Stigma Ganda Menyelimuti Korban Pelecehan Seksual Hasyim Asy'ari

Stigma Ganda Menyelimuti Korban Pelecehan Seksual Hasyim Asy'ari


Suara.com - CAT merasa puas dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP yang menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari. Pernyataan itu disampaikannya langsung dihadapan awak media usai persidangan di kantor DKPP, Jakarta Pusat, pada Rabu 3 Juli 2024. 

CAT sengaja datang dari Belanda untuk mengikuti dan melihat langsung proses pembacaan putusan sidang etik terhadap Hasyim. Dia berharap perjuangannya mencari keadilan atas kekerasan seksual yang dilakukan Hasyim kepadanya menjadi insprirasi bagi korban lain untuk berani bersuara. 

"Ini sangatlah tidak mudah bagi saya. Dari awal sampai sekarang ini saya mengalami up and down yang cukup besar. Yang mana saya terkadang juga bingung, tapi saya didampingi oleh kuasa hukum yang sangat hebat, sampai hasil yang pada hari ini telah ditentukan," kata CAT dikutip Suara.com.

Keberanian CAT tampil dihadapan publik layak diapresiasi, terutama keberaniannya yang mengungkap perbuatan tercela Hasyim. Bagi korban tidak mudah untuk bersuara, khawatir mendapat stigma negatif dari masyarakat. Bahkan tak jarang statusnya sebagai korban turut dipertanyakan.

Kasus ini juga tak bisa dipisahkan dari adanya relasi kuasa, sehingga membuat situasi CAT seabagai korban sangat berat. Relasi kuasa juga turut membuat kekerasan seksual pada proses penyelenggaran pemilu menjadi fenomena gunung es. 

Merujuk pada putusan DKPP, Hasyim disebut terbukti melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap CAT, anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri atau PPLN Den Haag, Belanda. Kasus ini berawal dari laporan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) pada April 2024. 

Berdasarkan putusan DKPP, Hasyim mendekati CAT saat pelaksanaan bimbingan teknis yang digelar di Bali pada 30 Juli 2023. Saat itu pula Hasyim meminta korban untuk menghubunginya lewat pesan Whatsapp. 

Sejak saat itu, Hasyim terus berupaya meminta CAT untuk menjalin hubungan asmara dengannya. Penyintas sudah beberapa kali menolak karena Hasyim sudah memiliki istri dan anak.

Ketika kunjungan kerjanya ke Belanda, pada 3-7 Oktober 2023, Hasyim memanfaatkan untuk tetap berupaya merayu CAT. Hingga akhirnya Hasyim memaksa CAT untuk berhubungan badan. Hasyim juga berjanji akan menikahi CAT. Janji itu tertuang dalam surat pernyataan bermaterai yang dibuatnya pada Januari 2024. 

Selain itu, DKPP menyebut Hasyim sengaja merubah ketentuan pada pasal 90 ayat 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2022 untuk memuluskan upayanya mendekati korban. 

Sebelumnya, pada pasal itu menyatakan, larangan pernikahan, pernikahan siri dan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah dengan sesama penyelenggara pemilu selama masa jabatannya. Pada perubahannya, menjadi hanya larangan berada dalam ikatan perkawinan dengan penyelenggara pemilu. 

Jadi Korban Kedua Kali

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Uli Pangaribuan mengapresiasi keberanian CAT untuk tampil dihadapan publik, meski menurutnya itu adalah pilihan korban. 

Uli mengatakan, bagi kebanyakan korban seksual tidak mudah untuk bersuara atau melaporkan peristiwa keji yang dialaminya. Berdasarkan sejumlah kasus kekerasan seksual yang pernah diadvokasi LBH APIK, saat korban berani berbicara atas peristiwa yang dialaminya, tidak semua orang bisa langsung mempercayainya. Apalagi di kasus ini melibatkan ketua KPU RI. 

"Bisa jadi tudingannnya macam-macam, apalagi yang dihadapi adalah pejabat publik. Bisa saja pendapat orang enggak mendukung korban, karena pasti ada stigma, menyalahkan korban," kata Uli kepada Suara.com, Jumat (5/7).

Stigma ini pula yang menjadikan pengadu kekerasan seksual  kembali menjadi korban untuk kedua kalinya. Pertama dia menjadi korban kekerasan seksual, kedua menjadi korban stigma negatif dari masyarakat. 

