Stigma Ganda Menyelimuti Korban Pelecehan Seksual Hasyim Asy'ari
Home > Detail

Stigma Ganda Menyelimuti Korban Pelecehan Seksual Hasyim Asy'ari

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Selasa, 09 Juli 2024 | 06:55 WIB

Suara.com - CAT merasa puas dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP yang menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari. Pernyataan itu disampaikannya langsung dihadapan awak media usai persidangan di kantor DKPP, Jakarta Pusat, pada Rabu 3 Juli 2024. 

CAT sengaja datang dari Belanda untuk mengikuti dan melihat langsung proses pembacaan putusan sidang etik terhadap Hasyim. Dia berharap perjuangannya mencari keadilan atas kekerasan seksual yang dilakukan Hasyim kepadanya menjadi insprirasi bagi korban lain untuk berani bersuara. 

"Ini sangatlah tidak mudah bagi saya. Dari awal sampai sekarang ini saya mengalami up and down yang cukup besar. Yang mana saya terkadang juga bingung, tapi saya didampingi oleh kuasa hukum yang sangat hebat, sampai hasil yang pada hari ini telah ditentukan," kata CAT dikutip Suara.com.

Keberanian CAT tampil dihadapan publik layak diapresiasi, terutama keberaniannya yang mengungkap perbuatan tercela Hasyim. Bagi korban tidak mudah untuk bersuara, khawatir mendapat stigma negatif dari masyarakat. Bahkan tak jarang statusnya sebagai korban turut dipertanyakan.

Kasus ini juga tak bisa dipisahkan dari adanya relasi kuasa, sehingga membuat situasi CAT seabagai korban sangat berat. Relasi kuasa juga turut membuat kekerasan seksual pada proses penyelenggaran pemilu menjadi fenomena gunung es. 

Merujuk pada putusan DKPP, Hasyim disebut terbukti melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap CAT, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN Den Haag, Belanda. Kasus ini berawal dari laporan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) pada April 2024. 

Berdasarkan putusan DKPP, Hasyim mendekati CAT saat pelaksanaan bimbingan teknis yang digelar di Bali pada 30 Juli 2023. Saat itu pula Hasyim meminta korban untuk menghubunginya lewat pesan Whatsapp. 

Sejak saat itu, Hasyim terus berupaya meminta CAT untuk menjalin hubungan asmara dengannya. Penyintas sudah beberapa kali menolak karena Hasyim sudah memiliki istri dan anak.

Ketika kunjungan kerjanya ke Belanda, pada 3-7 Oktober 2023, Hasyim memanfaatkan untuk tetap berupaya merayu CAT. Hingga akhirnya Hasyim memaksa CAT untuk berhubungan badan. Hasyim juga berjanji akan menikahi CAT. Janji itu tertuang dalam surat pernyataan bermaterai yang dibuatnya pada Januari 2024. 

Selain itu, DKPP menyebut Hasyim sengaja merubah ketentuan pada pasal 90 ayat 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2022 untuk memuluskan upayanya mendekati korban. 

Sebelumnya, pada pasal itu menyatakan, larangan pernikahan, pernikahan siri dan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah dengan sesama penyelenggara pemilu selama masa jabatannya. Pada perubahannya, menjadi hanya larangan berada dalam ikatan perkawinan dengan penyelenggara pemilu. 

Jadi Korban Kedua Kali

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Uli Pangaribuan mengapresiasi keberanian CAT untuk tampil dihadapan publik, meski menurutnya itu adalah pilihan korban. 

Uli mengatakan, bagi kebanyakan korban seksual tidak mudah untuk bersuara atau melaporkan peristiwa keji yang dialaminya. Berdasarkan sejumlah kasus kekerasan seksual yang pernah diadvokasi LBH APIK, saat korban berani berbicara atas peristiwa yang dialaminya, tidak semua orang bisa langsung mempercayainya. Apalagi di kasus ini melibatkan ketua KPU RI. 

