Kisah Kelam Perempuan Lansia, Terjebak Kekerasan dan Pengabaian

Kisah Kelam Perempuan Lansia, Terjebak Kekerasan dan Pengabaian


Suara.com - PERISTIWA memilukan dialami oleh Sarifah, perempuan lansia yang dianiaya oleh keluarganya di Banjar Dinas Bukit Tabuan, Desa Bukit, Karangasem, Bali. Ia sampai dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Karangasem setelah mengalami luka serius. Ironinya, para pelaku adalah anak, menantu, dan cucu korban. 

Ketiga pelaku yakni Fathoni anak dari Syarifah, Ida Hasanah menantu, dan cucunya Rini Febriani sudah ditetapkan Polres Karangasem sebagai tersangka pada Kamis 3 Juni 2024. Kepada polisi, ketiganya mengaku tega menganiaya korban karena kesal harus merawat Sarifah yang sudah lumpuh. 

Syarifah disinyalir sudah lama mengalami kekerasan dari anak, menantu, hingga cucunya. Sejumlah tetangganya mengaku hampir setiap pagi mendengar Sarifah mengerang kesakitan. 

Kasus ini akhirnya dilaporkan ke kepolisian setelah salah satu warga mengantarkan bantuan langsung tunai atau BLT ke rumah korban. Ketika itu warga menemukan Sarifah dalam kondisi penuh luka lebam dan merah di tubuhnya. 

Kekerasan yang dialami perempuan lansia bukan perkara baru. Berdasarkan data yang dilaporkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, dalam rentang 2022 dan 2023 terdapat 191 kasus kekerasan terhadap perempuan lansia, 158 di ranah personal, 30 di ranah publik, dan 3 lainnya di ranah negara. 

Angka ini ibarat fenomena gunung es, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Manajer penelitian dan pengetahuan The Prakarsa, Eka Afrina Djamhari menyebut hal itu disebabkan karena keterbatasan akses hukum kepada lansia. 

"lansia sendiri juga enggak berani lapor. Mereka juga merasa tidak berdaya, jadi enggak usah lapor saja dan enggak tahu mau lapor ke mana," kata Eka kepada Suara.com.

Selain itu, terdapat anggapan di masyarakat bahwa kekerasan terhadap lansia merupakan ranah domestik. Sehingga masyarakat mengggap itu hal biasa.  

Eka menjelaskan, kekerasan yang menimpa lansia, pelakunya didominasi oleh anggota keluarga. Kekerasan itu bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga secara verbal. Temuan itu berdasarkan riset yang dilakukan The Prakarsa pada 2020. 

Keengganan lansia melaporkan kekerasan yang dialaminya karena alasan merasa takut dan cemas. Persoalan ini dijelaskan dalam jurnal berjudul "Analisis Kekerasan Terhadap Orang Lanjut Usia (Lansia) Perempuan di Indonesia," yang ditulis Zulkifli Ismail dari Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya tahun 2023.

Orang lansia dinilai khawatir mendapatkan balasan yang lebih buruk jika melaporkan pelaku. Lansia juga takut jika pelaku mendapatkan masalah. Kemudian adanya rasa malu atas keadaan yang dialaminya. Selain itu, faktor hubungan kekerabatan dengan pelaku menjadi penyebab lansia enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya. 

Dalam jurnalnya tersebut juga dijelaskan, posisi rentan lansia mengalami kekerasan disebabkan penurunan fungsi fisik dan psikis. Fungsi itu berkurang karena faktor penuaan. Sehingga lansia tidak mampu melawan atau mencegah gangguan atau tindakan yang tidak menyenangkan. Akibatnya lansia harus bergantung kepada keluarganya atau orang lain. 

Kondisi itu membuat lansia menjadi rentan mengalami elder abuse atau perlakuan yang salah dari orang lain. Elder abuse meliputi tindakan kekerasan fisik, emosional, seksual, dan finansial atau pengabaian dari keluarga. 

Infografis tren kasus kekerasan terhadap perempuan lansia. [Suara.com/Rochmat]
Infografis tren kasus kekerasan terhadap perempuan lansia. [Suara.com/Rochmat]

Jurnal ini juga menyimpulkan, lansia perempuan merupakan kelompok paling rentan alami kekerasan. Sedangkan pelaku adalah orang memiliki resiko; ketidakmampuan merawat lansia, menyelesaikan persoalan secara agresif, kecanduan alkohol, depresi/tidak mampu mengendalikan stress. Selain itu, faktor lingkungan masyarakat yang menormalisasi tindakan agresfif kepada lansia. 

Kekerasan Seksual

Selain kekerasan fisik dan verbal, lansia juga rentan mengalami kekerasan seksual. Kasus terbaru pada April 2024, seorang perempuan berusia 69 tahun di Kota Sorong, Papua Barat menjadi korban pemerkosaan. 

Pemerkosaan itu juga disertai dengan tindakan kekerasan fisik dan perampokan. Pelaku sebanyak lima orang dalam kondisi mabuk saat melakukan perbuatan kejinya. 

Saat ditemukan warga, korban dalam keadaan tanpa busana dan badan penuh luka. Korban akhirnya meninggal dunia pada 5 Mei, setelah menjalani perawatan selama dua minggu di rumah sakit. 

Setahun sebelumnya, perempuan berusia 60 tahun menjadi korban pemerkosaan di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat pada malam hari, 8 Mei 2023. Pelaku bernama Amir (50), awalnya datang untuk mengobati anak korban yang terbaring sakit di rumahnya. 

