Suara.com - Dia terpaksa meninggalkan Nduga, Papua, mengungsi karena perang. Tapi di pengungsian, justru ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Dituduh membantai 17 pekerja PT Istaka Karya, terancam hukuman mati. Mispo sebenarnya masih anak-anak.
MISPO Gwijangge yang mengenakan rompi merah berlogo tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, hanya duduk terdiam di bangku barisan belakang Ruang Sarwata, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 27 Februari 2020.
Sudah hampir empat jam Mispo berada di gedung peradilan yang jauh dari kampung halamannya. Sejak tiba pukul 12.00 WIB bersama sejumlah tahanan lainnya dari Rumah Tahanan Salemba, Mispo tak kunjung dipanggil masuk ke depan meja hijau.
Sore itu, Mispo bersama penerjemah dan kuasa hukum dari Tim Advokasi Papua terus menunggu kedatangan majelis hakim yang tak juga tampak batang hidungnya.
Mispo terus menunggu sembari duduk. Raut mukanya datar. Tak juga ia banyak berbicara, pun kepada kuasa hukum.
Sekitar pukul 16.00 WIB, barulah petugas memberikan perintah agar Mispo, penerjemah, serta kuasa hukum untuk masuk ke ruang persidangan.
Tak lama Mispo duduk di kursi pesakitan. Panitera melalui pelantang suara memberitahukan, persidangan dibatalkan.
“Persidangan dibatalkan, majelis hakim sudah pulang,” pernyataan pendek panitera yang membuat Mispo terbengong-bengong.
Mispo kecewa, karena sudah lama menunggu persidangan yang bakal menentukan nasibnya: terpenjara seumur hidup di Indonesia, hukuman mati, atau kembali sebagai orang bebas ke kampung halaman.
Sudah lama dia meninggalkan tanah Papua. Lebih dari setahun tidak bersua sang bunda. Selama itu pula mereka sama-sama tidak mengetahui nasib masing-masing. Ibu tak tahu Mispo dibawa ke Jakarta sebagai tahanan.
“Sidang akan dijadwalkan ulang Selasa (3/3) pekan depan,” begitu keterangan panitera.
Sidang yang ditunggu-tunggu Mispo itu beragendakan menjelaskan hasil uji forensik gigi untuk mengetahui usianya.
Warga Distrik Yugi, Kabupaten Nduga, Papua ini ditangkap atas tuduhan terlibat saat peristiwa pembunuhan pekerja PT Istaka Karya di area proyek Jalan Trans Papua, 2 Desember 2018.
Mispo dituduh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat—sayap militer Organisasi Papua Merdeka, yang melakukan penyerangan di area tersebut karena diduga para pekerja adalah anggota zeni militer.
Belakangan, tim kuasa hukum menemukan bukti Mispo saat peristiwa itu baru berusia 14 tahun, sehingga seharusnya tak bisa diadili. Lagi pula, bukti lain menunjukkan Mispo tak ada di lokasi saat kejadian.
Mispo tidak bisa berbahasa Indonesia. Dia buta huruf, karena tak pernah bersekolah. Adalah Diaz Gwijangge, yang setelah kasus itu diserahkan polisi ke kejaksaan, menjadi penerjemah bagi Mispo.
“Saya tidak pernah terlibat seperti yang dituduhkan. Saya tidak tahu apa-apa,” kata Mispo memakai bahasa Nduga Papua dan diterjemahkan Diaz kepada Suara.com.
Penganiayaan
MISPO berteriak kesakitan ketika kapak yang diayunkannya untuk membelah kayu bakar justru mengena kaki, pekan terakhir November 2018.
Darah mengucur pada kakinya. Lukanya cukup dalam. Tertatih-tatih ia kembali dari hutan ke honai atau rumah di kampung Yigi, Nduga.
Sejak menderita luka, Mispo dilarang ibunya untuk bekerja. Dia sendiri memang tak bisa berjalan karena luka pada telapak kakinya cukup dalam.
Mispo sehari-hari menjadi petani kebun dan mencari kayu bakar untuk kebutuhan keluarga. Dia tinggal bersama ibu dan ketiga saudaranya.
