Memoar Aktivis 98 yang Diculik (4): Widji Thukul dan Puisi Tanpa Huruf R
Home > Detail

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (4): Widji Thukul dan Puisi Tanpa Huruf R

Reza Gunadha

Rabu, 22 Mei 2019 | 08:50 WIB

Suara.com - Jika tak ada mesin ketik, aku akan menulis dengan tangan. Jika tak ada tinta hitam, aku akan menulis dengan arang. Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!

Tatkala banyak seniman sedang berasyik masyuk dengan tema cinta monyet, dan lainnya menyembunyikan protes pada permainan kata manis  pada era Orde Baru, Widji Thukul secara lugas sudah mengarahkan puisinya seperti itu, lurus ke arah istana Soeharto.

Jikul tak pernah berpuisi untuk memuja keindahan aestetis. Baginya, keindahan adalah ketika rakyat terbebas dari kediktatoran, saat upah buruh naik, dan kala kaum ibu berbaris meruntuhkan penguasa zalim.

Perlawanan sang penyair yang juga turut mengorganisasikan perlawanan rakyat meruntuhkan rezim Soeharto pada 1998 tersebut, harus ditebus oleh kekejian aparat. Ia diculik, dan hingga kekinian tak diketahui nasib dan rimbanya.

Wiji Thukul, hilang pada akhir 1998. Ia terakhir terlihat di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur.

Adalah Lilik Hastuti Setyowatiningsih, seorang perempuan yang aktif menjadi aktivis Prodemokrasi pada era 1990-an, menceritakan sejumput kisah kenang-kenangannya dengan Widji Thukul. Berikut kisahnya.

Kang Jikul, aku sudah sering cerita tentang kamu. Tak pernah bosan, dan selalu bikin dada ini sesak. Tapi dari sekian banyak kisahmu, aku juga mengenang hal-hal lucu yang pernah terjadi di antara kita.

Aku dulu orang yang keras kepala, ngeyel ya Kang Jikul. Banyak menuntut. Banyak protes. Banyak mau. Aku mangkel banget saat kau ledek sebagai ‘borjuis kecil’.

Gara-garanya, aku berkeluh kesah susah mengorganisasikan buruh di PT Sritex. Aku hampir menangis, dan kamu cuma pringas-pringis.

“Dasar borjuis kecil!” kata kamu sambil berlalu, dengan menenteng buku. Sengak pol! Tapi di situlah aku benar-benar merasa tertampar.

Karena umpatanmu itulah, aku menjadi sadar tidak sepatutnya mengeluhkan hal-hal kecil, di tengah medan perjuangan keras dan berat. Aku makin belajar dari kamu, kisahmu, dan tentu, puisi-puisimu.

Aku nganyelke ya, Kang Jikul. Dulu secara polos, aku memintamu dibuatkan “Puisi yang tak ada huruf R’. Ya, karena kamu pelok.

Ya, aku meledekmu. Karena ledek-meledek adalah hiburan kita satu-satunya. Kukira, kau tertawa seperti biasa. Ternyata, saat itu kau diam saja.

Wiji Thukul, hilang pada akhir 1998. Ia terakhir terlihat di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur.
Wiji Thukul, hilang pada akhir 1998. Ia terakhir terlihat di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur.

Mukamu memerah kala itu, dan kamu tak berkata apa-apa hingga berjam-jam kemudian. Lalu aku ciut. Aku takut. Itu kali pertama aku menyaksikan amarahmu yang tak biasa.

Kalau Kang Jikul marah-marah dalam forum-forum rapat, aku sudah terbiasa melihatnya. Amarah Kang Jikul dalam puisi, pun aku terbiasa. Tapi tidak dengan marahmu dalam diam.

Kang Jikul, setelah peristiwa itu, aku sempat tak lagi berani datang ke rumahmu. Padahal, biasanya, aku jalan kaki dari sekretariat ke rumahmu, terutama sore hari, saat perut sudah melintir-lintir lapar.

Artikel tentang Sanggar Suka Banjir yang diinisiasi oleh penyair sekaligus aktivis Widji Thukul. [dok.pribadi]
Artikel tentang Sanggar Suka Banjir yang diinisiasi oleh penyair sekaligus aktivis Widji Thukul. [dok.pribadi]

Aku juga biasanya langsung masuk ke dapur rumahmu. Menyendok nasi dan lauk-pauk di atas meja. Setidaknya, selalu ada tempe goreng.

“Sepurane yo Kang...”, mohon maaf ya kang kataku kepadamu.

“Opo??”

“Wingi kae..”, kemarin itu lho.

“Opo..”

Puisi tanpa huruf R..”

Dan Horeeee… Kang Jikul sudah pringas-pringis lagi!

Aku belajar banyak, sangat banyak dari kamu Kang Jikul. Salah satu kemewahan masa mudaku adalah bertumbuh bersamamu, Bersama ide-ide brilianmu.

Bersama karya-karya Kang Jikul yang luar biasa. Terlebih, aku merasakan kemewahan bisa tumbuh bersama keberanian tanpa tandingmu. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa ndakik-ndakik. Itulah kamu.

Terima kasih Kang Jikul. Kini aku menangis, rindu kamu. Aku sudah tidak bisa aleman dan semaputan seperti dulu, Kang Jikul. Semoga sampeyan bahagia, di mana pun berada.


Terkait

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (5): Gilang, Pengamen yang Melawan Soeharto
Rabu, 22 Mei 2019 | 09:00 WIB

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (5): Gilang, Pengamen yang Melawan Soeharto

Aku tersedu-sedu ketika mendengar berita kamu tewas. Diculik. Ditembak. Ditemukan di tengah hutan di Saradan Madiun, Jawa Timur.

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (3): Suyat dan Nasi Timlo Tak Terbeli
Rabu, 22 Mei 2019 | 08:30 WIB

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (3): Suyat dan Nasi Timlo Tak Terbeli

Suyat ikut aksi pemogokan buruh PT Sritex, Solo, masih dengan kepala bekas diperban. Saat aksi itu juga, Suyat lagi-lagi digebuk. Kepalanya bonyok lagi.

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (2): Hendrawan dan Cerita Secangkir Kopi
Rabu, 22 Mei 2019 | 08:10 WIB

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (2): Hendrawan dan Cerita Secangkir Kopi

Man, aku kangen senandung lagu Widurimu. Aku kangen umpatanmu agak ganjil dan aneh dengan logat Bangka-mu itu.

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti
Rabu, 22 Mei 2019 | 07:55 WIB

Memoar Aktivis 98 yang Diculik (1): Senyum Terakhir Bima di Halte Trisakti

Kami, anak-anak muda usia awal dua puluhan, awam situasi ibu kota, dipaksa kondisi untuk jadi seliat baja.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed