Senam Politik Megawati di Era Perburuan Banteng
Home > Detail

Senam Politik Megawati di Era Perburuan Banteng

Chandra Iswinarno | Muhammad Yasir

Senin, 13 Januari 2025 | 19:20 WIB

Suara.com - Berbagai ujian harus dihadapi PDI Perjuangan jelang Kongres VI pada April 2025. Semua tak terlepas dari faktor kekalahan partai banteng moncong putih itu di Pilpres 2024. Serta, peseteruannya dengan Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi yang statusnya telah dipecat sebagai kader.

Di tengah dinamika politik yang kian memanas, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Belakangan, kursi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri disebut-sebut sebagai target perburuan selanjutnya.

Megawati saat berpidato di HUT ke-52 PDIP mengibaratkan tahun ini sebagai Tahun Vivere Pericoloso atau tahun menyerempet bahaya. Sebuah frasa dalam bahasa Italia yang pernah dipakai Soekarno sebagai judul pidato kenegaraan pada HUT ke-19 Republik Indonesia pada Tahun 1964 untuk menggambarkan situasi politik kala itu.

“Tahun Vivere Pericoloso adalah tahun menyerempet bahaya, berbagai ujian menjelang kongres ke VI nanti sudah mulai nampak,” ucap Megawati di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025).

Sebagai partai yang telah menginjak usia lebih dari setengah abad, PDIP sebenarnya sudah teruji. Sejarah mencatat bagaimana partai tersebut telah terbukti mampu melampaui rintangan terberat di masa Rezim Orde Baru.

Sebab itu, Megawati menyikapi dinamika yang terjadi saat ini tak ubahnya sebagai sebuah ‘Senam Politik’. Sambil melenggak-lenggokan tangan dan tubuh, saat berpidato di HUT ke-52 PDIP, perempuan usia 77 tahun itu menyebut senam sebagai sebuah gerakan yang teratur.

"Kalau senam kan teratur, satu, dua, tiga, empat, gitu toh,” tuturnya.

Megawati lalu menyebut istilah lain yang ia katakan sebagai 'Pencak Silat Politik’. Berbeda dengan Senam Politik, Pencak Silat Politik, kata dia, adalah ‘jurus politik’ yang tidak boleh diketahui lawan.

"Tapi kalau sudah Pencak Silat, nggak boleh ketauan dong yang mana mau diginikan,” jelas Megawati sambil memperagakan jurus silat.

“Makanya kenapa saya bilang, saya kenal jawara," ungkapnya.

“Mau tahu ini (jurus) saya?" lanjut Megawati.

"Aaah jangan nanti ketahuan," katanya disambut gelak tawa kader PDIP.

Apa itu Senam Politik?

Senam Revolusioner adalah istilah serupa yang pernah digelorakan mantan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) —saat ini BIN— Subandrio. Pria yang sempat dituding TNI AD berafiliasi dengan PKI itu tidak lain merupakan tangan kanan Bung Karno.

Dalam buku 'Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar' dijelaskan bahwa Subandrio kala itu menyerukan kelompok buruh untuk menggunakan aksi-aksi sebagai Senam Revolusioner.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan pidato saat perayaan HUT ke-52 PDIP di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Jumat (10/1/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan pidato saat perayaan HUT ke-52 PDIP di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Jumat (10/1/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Menguatkan otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh adalah tujuan daripada Senam Revolusioner demi mencapai kekuatan politik atau naar de politieke macht.

Mengutip artikel Historia.id berjudul ‘Memburu Subandrio’, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo pada Februari 1966 menggerakkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio. Sebagian besar TNI AD kala itu menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI.

Setelah G30S pecah, Subandrio melalui beberapa pidatonya menegaskan dan menolak tudingan keterlibatan PKI dalam peristiwa itu.

Bahkan ketika aksi demonstrasi menuntut pembubaran PKI di tanah air memuncak, Subandrio melontarkan perkataan ‘membalas teror dengan kontra-teror’ yang semakin menyulut konflik lebih tajam.

Pada 1967, Mahkamah Militer Luar Biasa atau Mahmilub memvonis Subandrio dengan hukuman mati. Bukan karena terindikasi PKI atau G30S, ia justru dijatuhi vonis tersebut karena dinilai subversif terkait ucapan 'membalas teror dengan kontra-teror'.

Dalam memoar 'Kesaksianku tentang G30S', Subandrio menilai pengadilan tersebut sebagai pengadilan sandiwara.

Subandrio yang menjabat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris batal divonis mati. Reputasinya sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri, membuat Presiden Amerika Lyndon B Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonis menjadi penjara seumur hidup. Setelah menjadi tahanan politik, Subandrio akhirnya bebas pada tahun 1995.