Dia sebenarnya memunyai keinginan bersekolah. Tapi, Mispo terpaksa dalam-dalam mengubur keinginannya untuk bersekolah, agar bisa membaca dan menulis, serta mengubah nasibnya dan keluarga.
Tak ada pilihan bagi Mispo, selain membantu ibu bekerja demi kehidupan sehari-hari. Sebab sang ayah sudah meninggal dunia ketika Mispo masih kecil.
Mispo hanya bisa berharap, ketika perayaan Natal 2018, kakinya sudah sembuh. Tapi lagi-lagi, harapannya itu buyar.
Sepekan setelah kakinya luka terkena kapak dan tak bisa jalan, persisnya 2 Desember 2018, warga kampung Mispo geger.
Terjadi kontak senjata antara TPNPB dengan militer Indonesia di Gunung Kabo, wilayah perbatasan antara Distrik Dal dan Distrik Yigi.
Daerah itu adalah area proyek infrastruktur Jalan Trans Papua. TPNPB menilai, pekerja proyek itu adalah anggota TNI dari zeni tempur.
Proyek itu pun dinilai TPNPB hanya untuk memudahkan mobilitas militer guna melakukan penyisiran terhadap pejuang kemerdekaan Papua, sekaligus distribusi hasil-hasil kekayaan bumi mereka.
Selang sehari, 3 Desember, TPNPB kembali melakukan penyerangan di Pos Batalion 756 Wimanesili, di Distrik Mbua.
Sebagai balasan, TNI dan Polri menggelar operasi penyisiran ke hampir semua kampung Nduga, 4 Desember.
Alhasil, hampir semua masyarakat Nduga memilih mengungsi. Ada yang menerobos lebatnya hutan dan lereng. Pun ada warga yang mengungsi ke luar Distrik Yigi. Mereka takut menjadi sasaran militer Indonesia yang melakukan penyisiran.
Mispo kebingungan. Warga kampungnya sudah banyak yang lari menyelematkan diri di tengah situasi peperangan. Keluarganya pun sudah mengungsi.
Dia sendiri belum mengungsi, karena luka pada telapak kakinya masih menganga sehingga tak bisa berjalan.
Namun, Mispo tak mau mati konyol. Dia akhirnya memilih mengorbankan satu bajunya. Dia merobek baju itu, agar bisa menjadi pembebat bagi luka telapak kaki.
Setelah yakin kain pembebat luka itu bisa bertahan, Mispo akhirnya ikut mengungsi, mengejar keluarga yang ikut rombongan warga ke Distrik Kwijawagi, Kabupaten Lani Jaya.
Mispo mengungsi di Kwijawagi hingga bulan Maret 2019. Setelahnya, dia berangkat ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Di Wamena, ada saudara perempuan Mispo yang tingal di kampung Mengapura, Distrik Hebuba. Dia berharap bisa tinggal di Wamena, bekerja demi menghidupi sang ibu.
Lagi-lagi, impian Mispo untuk mengubah nasib ambyar. Hanya sebulan Mispo hidup tenang, berusaha menata hidup di Wamena, hingga datang sejumlah orang menangkapnya.
***
SORE belum usai, malam belum lagi temaram, ketika Mispo berjalan pergi dari rumah kakak perempuannya untuk ke pasar, tanggal 10 Mei 2019 pukul 17.00 Waktu Papua.
Sebelum berangkat, teman Mispo yang sama-sama tinggal di rumah kakak perempuannya mendapat telepon dari orang tak dikenal.
Orang itu meminta Mispo dan temannya mengambil uang di Pasar Sinakma. Karena penasaran, Mispo, temannya, dan kakak lelakinya mendatangi pasar itu.
Pada pasar itu, Mispo, teman, dan kakaknya memakan pinang di pinggiran jalan. Tapi tiba-tiba, datang mobil berlogo Polres Jayawijaya menghampiri mereka.
Lima orang polisi menyeruak dari dalam mobil dan langsung menodongkan senjata laras panjang kepada Mispo.
