Ancaman di Balik Deindustrialisasi Prematur: Badai Pengangguran dan Jebakan Tua Sebelum Kaya

Ancaman di Balik Deindustrialisasi Prematur: Badai Pengangguran dan Jebakan Tua Sebelum Kaya


Suara.com - Indonesia dinilai perlu menguatkan kembali sektor industri pengolahan atau manufaktur untuk naik kelas menjadi negara maju di 2045. Bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2035 bisa jadi ancaman jika pemerintah tak cepat melakukan pembenahan kebijakan di tengah kondisi Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang terus mengalami penurunan.

Sudah puluhan ribu buruh terkena pemutusan hak kerja atau PHK di sepanjang Januari-Agustus 2024. Sementara tua sebelum kaya semakin jadi momok yang kian meresahkan. 

***

Sektor manufaktur di Indonesia anjlok drastis dalam beberapa tahun terakhir. Laporan S&P Global pada 2 September 2024 mengungkapkan PMI Manufaktur turun ke 48,9. Angka ini jadi kontraksi terburuk dalam tiga tahun, akibat anjloknya permintaan dan produksi.

Seperti diketahui, PMI di bawah 50 menandakan aktivitas industri melemah, yang berdampak pada ekonomi dan tenaga kerja. Economics Director S&P Global, Paul Smith, menyebut penurunan ini jadi biang kerok badai PHK di sektor manufaktur Indonesia.

Ilustrasi PHK Massal (Antara)
Ilustrasi PHK Massal (Antara)

Sepanjang Januari-Agustus 2024 Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker RI memang mencatat angka PHK mencapai 46.240. Industri manufaktur padat karya seperti tekstil, garmen dan alas kaki adalah sektor yang paling banyak melakukan PHK. 

Ekonom Senior sekaligus Founder Core Indonesia, Hendri Saparini menyebut kondisi ini sebagai deindustrialisasi prematur. Deindustrialisasi prematur adalah fenomena ketika negara-negara berkembang mengalami penurunan peran sektor manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) mereka, tanpa terlebih dahulu menjadi negara kaya.

Hendri menyebut, indikasi deindustrialisasi prematur sudah terlihat sejak tahun 2007.

"Indikasinya itu sudah ada dan ini tidak segera dilakukan perubahan kebijakan," kata Hendri kepada Suara.com, Senin (9/9/2024).

Deindustrialisasi prematur terlihat dari kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia yang terus menurun. Pada 2002, sektor ini menyumbang 31,95 persen, sementara di Triwulan II-2024, menurut BPS, hanya 18,52 persen. 

Menurut Hendri, penurunan ini terjadi karena kurangnya kebijakan pemerintah yang mendukung industri manufaktur, terutama selama 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi.

"Sepuluh tahun terakhir ini kita tidak punya catatan-catatan yang menunjukkan bahwa memang pemerintah sedang menggalang atau mendorong industri manufaktur," jelas Hendri. 

Dalam skala global, Ekonom Harvard, Dani Rodrik, mendokumentasikan tren ini dalam sebuah makalah yang diterbitkannya. Menurutnya, negara-negara berkembang mengalami penurunan pangsa manufaktur dalam hal lapangan kerja dan nilai tambah riil, terutama sejak tahun 1980-an.

Industri manufaktur padat karya seperti tekstil, garmen dan alas kaki ialah sektor yang paling cepat terdampak. Sebab persaingannya dengan negara lain kian ketat. 

Di China misalnya, Hendri menyebut industri manufaktur padat karya seperti tekstil bisa kompetitif karena mendapat dukungan besar dari negara. Salah satunya berupa pendanaan untuk merevitalisasi mesin berbasis komputerisasi.

Sedangkan di Indonesia di tengah persaingan antar negara yang semakin ketat, kondisi sektor manufaktur justru semakin terpuruk akibat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Peraturan itu menghapus syarat pertimbangan teknis atau pertek untuk. Sehingga semakin mempermudah produk impor masuk dan mengancam industri lokal. 

"Jadi memang kebijakan-kebijakannya itu tidak support untuk menjaga agar industri kita ini tidak runtuh. Ini kan dibiarkan tumbang," beber Hendri. 