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi Kusman memaknai bahwa Senam Revolusioner dan Senam Politik harus dilihat dalam konteks politiknya.

Senam Revolusioner yang digelorakan Subandrio saat itu berada dalam konteks politik perjuangan revolusioner pasca kemerdekaan.

"Isu utama yang dikedepankan adalah memperjuangkan revolusi atau politik revolusioner. Jadi dalam rangka untuk memutus warisan Kolonialisme dan melawan yang disebut sebagai Nekolim. Sehingga pada waktu itu yang dianggap sebagai kekuatan yang harus diperkuat dalam konteks ini seperti dikatakan Subandrio itu buruh dan tani," jelas Airlangga kepada Suara.com, Sabtu (11/1/2024).

Senam Revolusioner tak ubahnya sebagai upaya persiapan melakukan aksi-aksi politik untuk kepentingan revolusi. Sedangkan, istilah Senam Politik yang digunakan Megawati dimaknai mempersiapkan atau melakukan aksi-aksi politik untuk kepentingan demokrasi.

Karena itu, Megawati dalam pidatonya juga mengatakan 'Senam dan Pencak Silat Politik saat ini tidak hanya dilakukan dirinya dan PDIP'. Namun juga dilakukan masyarakat sipil, akademisi, seniman, budayawan, pakar hukum tata negara, hingga tokoh pro-demokrasi. Sesuata yang menurut Megawati, 'memang seharusnya dilakukan di tengah situasi demokrasi yang mengelisahkan.'

"Sedangkan Pencak Silat Politik itu dalam konteks tindakan dan manuver politik yang dilakukan untuk menjaga tatanan demokrasi," ungkapnya.

Senam dan Pencak Silat Politik, lanjut Airlangga, sebenarnya juga dapat dimaknai sebagai isyarat Megawati kepada kader-kader PDIP untuk mempersiapkan diri di tahun yang diibaratkan Megawati sebagai tahun menyerempet bahaya atau tahun Vivere Pericoloso.

Sebagaimana gerakan senam yang teratur, Megawati ingin memberi pesan kepada kader-kadernya agar melakukan aksi-aksi politik yang terarah di tengah manuver-manuver politik yang ingin menggoyang PDIP.

“Itu adalah suatu isyarat yang harus dipahami dan dijalankan para kader untuk menjaga soliditas. Siapa instrukturnya Senam Politik, ya Megawati,” ujar Airlangga.

Airlangga Pribadi
Pengamat Politik Unair Airlangga Pribadi

Sindir Jokowi hingga Bahlil

Pada HUT ke-52 PDIP, Megawati berpidato sepanjang hampir 2,5 jam. Dalam suasana penuh canda, Megawati sempat mengatakan ‘emoh’ menjadi ketua umum PDIP kembali jika kader-kadernya tak bersemangat.

Saat Rapat Kerja Nasional atau Rakernas ke-V PDIP yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, pada Mei 2024 lalu, seluruh kader telah mengamanatkan Megawati untuk kembali menjadi ketua umum periode 2025-2030. Rekomendasi itu selanjutnya akan dibawa dalam Kongres VI PDIP yang dijadwalkan digelar pada April 2025.

“Katanya minta saya ketum lagi, ketum lagi, tapi anak buahku nek ngene kabeh, emoh!” ucap Megawati.

Megawati lalu menyinggung adanya upaya pihak —tidak disebutkan nama— yang ingin merebut kursi ketua umum.

“Mau nggak sama yang kepengin itu?” tanya Megawati. Lalu dijawab "Nggak!” oleh para kader yang hadir.

Ketika berpidato, Megawati juga menyinggung beberapa kader yang dipecat. Dia kemudian menyarankan kepada kader-kader yang tidak disiplin dan setia terhadap cita-cita PDIP agar mengundurkan diri. Sebab, mengundurkan diri, kata Megawati, lebih terhormat daripada dipecat.

“Sekarang sudah, bagi yang nggak senang di sini mundur wae, begitu lho. Jadi paling tidak ada kehormatan begitu. Lho, daripada dipecat," tutur Megawati.

Ucapan Megawati ini disampaikan kurang dari sebulan setelah Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Afif Nasution dipecat sebagai kader PDIP.

Mereka dipecat PDIP pada 16 Desember 2024. Pemecatan itu tidak terlepas dari manuver politik Jokowi yang mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Dukungan itu dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap keputusan PDIP yang mencalonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Tak hanya menyindir Jokowi, Megawati juga menyindir Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadahlia yang batal mendapat gelar doktor dari Universitas Indonesia.