“Ayo ikut kami,” kata seorang polisi kepada Mispo setengah berteriak, memaksa Mispo masuk ke dalam mobil. Tak ada surat-surat yang ditunjukkan polisi saat penangkapan.
Ingatan Mispo tentang penyergapan itu hanya sebatas sejumlah polisi memukul dan menendang dirinya. Selebihnya semua serba gelap, dia pingsan.
“Saya baru sadar ketika berada di sebuah ruangan. Belakangan saya tahu, itu ruangan di kantor Polres Jajawijaya,” kata Mispo, mengenang penangkapannya.
Setelah siuman, Mispo langsung diinterogasi polisi tanpa didampingi kuasa hukum, keluarga, maupun penerjemah bahasa Indonesia.
“Kamu ikut membunuh pekerja di Trans Papua,” begitu informasi yang coba dipahami Mispo saat diperiksa.
Dalam interogasi itu, Mispo mengakui kembali mendapat pemukulan dan penendangan. “Saya cuma disuruh jawab ‘iya, iya’ begitu saja.”
Keesokan hari, penyidik baru menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Mispo. Saat ditangkap, Mispo hanya membawa barang berupa dompet. Itu pun dompetnya kosong, sama sekali tidak ada isi, uang maupun kartu identitas.
Belakangan, Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua, Tigor Gemdita Hutapea kepada Suara.com mengungkapkan, pengacara, keluarga, maupun penerjemah belum ada untuk Mispo saat pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) awal polisi.
“Padahal, tuduhan membunuh pekerja Trans Papua itu bisa terancam hukuman lebih dari 7 tahun penjara, seumur hidup, bahkan mati. Sewaktu rekonstruksi peristiwa, Mispo juga belum didampingi pengacara maupun penerjemah. Dia hanya menjawab dengan mengangguk-anggukkan kepala mengikuti perintah polisi,” kata Tigor.
Tigor juga memprotes prosedur polisi yang tak menverifikasi kepada keluarga soal umur Mispo saat ditangkap.
“Menurut keluarga, saudara laki-laki yang lebih tua dari Mispo, usianya 16 tahun atau 14 tahun. Jadi, tidak mungkin umur Mispo melebihi 16 tahun saat itu. Dia masih anak-anak, harusnya tak diproses hukum,” kata Tigor.
Mispo sendiri mengakui penah bekerja untuk PT Istaka Karya, badan usaha milik negara yang memegang proyek pengerjaan jalan Trans Papua.
Itu pun tak lama dilakoninya, hanya satu bulan. Saat bekerja, Mispo bertugas mengumpulkan pasir dan menapisnya. Setelah sebulan, dia berhenti dan memilih berkebun membantu ibu.
“Saya tidak pernah sekolah, tidak bisa baca dan tulis. Saya juga tidak pernah ke luar kota seperti ke Wamena selama di kampung. Sejak kecil, papa sudah meninggal, jadi saya bantu mama ke ladang dan mencari kayu setiap hari,” kata Mispo setelah diterjemahkan Diaz kepada Suara.com.
Mispo juga tidak mengenal TPNPB/OPM, termasuk Egianus Kogoya yang memimpin penyerangan di area proyek Trans Papua.
Lagi pula, Mispo masih tidak bisa berjalan karena telapak kakinya terluka akibat sabetan kapak, sepekan sebelum terjadinya penyerangan terhadap pekerja PT Istaka Karya.
Kekinian, Mispo hanya berharap bisa dibebaskan dan pulang ke kampung halamannya.
“Saya tidak tahu soal TPNPB dan OPM. Saya hanya ingin pulang, saya tidak ada urusan dengan ini. Saya ingin bertemu mama.”
Bukan anggota kami
EGIANUS Kogoya, pemuda berusia awal 20-an sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dalam tubuh TPNPB-OPM.
Dia merupakan pemimpin tertinggi TPNPB Wilayah III Ndugama, yang bertanggungjawab atas penyerangan pos-pos militer maupun polisi di area proyek Trans Papua.
Egianus mengakui, mendapat laporan salah satu anggota TPNPB Komando Daerah Pertahanan III Ndugama ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk disidang.