Lubang Industri

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies atau Celios Bhima Yudhistira mengungkap faktor lain di balik melemahnya industri manufaktur Indonesia. Bhima menyebut salah satu faktor utamanya ialah salah kelola kebijakan. Misalnya, pemerintah yang terlalu banyak memberikan insentif pada industri hilirisasi mineral seperti nikel. Padahal serapan tenaga kerjanya lebih kecil dibandingkan sektor manufaktur. 

Pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran bagi Bhima juga turut memberikan dampak. Contohnya, kebijakan Jokowi membangun tol yang nyatanya tidak banyak dimanfaatkan pelaku industri karena tarifnya mahal. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Jalan Tol Bangkinang-13 Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Jumat (31/05/2024). [Foto: BPMI Setpres/Kris]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Jalan Tol Bangkinang-13 Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Jumat (31/05/2024). [Foto: BPMI Setpres/Kris]

"Di sini ada mismatch. Pemerintah mengklaim telah membangun banyak infrastruktur, tapi bagi industri, infrastruktur yang dibangun tidak tepat sasaran," jelas Bhima kepada Suara.com, Senin (9/9/2024).

 Kebijakan pemerintah yang terlalu cepat menggembar-gemborkan industri ekonomi kreatif dan digital seperti e-commerce disebut Bhima juga telah menimbulkan lubang industri. Karena di tengah kondisi manufaktur yang lemah, e-commerce justru semakin masif memfasilitasi barang-barang impor. 

Kondisi di Indonesia berbeda dengan China dan Korea Selatan. Industri ekonomi kreatif dan digital di kedua negara tersebut bisa maju karena ditopang industri manufakturnya yang telah matang. Bahkan menurut Bhima sektor pariwisata di China dan Korea Selatan turut memberikan dampak terhadap industri domestik. 

 "Karena barang-barang yang dijual sebagai souvenir pariwisata itu berasal dari industri domestik. Nah di Indonesia nggak, bahkan souvenirnya juga banyak diimpor," ungkapnya. 

Ancaman Pengangguran dan Tua Sebelum Kaya

Sejak 2019-2024 setiap tahunnya jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia turun kelas menjadi kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan. Kelas menengah adalah masyarakat dengan jumlah pengeluaran berkisar Rp1-6 juta perbulan. Sedangkan kelas menengah rentan merupakan masyarakat yang jumlah pengeluarannya antara Rp500 ribu-1 juta.

Data BPS per 30 Agustus 2024 mengungkap jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta orang atau turun 9,48 juta dibanding tahun 2019. Sementara jumlah kelas menengah rentan melonjak menjadi 137,50 juta dari 128,85 juta.

 Daya beli masyarakat kelas menengah juga mengalami penurunan hingga berdampak pada pelaku usaha. Kondisi ini ditunjukkan dengan penurunan level PMI Manufaktur Indonesia dari 49,3 ke 48,9 pada Agustus 2024.

Tergerusnya daya beli masyarakat kelas menengah menurut Bhima juga disebabkan agresifnya tarif pajak pertambahan nilai atau PPN sebesar 11 persen. Parahnya pemerintah justru berencana menaikkan kembali PPN menjadi 12 persen di tahun 2025.

Ilustrasi pengangguran di Indonesia. [Istimewa]
Ilustrasi pengangguran di Indonesia. [Istimewa]

Padahal di tengah kondisi seperti ini pemerintah semestinya menurunkan tarif PPN untuk menstimulus daya beli masyarakat dan mendorong permintaan industri domestik. Kemudian selain diperlukan adanya kenaikan upah minimum yang lebih tinggi yang merujuk pada formula kebutuhan hidup layak bukan Undang-Undang Cipta Kerja, Bhima menilai jaminan perlindungan sosial juga perlu diperkuat bagi kelompok masyarakat menengah rentan. 

 "Ke depan saya pikir pemerintah harus melakukan perombakan seluruh kebijakan fiskal. Mulai dari insentif pajak yang satu tahunnya kita mengeluarkan lebih dari Rp350 triliun belanja perpajakan (tax expenditure) itu harusnya bisa untuk fokus ke industri manufaktur padat karya," imbuhnya. 

Jika tidak cepat dilakukan pembenahan, Bhima menyebut Indonesia akan menghadapi ancaman pengangguran di tengah bonus demografi. Sebab penduduk di usia produktif tidak mendapatkan pekerjaan layak di sektor formal karena industri manufakturnya sedang dalam tekanan.

