolah rakyat, kita sama saja balik mundur ke era kolonial,” ungkapnya.
Pada praktinya, bakal menimbulkan kecenderungan bahwa orang miskin jangan bergaul dengan anaknya orang kaya.
"Orang tidak berprestasi nggak bisa satu circle dengan orang yang berprestasi. Jadi sama saja balik ke era kolonial, bagian dari melanggengkan kebodohan."
Sedangkan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menilai, keberadaan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan berpotensi menimbulkan segregasi sosial yang semakin kental di masyarakat.
Padahal, menurutnya, dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menyatakan, pendidikan harusnya bersifat inklusif, non-diskriminatif, demokratis dan berkeadilan.
Selain berpotensi menimbulkan segregasi sosial, kata Salim, Sekolah Rakyat yang digagas Kemensos dan Sekolah Unggulan yang digagas Kemendiktisaintek, juga dikhawatirkan semakin memperparah masalah tumpang tindih kebijakan di sektor pendidikan.
Apalagi, selain Kemensos dan Kemendiktisaintek, ada pula Kemendikdasmen dan Kementerian Agama yang telah lebih dulu mengelola pendidikan dasar, menengah hingga tinggi.
“Alih-alih untuk menciptakan tata kelola yang baik, justru melahirkan kerumitan kewenangan antar kementerian,” jelas Salim kepada Suara.com.
Namun, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian berpendapat berbeda. Dia menilai, program Sekolah Rakyat justru bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan kesenjangan pendidikan.
“Artinya, semua anak bangsa, termasuk dari kelompok keluarga miskin ekstrem maupun miskin bisa mengenyam pendidikan," ungkap Lalu kepada Suara.com.
Kendati begitu, Lalu menilai program tersebut juga harus dilakukan berdasar kajian matang. Sehingga tingkat kebermanfaatannya bagi masyarakat bisa benar-benar dipastikan.
Lalu mengklaim hingga kekinian Komisi X DPR RI belum mendapat rancangan atau konsep utuh dari Kemensos berkaitan dengan program tersebut.
Belakangan, Mensos Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyebut program Sekolah Rakyat akan dimulai dari Jakarta. Kemensos dan pemerintah bersama stakeholder terkait kekinian tengah mematang konsep.
"Tapi kami ada beberapa tempat yang nanti kami usulkan jika konsepnya sudah matang," ujarnya usai rapat di Kantor Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di Indonesia, kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap remeh. Reaksi warganet terhadap kasus YS mencerminkan budaya toxic masculinity yang masih kuat.
Sejak pagi kencang kabar Hasto akan ditahan KPK, angin berubah ketika siang hari muncul kabar dari Medan Merdeka Barat
Kasus anak tak bisa sekolah karena menunggak SPP saat ini kian mengkhawatirkan, lantaran terjadi di tengah angka putus sekolah di Indonesia yang semakin tinggi.
Gen Z memiliki keterbatasan literasi terkait isu sosial, politik, dan sejarah.
Di balik keberhasilan PSG juara Liga Champions musim ini, klub berjuluk Les Parisiens punya skandal memalukan.
Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.
Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.
"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.
"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.