“Kami, pemimpin dan pasukan khusus TPNPB sudah memeriksa dan menyimpulkan, informasi itu tidak benar,” kata Egianus melalui keterangan tertulis.
“Jadi, kami katakan kepada publik, seseorang bernama Mispo yang ditangkap dan dibawa ke Jakarta itu bukan anggota TPNPB Ndugama. Dia hanya masyarakat sipil,” kata Egianus, menegaskan.
Egianus mengatakan hal itu bukan klaim. TPNPB Kodap III Ndugama memunyai manajemen kontrol militer, sehingga setiap batalyon dan komandan bergerak dalam satu garis.
“Setiap aksi ofensif terhadap tentara kolonial Indonesia selalu diketahui atasan. Kami sendiri, sebagai pemimpin tahu segalanya tentang pasukan. Jadi saya pastikan, Mispo bukan anggota kami. Dia harus dibebaskan dari segala tuduhan.”
Kejaksaan Negeri Kabupaten Jayawijaya mendakwa Mispo melanggar lima pasal berlapis yaitu Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 351 ayat 3 KUHP, Pasal 328 KUHP dan Pasal 333 KUHP.
Ancamannya, Mispo dihukum mati. Sebab, dia dituduh terlibat grup tempur TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya. Mispo dituduh ikut menyerbu dan membunuh 17 pekerja PT Istaka Karya di jalur proyek Trans Papua.
Sebby Sambom, Juru Bicara Markas Besar TPNPB juga menegaskan, Mispo bukanlah anggota mereka. Dia juga menilai, penangkapan serta proses hukum terhadap Mispo adalah rekayasa.
“Penangkapan Mispo di Wamena itu rekayasa TNI dan Polri di Wamena. Indonesia tidak boleh menghukum orang dengan cara curang, untuk merekayasa kekalahan mereka,” kata Sebby.
Dia juga mendesak pemerintah Indonesia membebaskan Mispo dari segala tuduhan dan mengembalikannya ke Papua.
“Kami tegaskan, TPNPB tidak memakai tentara anak. Sebab, anak-anak kami adalah masa depan Papua yang gilang gemilang dalam alam kemerdekaan. Mispo masih anak-anak. Bebaskan dia dan kembalikan Mispo ke tanah Papua.”
Kejanggalan soal umur
Kuasa Hukum Tim Advokasi Papua, Tigor Gemdita Hutapea, mengatakan terdapat beberapa kejanggalan dalam dokumen persidangan yang disusun penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Salah satunya usia terdakwa yang tidak jelas dan dicurigai sudah dimanipulasi.
Berdasarkan keterangan pihak keluarga, Mispo masih anak di bawah umur saat peristiwa penyerangan di lokasi proyek Trans Papua.
“Dalam verifikasi kami, saat kejadian itu, Mispo masih berusia 14 tahun. Dia tidak memunyai KTP atau akta kelahiran. Sepekan sebelum peristiwa Ndugama, Mispo juga tidak bisa berjalan karena luka pada telapak kaki. Apa bisa dia pergi menyerang dengan kaki luka?” kata Tigor.
Tigor mengungkapkan, penyidik kepolisian dan jaksa memanipulasi usia Mispo dengan meminta surat keterangan domisili dari Kelurahan di Wamena. Dalam surat, Mispo ditulis lahir di Suwenem tahun 1999 atau berusia 20 tahun.
“Kalau dia dewasa, silakan proses hukumnya dilanjutkan. Kalau ternyata dia masih anak, gunakan sistem peradilan anak. Ketika menggunakan sistem peradilan anak, maka dia tidak boleh dikenakan hukuman mati atau hukuman berat lainnya,” kata Tigor.
Tim Advokasi Papua telah menghadirkan ahli atas nama dr Fahmi Oscandar SpOF, yang menerangkan agar dilakukan pemeriksaan secara medis untuk memastikan umur seseorang.
Tigor mengatakan, dokter Fahmi sudah menegaskan, tidak tertutup kemungkinan usia seorang yang ditulis di dalam surat atau akta berbeda dengan usia aslinya.