"Bisa jadi tudingannnya macam-macam, apalagi yang dihadapi adalah pejabat publik. Bisa saja pendapat orang enggak mendukung korban, karena pasti ada stigma, menyalahkan korban," kata Uli kepada Suara.com, Jumat (5/7).

Stigma ini pula yang menjadikan pengadu kekerasan seksual  kembali menjadi korban untuk kedua kalinya. Pertama dia menjadi korban kekerasan seksual, kedua menjadi korban stigma negatif dari masyarakat. 

Uli menyayangkan komentar nitizen di media sosial yang menyerang CAT. Berdasarkan penelusuran Suara.com, usai CAT tampil di depan sorotan kamera media, sejumlah pengguna media sosial memberikan komentar negatif yang terkesan menyalahkannya. Bahkan terdapat nitizen yang menilai CAT tak harusnya tampil karena peristiwa yang dialaminya dianggap aib. 

Seharusnya, kata Uli, masyarakat memberikan dukungan kepada CAT karena status sebagai penyintas. Menurutnya sangat jarang penyintas seberani dan setangguh CAT. Selain itu,  komentar negatif kepada CAT juga berpotensi membungkam korban kekerasan seksual lainnya. 

"Nah, bagaimana korban yang lain berani muncul? enggak bakal berani. Ternyata begini, rugi juga dong berani bersuara, toh akhirnya disalahkan," tuturnya. 

Sebagaimana diketahui, selain perkara CAT, nama Hasyim juga diduga terseret kasus yang sama dengan perempuan berinisial H yang sudah diadukan ke DKPP dan telah diputus tidak terbukti. Kemudian terdapat pula dugaan kekerasan seskual yang menyeret nama Ketua KPU Manggarai Barat dan Ketua KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Relasi Kuasa

Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama Hasyim Asy'ari tak bisa dipisahkan dari kentalnya relasi kuasa. Pada kasus ini Hasyim menduduki posisi sebagai pejabat tertinggi penyelengaraan pemilu di Indonesia, sedangkan CAT hanya  anggota pelaksana. 

"Jadi relasinya cukup jauh. Dia (CAT) bukan ketua PPLN, tapi hanya pelaksana. Jadi mungkin saja ini yang membuat korban akhirnya sulit untuk bisa melaporkan kasusnya dan menunggu lama," kata Uli. 

infografis kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaraan pemilu. [Suara.com/Iqbal]
infografis kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaraan pemilu. [Suara.com/Iqbal]

Dalam artikel yang ditulis Dosen Kajian Gender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo di laman The Conversation berjudul 'Pelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu' menyebutkan, korban kekerasan seksual biasanya berada dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara. Ketimpangan hubungan disebabkan berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnis, kepercayaan, dan afiliasi politik, sehingga mengakibatkan lemahnya posisi korban. 

Sebaliknya, pelaku berada pada posisi tawar yang lebih kuat daripada korban dalam berbagai aspek. Misalnya: usia, jabatan (kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru mengaji, pemuka agama, dan sebagainya), kelas sosial, kelas ekonomi, dan kelompok mayoritas.

Menurutnya, hubungan seksual yang sehat sejatinya dilakukan karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak. 

"Namun 'persetujuan' patut dipertanyakan ketika hubungan seksual dalam ketimpanan relasi dimulai dengan kekerasan dan paksaan. Oleh karenanya dalam hubungan seksual tersebut tidak terdapat persetujuan," kata Lidwina.  

Ditinjau dari penjelasan Lidwina, Hasyim sebagai ketua KPU memiliki kekuasan dan wewenang. Sementara CAT sebagai PPLN berada dalam posisi yang timpang. Hal ini selaras dengan  putusan DKPP yang menyebut Hasyim memanfaatkan pekerjaannya sebagai ketua KPU untuk kepentingan hasrat seksualnya. Kemudian pasal PKPU yang diubahnya agar bisa mendekati CAT. 

Fenomena Gunung Es

Komnas Perempuan juga mengamini bahwa kasus kekerasan seksual yang dialami CAT kental dengan relasi kuasa. Disebutkan relasi kuasa ini pula yang menjadikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyelenggaraan pemilu menjadi fenomena gunung es. 