Pemerkosaan terjadi saat korban pingsan setelah dicekik pelaku. Kejadian terungkap pada keesokan harinya, saat korban didapati dalam kondisi lemah tak berdaya.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan hasil penelusuran pemberitaan di media massa, pada 2020 setidaknya terdapat 10 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan lansia. Belum ada data pasti, tapi angka kekerasan seksual terhadap lansia juga diprediksi menjadi fenomena gunung es. Sebab, banyak kasus yang tidak dilaporkan. 

Persoalan kekerasan seksual terhadap lansia juga tidak dipandang serius. Bahkan dianggap sebagai hal yang lucu, seperti yang diungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Uli Pangaribuan.

"Sayangnya malah dianggap lucu, 'orang bego mana tuh yang mau perkosa lansia,' kata orang. Padahal itu nyata dari kasus yang dialami oleh teman-teman lansia. Ketika dia diperkosa kemudian dianggap sebagai bukan hal yang harus ditangani, melainkan dianggap bercanda," kata Uli saat berbincang-bincang dengan Suara.com.

Selain mengalami kekerasan seksual, perempuan lansia juga rentan mengalami kekerasan secara psikologi dari pasangangannya. Berdasarkan sejumlah kasus yang ditemui LBH APIK, terdapat beberapa perempuan lansia diancam untuk memberikan izin kepada pasangan melakukan poligami. 

"Jika dia tidak mengizinkan, dia diancam tidak dinafnakahi dan lain-lain, atua diancam diceraikan. Nah, itu juga terjadi di beberapa lansia, mau tidak mau akhirnya dia setuju untuk suaminya melakukan poligami," ujar Uli. 

Diabaikan Negara

LBH APIK menemukan banyak lansia yang tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah karena persoalan adminitrasi kependudukan. Rata-rata sering dialami oleh lansia yang tinggal sebatang kara. 

Salah satu contohnya, Kaswiyah, seorang perempuan berusia 90 tahun di Desa Karangmalang, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dia hidup seorang diri di  rumahnya yang tidak layak huni. Suaminya telah meninggal dunia dan tidak memiliki anak. Kaswiyah hampir 10 tahun  tidak tersentuh bantuan pemerintah karena tidak memiliki KTP. 

Keadaan Kaswiyah diperparah dengan kondisi kesehatan, ia sudah tidak mampu berdiri. Ia bergerak dengan merangkak. Untuk bertahan hidup, Kaswiyah menunggu belas kasih dari para tetangganya. 

Belakangan, setelah beritanya santer di media pada Januari 2024, pemerintah setempat turun tangan melakukan pendataan. Kaswiyah akhirnya dipindahkan ke Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia Klampok Brebes. 

Kondisi Kaswiyah selaras dengan penelitian The Prakarsa, berjudul "Kondisi Kesejahteraan Lansia  dan Perlindungan Sosial Lansia di Indoensia" pada 2020. 

The Prakarsa menyebut, lansia kerap luput dari bantuan pemerintah karena keterbatasan akses yang disebabkan kemampuan fisik dan kesehatan. Lansia tidak seperti kalangan muda yang mampu secara mandiri untuk mengakses secara lansung data kependudukan. Sehingga mereka kerap tidak terdata.

Komnas Lansia

Untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dialami lansia, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. 

Peneliti The Prakarsa Eka Afrina Djamhari mengatakan, UU Nomor 13 1998 sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Banyak persoalan lansia yang belum diatur dalam UU tersebut. 

Dalam revisi aturan itu harus memuat cakupan perlindungan sosial bagi lansia. Kemudian, pendekatannya harus memiliki pandangan pemenuhan hak lansia. 

"Kami sih mendorong agar penyelenggaraan perlindungan sosial itu untuk semua lansia. Kalau bisa universal, seluruh lansia, mau itu dia kaya atau miskin, atau dia punya kebutuhan khusus atau tidak," katanya. 

Kemudian, dalam revisi UU Nomor 13 tahun 1998 harus memuat soal pembentukan Komisi Nasional Lanjut Usia atau Komnas Lansia. Sebelumnya Komnas Lansia sudah ada, tapi dibubarkan  Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2020 pada 26 November 2020.

Sebelumnya, alasan pemerintah membubarkan Komnas Lansia ketika itu salah satunya karena birokrasi pemerintah dianggap terlalu gemuk. Kemudian, fungsinya dapat diambil alih kementerian teknis, dan efisiensi anggaran yang disebabkan pandemi covid-19.

Menurut Eka, Komnas Lansia perlu dibentuk kembali dan harus berdiri secara independen, tidak berada di bawah Kementerian Sosial seperti sebelumnya. Kelembagaannya harus seperti Komnas Perempuan atau Komnas HAM yang spesifik menangani permasalahan lansia. 

Kebutuhan dibentuknya kembali Komnas Lansia sekaligus menghadapi peningkatan populasi Lansia. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia sudah memasuki fase struktur umur penduduk menua pada 2020. Jumlah lansia pada 2020 sebanyak 26,78 juta, diprediksi akan meningkat menjadi 78,86 juta pada 2050. 

BPS membagi lansia dalam tiga kategori, lansia muda: umur 60-69 tahun, lansia madya: umur 70-79 tahun, dan lansia tua: umur 80 tahun ke atas. 

Revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia sendiri sudah masuk dalam program legislasi nasional atau prolegnas beberapa kali, yakni pada 2020 dan 2022. 

Terbaru pada Januari 2024, undang-undang ini kembali masuk prolegnas. Suara.com telah menghubungi ketua Panja UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia, yakni Diah Pitaloka untuk menanyakan tindaklanjut pembahasan regulasi tersebut. Tapi hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan belum memberikan jawaban.