“Tapi jaksa hanya mendasarkan umur Mispo dari BAP penyidikan, yang mana ketika itu terdakwa tidak didampingi pengacara dan penerjemah,” kata Tigor.
Dalam tingkat penyidikan Mispo diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum. Menurutnya, hal itu sangat merugikan terdakwa.
Ketika pemeriksaan lanjutan, Mispo mengaku tidak ada satu pun penasihat hukum yang mendampingi. Namun, dalam BAP polisi tertera tanda tangan kuasa hukum.
“Tim Advokasi menemukan fakta terjadi pemalsuan tanda tangan kuasa hukum didalam berita acara rekontruksi, hal ini telah dilaporkan ke Polda Papua.”
Selain itu, Tigor menilai pemindahan persidangan Mispo dari PN Wamena ke PN Jakarta Pusat atas dasar alasan keamanan, tidak berdasar.
Sebab, berbagai persidangan di PN Wamena tetap berjalan baik. Bahkan perkara kasus atas nama Aibun Kogoya dan Daud Matuan yang dituduh terlibat kerusuhan Wamena, juga berjalan lancar.
Apalagi, kata dia, pemindahan persidangan tidak diberitahukan kepada keluarga dan meminta pendapat dari terdakwa maupun penasihat hukum.
Akibat pemindahan itu, Mispo dan penasihat hukum menjadi kesulitan menghadirkan alat-alat bukti yang meringankan.
“Karena perjalanan dari Nduga – Wamena – Jakarta bisa menghabiskan Rp 10 juta. Sementara Jaksa lebih mudah karena menggunakan biaya dari negara, hal ini telah melanggar prinsip persidangan yang efektif dan efisien.”
Tigor menduga, pemindahan persidangan ini disengaja, supaya tidak ada yang mendampingi Mispo, karena sejak awal proses hukumnya banyak bermasalah.
“Kami merasa Mispo ini dijadikan tumbal dalam proses penegakan hukum yang terjadi di PT Istaka Karya, karena aparat tidak mendapat pelaku sebenarnya," kata Tigor, menambahkan.
Sementara jaksa penuntut umum kasus Mispo, yakni Ricarda Arsenius, mengklaim usia terdakwa secara formil telah terbutikan dewasa.
“Secara formil membuktikan terdakwa sudah dewasa melalui dokumen keterangan domisili dari kelurahan. Selain itu, dalam penyidikan dan persidangan, terdakwa juga mengaku sudah berumur 20 tahun,” kata Ricarda.
Ia mengklaim, Mispo saat diperiksa polisi tidak memunyai KTP, akta kelahiran, maupun mengetahui tanggal kelahirannya sendiri.
“Jadi, secara legal formil, hanya ada surat keterangan pejabat setempat yang itu menyatakan terdakwa berusia 20 tahun,” kata dia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Sutanto, dalam surat nomor 86/KPAI/Pgdn-ABH/1/2020 menegaskan sudah menerima pengaduan perihal kasus Mispo.
Dalam surat itu, Sutanto mengatakan kasus Mispo diadukan melalui surat No.STTP.24/KPAI/Pgdn/1/2020 pada 16 Januari 2020 dari Tim Advokat Papua. Hal yang dipersoalkan adalah, terdakwa diperkirakan masih anak-anak.
“Dan apabila secara medis terdakwa masih berusia anak, KPAI meminta Pengadilan Negeri Jakarta wajib menerapkan prinsip perlindungan anak sesuai undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan Pidana anak,” tulis Sutanto dalam surat tersebut.
Tigor Gemdita Hutapea mengakui, masih memunyai harapan agar Mispo bisa dibebaskan karena selain memang tidak pernah terlibat penyerangan terhadap pekerja Istaka Karya, juga disebabkan usianya masih kanak-kanak.
“Untuk pembuktian, kami sedang berupaya menghadirkan bukti berupa surat baptis dari gereja tempat Mispo beribadah. Sebab, surat baptis itu bisa membuktikan kapan Mispo lahir, dan berapa usia yang sebenarnya.”
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.