Uli menyayangkan komentar nitizen di media sosial yang menyerang CAT. Berdasarkan penelusuran Suara.com, usai CAT tampil di depan sorotan kamera media, sejumlah pengguna media sosial memberikan komentar negatif yang terkesan menyalahkannya. Bahkan terdapat nitizen yang menilai CAT tak harusnya tampil karena peristiwa yang dialaminya dianggap aib. 

Seharusnya, kata Uli, masyarakat memberikan dukungan kepada CAT karena status sebagai penyintas. Menurutnya sangat jarang penyintas seberani dan setangguh CAT. Selain itu,  komentar negatif kepada CAT juga berpotensi membungkam korban kekerasan seksual lainnya. 

"Nah, bagaimana korban yang lain berani muncul? enggak bakal berani. Ternyata begini, rugi juga dong berani bersuara, toh akhirnya disalahkan," tuturnya. 

Sebagaimana diketahui, selain perkara CAT, nama Hasyim juga diduga terseret kasus yang sama dengan perempuan berinisial H yang sudah diadukan ke DKPP dan telah diputus tidak terbukti. Kemudian terdapat pula dugaan kekerasan seskual yang menyeret nama Ketua KPU Manggarai Barat dan Ketua KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Relasi Kuasa

Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama Hasyim Asy'ari tak bisa dipisahkan dari kentalnya relasi kuasa. Pada kasus ini Hasyim menduduki posisi sebagai pejabat tertinggi penyelengaraan pemilu di Indonesia, sedangkan CAT hanya  anggota pelaksana. 

"Jadi relasinya cukup jauh. Dia (CAT) bukan ketua PPLN, tapi hanya pelaksana. Jadi mungkin saja ini yang membuat korban akhirnya sulit untuk bisa melaporkan kasusnya dan menunggu lama," kata Uli. 

infografis kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaraan pemilu. [Suara.com/Iqbal]
infografis kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaraan pemilu. [Suara.com/Iqbal]

Dalam artikel yang ditulis Dosen Kajian Gender dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo di laman The Conversation berjudul 'Pelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu' menyebutkan, korban kekerasan seksual biasanya berada dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara. Ketimpangan hubungan disebabkan berbagai faktor seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnis, kepercayaan, dan afiliasi politik, sehingga mengakibatkan lemahnya posisi korban. 

Sebaliknya, pelaku berada pada posisi tawar yang lebih kuat daripada korban dalam berbagai aspek. Misalnya: usia, jabatan (kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru mengaji, pemuka agama, dan sebagainya), kelas sosial, kelas ekonomi, dan kelompok mayoritas.

Menurutnya, hubungan seksual yang sehat sejatinya dilakukan karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak. 

"Namun 'persetujuan' patut dipertanyakan ketika hubungan seksual dalam ketimpanan relasi dimulai dengan kekerasan dan paksaan. Oleh karenanya dalam hubungan seksual tersebut tidak terdapat persetujuan," kata Lidwina.  

Ditinjau dari penjelasan Lidwina, Hasyim sebagai ketua KPU memiliki kekuasan dan wewenang. Sementara CAT sebagai PPLN berada dalam posisi yang timpang. Hal ini selaras dengan  putusan DKPP yang menyebut Hasyim memanfaatkan pekerjaannya sebagai ketua KPU untuk kepentingan hasrat seksualnya. Kemudian pasal PKPU yang diubahnya agar bisa mendekati CAT. 

Fenomena Gunung Es

Komnas Perempuan juga mengamini bahwa kasus kekerasan seksual yang dialami CAT kental dengan relasi kuasa. Disebutkan relasi kuasa ini pula yang menjadikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyelenggaraan pemilu menjadi fenomena gunung es. 

"Kekerasan yang dialami korban kerap tidak dilaporkan karena tebalnya relasi kuasa antara korban dan pelaku," kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini kepada Suara.com. 

Adanya relasi kuasa berdampak pada perangkat hukum yang tidak memberikan perlindungan kepada korban. Akibatnya, kata Theresia, impunitas bagi pelaku terus terjadi, kasus berulang dan korban terabaikan dari proses pemulihan.

Merujuk pada catatan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) kasus kekerasan berbasis gender dalam proses penyelenggaran pemilu mengalami peningkatan. Setidaknya DKPP pada periode 2017-2022 menangani 25 kasus kekerasan seksual. Perioden 2022-2023 terdapat 4 kasus. Sementara pada 2023 mengalami peningkatan menjadi 54 kasus yang dilaporkan ke DKPP.