"Upahnya itu di bawah upah minimum, jam kerjanya tidak pasti, dan jaminan perlindungan sosialnya juga rendah. Nah ini akan mengancam bonus demografi, kita akan tua sebelum menjadi kaya," tuturnya. 

Pada Agustus 2022 Litbang Kompas melakukan jajak pendapat untuk mengetahui persentase generasi sandwich di Indonesia. Generasi sandwich merupakan sebutan untuk orang-orang produktif (usia 15-64 tahun) yang memiliki peran ganda dalam urusan keuangan. Di mana selain harus membiayai kebutuhan hidup sendiri, mereka juga dibebani untuk memenuhi kebutuhan hidup; orang tua, saudara, hingga anaknya. Kondisi ini lantas diibaratkan seperti isian sandwich yang terhimpit di antara dua lapisan roti.

Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 9-11 Agustus 2022 terhadap 504 responden dari 34 provinsi di Indonesia itu menunjukkan 67 persen responden masuk dalam kelompok generasi sandwich. Jika ditinjau dari kelompok generasinya, responden dari generasi Y atau milenial (usia 24-39 tahun) yang paling banyak berada dalam posisi impitan ekonomi, yakni 43,6 persen. Kemudian generasi X (usia 40-55 tahun) sebesar 32,6 persen.

Sementara generasi Z (usia kurang dari 24 tahun) masuk dalam ambang kerawanan. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan 16,3 persen kelompok generasi ini hidup sebagai generasi sandwich. 

Bhima menyebut penyebab di balik fenomena generasi sandwich bukan karena gaya hidup. Melainkan akibat kegagalan pembangunan pemerintah dan pembiaran terhadap kebijakan yang salah.  

"Jadi jangan gampang kemudian menyalahkan 'oh ini karena generasi milenial hobinya ke kafe, hobinya belanja online', bukan. Tapi ini karena pendapatannya memang nggak bisa mengejar kebutuhan hidup," pungkasnya.

Tiga Strategi Reindustrialisasi

Peneliti dari  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Imaduddin Abdullah dalam tulisannya di The Conversatuion mengutarakan bahwa untuk menaikkan status ekonomi Indonesia, negara ini perlu fokus pada tiga strategi reindustrialisasi yang telah terbukti efektif di negara-negara maju.

Pertama, memanfaatkan sumber daya alam adalah kunci reindustrialisasi di tengah berkurangnya keuntungan dari buruh murah akibat robotisasi dan industri 4.0. Indonesia, dengan kekayaan mineral yang melimpah, harus menghindari "kutukan sumber daya" yang sering menimpa negara kaya mineral namun dengan pertumbuhan ekonomi rendah.

Negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat telah berhasil mendorong industrialisasi berbasis sumber daya alam di masa lalu. Dengan kemajuan teknologi, potensi ini semakin tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong hilirisasi, seperti membuka pabrik baterai mobil listrik untuk memanfaatkan kekayaan nikel Indonesia.

Ilustrasi pabrik. [Pixabay]
Ilustrasi pabrik. [Pixabay]

Kedua, Indonesia perlu berpartisipasi lebih aktif dalam rantai pasok global. Saat ini, produksi barang tidak lagi dilakukan di satu tempat, melainkan tersebar di berbagai negara. Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini dengan terlibat dalam rantai pasok yang sudah ada.

Namun, keterlibatan ini harus dilakukan secara bertahap, mulai dari produksi barang dengan nilai tambah rendah hingga yang lebih tinggi. Jepang dan Korea Selatan berhasil beralih dari produksi sederhana ke teknologi tinggi dengan model pengembangan bertahap ini, berkat kebijakan industri yang mendukung.

Ketiga, penguatan riset dan inovasi adalah kunci untuk kemajuan industri. Korea Selatan, misalnya, berhasil bertransformasi dari negara penghasil sayur dan tekstil menjadi pelopor teknologi berkat investasi besar dalam riset dan inovasi.

Di Indonesia, pendanaan riset masih sangat rendah, hanya 0,2% dari PDB, jauh di bawah negara-negara berpendapatan tinggi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan dukungan dari seluruh ekosistem inovasi, termasuk universitas dan korporasi besar, bukan hanya pemerintah.

Dengan menerapkan ketiga strategi ini, Indonesia dapat memacu pertumbuhan sektor manufakturnya dan meningkatkan posisi ekonominya di kancah global.