"Kekerasan yang dialami korban kerap tidak dilaporkan karena tebalnya relasi kuasa antara korban dan pelaku," kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini kepada Suara.com. 

Adanya relasi kuasa berdampak pada perangkat hukum yang tidak memberikan perlindungan kepada korban. Akibatnya, kata Theresia, impunitas bagi pelaku terus terjadi, kasus berulang dan korban terabaikan dari proses pemulihan.

Merujuk pada catatan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaran pemilu mengalami peningkatan. Setidaknya DKPP pada periode 2017-2022 menangani 25 kasus kekerasan seksual. Perioden 2022-2023 terdapat 4 kasus. Sementara pada 2023 mengalami peningkatan menjadi 54 kasus yang dilaporkan ke DKPP. 


Terkait

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?
Kamis, 27 Maret 2025 | 19:08 WIB

Update Kasus Kekerasan Seksual Eks Kapolres Ngada: Komnas HAM Ungkap Temuan Baru, Apa Itu?

Di awal bulan Juni 2024, Fajar meminta F agar dibawakan seorang anak perempuan yang berusia balita dengan alasan menyukai dan menyayangi anak kecil

UU TPKS: Jalan Terjal Beban Pembuktian dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Kamis, 20 Maret 2025 | 14:33 WIB

UU TPKS: Jalan Terjal Beban Pembuktian dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Tidak sedikit korban pelecehan seksual terkendala dalam soal pembuktian, maka sangat diperlukan adanya ketersediaan perangkat hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan korban

Geram Puan Maharani, Minta Eks Kapolres Ngada Harus Dipecat dan Dihukum Berat
Senin, 17 Maret 2025 | 16:53 WIB

Geram Puan Maharani, Minta Eks Kapolres Ngada Harus Dipecat dan Dihukum Berat

Puan mengingatkan Polri agar kasus seperti itu jangan sampai terulang di kemudian hari

Aksi Bejat Eks Kapolres Ngada, Lakukan Kekerasan Seksual Anak Hingga Sebar Video ke Forum Pedofilia
Sabtu, 15 Maret 2025 | 10:27 WIB

Aksi Bejat Eks Kapolres Ngada, Lakukan Kekerasan Seksual Anak Hingga Sebar Video ke Forum Pedofilia

Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, jadi tersangka kekerasan seksual pada 4 korban, 3 di bawah umur. Ia juga terlibat narkoba dan edarkan video porno ke darkweb.

Terbaru
Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?
polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'? polemik

Sudah Lama Diperjuangkan, Bonus Lebaran Ojol Malah Jadi 'Bumerang'?

Rabu, 26 Maret 2025 | 21:05 WIB

Nominal BHR dari aplikator ke pengemudi ojol yang Rp50 ribu sangat tidak manusiawi.

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang? polemik

Nama Febri Diansyah di Pusaran Kasus SYL: Bagaimana Advokat Bisa Terseret Dugaan Pencucian Uang?

Selasa, 25 Maret 2025 | 12:05 WIB

Kemunculan nama Febri dan rekan-rekannya memicu pertanyaan, bagaimana advokat bisa terseret dalam dugaan pencucian uang kliennya sendiri?

Budaya Pungli THR Ormas: Kesenjangan Ekonomi Hingga Lemahnya Penegakan Hukum polemik

Budaya Pungli THR Ormas: Kesenjangan Ekonomi Hingga Lemahnya Penegakan Hukum

Selasa, 25 Maret 2025 | 09:28 WIB

Pungli permintaan THR oleh ormas disebabkan negara gagal memberikan penghidupan kepada warganya.

Wacana Pencabutan Moratorium PMI ke Arab Saudi: Jangan Hanya Demi Devisi, Tapi Abai Nasib Pekerja polemik

Wacana Pencabutan Moratorium PMI ke Arab Saudi: Jangan Hanya Demi Devisi, Tapi Abai Nasib Pekerja

Senin, 24 Maret 2025 | 12:09 WIB

Moratorium yang telah berlaku selama 10 tahun ini akan dibuka dengan target pengiriman 600 ribu PMI.