Suara.com - Saya tidak pernah menyangka bahwa suatu hari saya akan melihat Peter Dinklage jadi superhero berlendir yang senjatanya pel. Tapi ya, itulah dunia perfilman.
The Toxic Avenger versi terbaru ini adalah reboot dari film kultus tahun 1984 yang dulunya terkenal karena kadar kekacauannya.
Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.
Disutradarai oleh Macon Blair, film ini mencoba hidup di dua dunia sekaligus, dunia superhero modern dan dunia film kelas-B yang sengaja dibuat norak.
Dan hasilnya? Ya… seperti kalau Anda mencampur Deadpool, Robocop, dan segelas air limbah pabrik.
Kadang kocak, kadang jijik, kadang saya ingin meninggalkan studio, tapi seperti ada tangan tidak terlihat yang menahan saya untuk tetap di kursi.

Ceritanya Ala Superhero Marvel Versi Jorok
Kisahnya sederhana, seorang petugas kebersihan bernama Winston Gooze (Peter Dinklage) mengalami kecelakaan kimia dan berubah menjadi makhluk mutan berkekuatan super.
Kalau di film Marvel, kecelakaan seperti ini menghasilkan Iron Man versi hijau, tapi di sini hasilnya seperti Hulk yang jatuh ke tong sampah beracun dan tidak pernah mandi lagi.
Namun di balik tampilan menjijikkan itu, Winston alias Toxie punya hati yang lembut.
Dia berjuang melawan korporasi jahat milik Kevin Bacon, sambil mencoba menjadi ayah yang baik bagi anak tirinya.
Ya, ini film superhero yang mencoba menyentuh sisi keluarga di tengah tumpahan darah, potongan tubuh, dan humor yang kalau dikasih rating moral, mungkin agak kurang berkesan.
Penampilan Aktornya Wajib Diapresiasi
Saya sangat mengagumi Peter Dinklage sebagai salah satu aktor Hollywood paling berbakat. Namun di sini, sepertinya dia terlalu totalitas.
Serius, dia memainkan karakter ini dengan terlalu banyak kesungguhan. Padahal dalam satu adegan, dia hanya sedang berhadapan dengan penjahat yang berpakaian seperti badut.
Intinya, Dinklage memberikan kedalaman emosional pada karakter yang seharusnya cuma bahan lelucon.
Mungkin itu justru kelebihan film ini, di tengah segala kebodohannya, masih ada hal serius yang nyelip seperti biji cabe.
Kalau ada yang benar-benar menikmati perannya, itu Kevin Bacon. Pria ini seperti dilepaskan dari segala aturan akting rasional.
Dia menari di atas absurditas dengan penuh gaya, benar-benar CEO korporat jahat yang tampak seperti keluar dari film Looney Tunes.
Setiap kali Bacon muncul, film ini seperti berteriak, "Ya, inilah yang kamu bayar: kegilaan!"
Kalau saja film ini memberikan lebih banyak ruang untuk kekonyolan seperti itu, mungkin hasil akhirnya bisa jauh lebih menyenangkan.
Gore, Humor, dan Bau Limbah
Mari bicara tentang hal yang jadi daya tarik utama dari film ini, yakni kekerasan dan lelucon busuk.
Darah muncrat di mana-mana, anggota tubuh beterbangan seperti confetti pesta Halloween, dan tentu saja, guyonan yang tidak akan lolos di film superhero Disney.
Sebagai seseorang yang sempat tumbuh dengan tontonan Final Destination, saya akui efek praktikal di film ini cukup menghibur.
Tapi begitu CGI-nya muncul, semua terasa seperti menonton iklan sabun cuci piring yang gagal dirender.
Dan soal humor? Ada yang lucu, tapi banyak juga yang terasa seperti bapak-bapak mabuk mencoba stand-up comedy di depan anak TK.
Kadang saya tertawa, tapi lebih karena bingung harus bereaksi bagaimana.
Membingungkan Tapi Tetap Seru
Masalah terbesar film ini adalah ketidakkonsistenannya. Kadang filmnya ingin jadi parodi superhero, kadang mencoba jadi drama keluarga, lalu tiba-tiba berubah jadi film gore level Saw.
Ada momen di mana saya merasa sedang menonton Deadpool, lalu tiba-tiba berubah jadi Robocop 3, dan entah kenapa muncul adegan yang terasa seperti Sesame Street versi neraka.
Namun anehnya, semua itu membuatnya justru menarik. Film ini seperti pesta kostum di mana semua orang datang dengan tema berbeda, berantakan, tapi tidak membosankan.
Saya harus kasih kredit untuk soundtrack-nya. Bayangkan Peter Dinklage menyanyikan lagu ceria sambil membantai musuh dengan pel berdarah.
Begitu pula dengan penampilan Elijah Wood, yang di sini terlihat seperti sepupu jauh Penguin dari Batman Returns. Dia tampil aneh, tapi justru pas di world building seaneh ini.
Meski tidak sempurna, film ini punya keberanian. tidak takut terlihat konyol dan tidak peduli dengan penilaian.
Kacau Tapi Anehnya Cukup Menghibur
Apakah The Toxic Avenger film yang bagus? Tidak.
Apakah saya menikmatinya? Hmmmm, anehnya iya dan entah kenapa tidak bisa dijelaskan.
Film ini adalah bentuk tontonan yang absurd dan kacau, tapi tidak berusaha menutupinya.
Dan di tengah lautan film superhero modern yang terlalu serius, kehadiran sesuatu yang sejelek ini tapi jujur terasa menyegarkan.
Kalau Anda mencari tontonan berisi pahlawan berotot, moralitas tinggi, dan efek spesial canggih, jangan buang-buang duit untuk beli tiket bioskop.
Tapi kalau Anda ingin menonton sesuatu yang membuat Anda berkata, "Hah? Aku nonton film apa sih?" maka ini film yang tepat.
Karena kadang, kita semua butuh film absurd semacam ini untuk menyadari bahwa dunia perfilman memang sangat beragam.
Kontributor : Chusnul Chotimah
The Beekeeper * resmi produksi! Jason Statham kembali, disutradarai Timo Tjahjanto.
Abadi Nan Jaya tak hanya menyuguhkan seramnya zombie yang saling menyerang, tetapi juga kisah di baliknya.
Lebih dari sekadar kritik media, Natural Born Killers juga menyelami akar kekerasan itu sendiri.
Cabin Fever: Patient Zero tidak ragu untuk menampilkan adegan-adegan gore yang mengganggu, memenuhi ekspektasi penggemar horor yang haus akan kengerian visual.
Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.
nonfiksi
No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.
nonfiksi
Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?
nonfiksi
Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.
nonfiksi
Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.
nonfiksi
Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang
nonfiksi
Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.