"Sopo yang doktornya nggak jadi iku sopo yo?" tanya Megawati polos. Kader PDIP lalu berteriak ‘Bahlil’ seraya tertawa.

“Aku lupa, bener lho, bukannya saya mau ini," imbuh Megawati.

Megawati justru bersikap berbeda kepada Presiden Prabowo. Sekalipun berbeda kubu di Pilpres 2024, dalam pidatonya Megawati mengucap terima kasih kepada Prabowo yang telah menindaklanjuti keputusan MPR RI 2019-2024 mencabut TAP MPRS terkait tudingan Bung Karno berkhianat atau mendukung pemberontakan G30S.

Megawati juga menegaskan hubungannya dengan Prabowo itu baik-baik saja. Penegasan itu disampaikan untuk menyangkal persepsi orang-orang yang mengira Ketua Umum PDIP dan Gerindra itu bermusuhan.

“Orang mikir saya sama dia itu wah kayanya musuhan atau apa. Nggak! Nggak!” ucapnya.

Megawati lantas mengungkit kembali nasi goreng spesial yang pernah ia buatkan untuk Prabowo saat bersamuh ke Teuku Umar, Menteng, Jakarta pada 2019.

“Ada yang ngomong, ‘Bu, ada yang sudah minta nasi goreng’. Wee…. minta nasi goreng, lho aku saja lagi mumet banyak anakku yang enggak jadi,” kelakarnya.

Megawati blak-blakan bahwa dirinya tak perlu bertemu langsung dengan Prabowo. Sebab masih bisa mengutus seseorang.

“Aku bisa kok ngirim orang. Sampai (pesannya). Itu apa namanya? Strategi politik! Ngono wae kok raisoh mikir,” ujar Megawati disambut tepuk tangan kader.

Belakangan terungkap pada 17 Oktober 2024 atau tiga hari sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden, Megawati mengutus Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah untuk menyampaikan sikap politik PDIP ke Prabowo.

Salah satunya, PDIP menyatakan, akan bekerja sama dengan pemerintahan Prabowo. Namun tidak mengirimkan kader atau anggota di kabinet.

Airlangga menilai secara histori Megawati dan Prabowo memang tidak memiliki persoalan politik yang konfliktual. Keputusan PDIP, menolak bergabung ke dalam Kabinet Merah Putih menurutnya, justru karena masih kentalnya aliansi Jokowi.

“Karena itu fokus manuver politiknya PDIP sepertinya akan melakukan tindakan-tindakan Pencak Silat Politik itu kepada aliansi politiknya Jokowi,” ungkap Airlangga.

Sebelum menutup pidatonya, Megawati mengajak kader PDIP untuk sama-sama menghadapi Tahun Vivere Pericoloso dengan kepala tegak dan penuh rasa percaya diri. Sekaligus menegaskan kembali kepada kader-kadernya itu bahwa PDIP adalah partai berwatak Banteng Ketaton.

“Kita bukan cacing yang mudah diinjak-injak. Kita adalah partai yang berwatak Banteng Ketaton. Kita partai pelopor yang terus dan akan abadi melintasi zaman,” katanya.


Terkait

Ancaman Di Balik Ambisi Hijau Proyek Biodiesel B40: Mulai dari Kelangkaan Minyak Goreng Hingga Deforestasi
Senin, 13 Januari 2025 | 15:30 WIB

Ancaman Di Balik Ambisi Hijau Proyek Biodiesel B40: Mulai dari Kelangkaan Minyak Goreng Hingga Deforestasi

Sekilas, ambisi hijau pemerintah dengan beralih ke B40 memang tampak ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya terbarukan.

Riak-riak di Kubangan Banteng Moncong Putih: Apa Jadinya PDIP Tanpa Megawati?
Senin, 13 Januari 2025 | 12:17 WIB

Riak-riak di Kubangan Banteng Moncong Putih: Apa Jadinya PDIP Tanpa Megawati?

Megawati sempat menyinggung sebuah istilah atau frasa Italia, vivere pericoloso, yang memiliki arti tahun menyerempet bahaya.

Ancaman di Balik Deindustrialisasi Prematur: Badai Pengangguran dan Jebakan Tua Sebelum Kaya
Rabu, 11 September 2024 | 12:15 WIB

Ancaman di Balik Deindustrialisasi Prematur: Badai Pengangguran dan Jebakan Tua Sebelum Kaya

Sudah puluhan ribu buruh terkena pemutusan hak kerja atau PHK di sepanjang Januari-Agustus 2024. Sementara tua sebelum kaya semakin jadi momok yang kian meresahkan.

Terbaru
Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?
nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'! polemik

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'!

Rabu, 28 Mei 2025 | 07:56 WIB

No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.