Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme
Home > Detail

Kaum Muda yang Memilih Cadar di Era Terorisme

Reza Gunadha

Senin, 12 Maret 2018 | 13:35 WIB

Suara.com - Perempuan bercadar itu sempat ragu-ragu saat menerima pesan singkat melalui ponselnya. Ia belum pernah mengenal si pengirim pesan yang meminta persamuhan itu. Apalagi, untuk membahas perihal cadarnya yang sangat sensitif.

Namun, ia kemudian memutuskan untuk meladeni permintaan wanita tersebut. Ia  mengetik dan mengirimkan satu pesan pendek balasan: “Kita bertemu di mal dekat UIN ya.”

Pada sebuah tempat makan di mal dekat kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Kamis (8/3) pekan lalu, ia memperkenalkan jati dirinya sebagai mahasiswi bercadar kampus tersebut.

Ia menyebutkan nama lengkapnya yang berinisial “E”. Ia lantas menyetujui diidentifikasi memakai nama samaran “Fatima” untuk keperluan pemberitaan mengenai nasib mahasiswi bercadar UIN Suka, setelah rektorat mengharuskan mereka melepas tabir wajah.

Fatima tampaknya sengaja memilih tempat makan tersebut untuk tempat berbicara mengenai cadarnya dan 40 mahasiswi lainnya di UIN, yang tengah didata oleh pihak kampus. Sebab, tempat itu sepi.

“Kalau saya sih, tidak pernah diusir oleh dosen saat di kelas. Tapi ada teman-teman lain yang bercadar pernah diusir. Saya, cuma disindir saja, dibilang perempuan bercadar itu bentuk keterbelakangan perempuan,” tuturnya memulai obrolan dengan sedikit canggung.

Perempuan berbalut busana niqab berwarna hitam itu mengakui sedih, setelah Rektor UIN Suka Profesor Drs Yudian Wahyudi MA PhD, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor B-1301/UN02/R/AK/00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswa Bercadar.

Ia tak menyangka, institusi pendidikan di Yogyakarta yang dikenal luas sangat pluralis dan toleran, mengeluarkan kebijakan yang dianggap banyak pihak diskriminatif.

“Apa salahnya cadar kami. Kalau ada anggapan kami mengajak yang lain untuk bercadar, itu tidak benar, apalagi terkait gerakan radikal,” tuturnya, menggugat.

Cadar di Keluarga Demokratis

Lama kelamaan, dalam perjumpaan itu, Fatima tampak lebih santai dan bebas berbicara mengenai polemik cadar di UIN Suka.

Ia juga bahkan mau menjelaskan kisah dirinya sendiri sampai memutuskan memakai cadar.

“Ibuku berjilbab dan bercadar juga. Tapi, keluargaku sangat demokratis. Aku beruntung besar di tengah keluarga seperti itu,” ujarnya.

Ayah dan ibu, terus Fatima, selalu memberikan contoh nyata menjadi Muslim yang baik. Melalui perilaku maupun penampilan.

Fatima mengakui, memutuskan menggunakan cadar bukanlah proses yang singkat baginya.

Walaupun sang ibu bercadar, ia tak begitu saja mau mengenakan cadar. Dia memang sejak lama mengenakan jilbab, tapi tanpa cadar.

Sewaktu masih duduk di bangku SMA, ia sempat mengatakan kepada orang tua ingin memakai cadar. Namun, orang tuanya justru menolak.

"Sebenarnya sudah dari SMA saya ingin bercadar, namun belum diperbolehkan oleh orang tua. Mereka khawatir aku belum konsisten. Takut nanti masih buka tutup cadar,” terangnya.

Karenanya, Fatima membantah alasan rektorat yang menilai mahasiswi bercadar karena mengikuti aliran tertentu Islam yang cenderung tergolong kelompok radikalis—jika tak mau mengatakan teroris.

Fatima menuturkan, ia baru memakai cadar pada pertengahan tahun 2017. “Tidak seperti waktu SMA, pertengahan tahun lalu, orang tua mendukung penuh keputusanku bercadar,” imbuhnya.

Tak Eksklusif

Awal mengenakan cadar, Fatima menuturkan adalah hal yang sulit, terutama ketika beraktivitas di dalam kampus.

Sebab, ada dosen dan teman-temannya yang tampak canggung saat berkomunikasi dengannya.

“Jika mendapati teman yang canggung, aku berusaha lebih merangkul dan mendekat, sehingga akan terjalin komukasi yang lebih nyaman,” tukasnya.

Sikapnya seperti itu ditunjukkan Fatima karena ia tak mau dicap sosok yang eksklusif karena memakai cadar.

Tidak hanya dia. Fatima mengungkapkan, mahasiswi UIN Suka lainnya yang memakai cadar juga berupaya tetap tak tercerabut dari akarnya, yakni terus bergaul dengan mahasiswa lain.

Namun, ketegangan mulai terjadi pada akhir tahun 2017. Persisnya pada satu forum seminar yang membahas mengenai cadar.

“Ketika itu, Wakil Rektor UIN Suka, Pak Waryono, mengeluarkan pernyataan yang membuat kami, mahasiswi bercadar, serba salah,” ungkapnya.

Gonjang-ganjing soal cadar itu semakin terpantik ketika beredar foto seorang perempuan bercadar mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia di masjid kampus.

Foto itulah yang membuat Rektor Yudian mengeluarkan surat keputusan untuk mendata, serta membina 41 mahasiswi bercadar agar mereka sukarela melepas tabir.

Fatima dan mahasiswi bercadar lainnya di UIN Suka mengklaim, perempuan pengibar bendera organisasi yang dilarang pemerintah pada Mei 2017 itu bukan bagian dari mereka.

“Mahasiswi bercadar di kampus punya grup di WhatsApp, namanya ‘Niqobisuka’. Melalui grup itu, kami tahu, perempuan bercadar yang mengibarkan bendera HTI itu bukan mahasiswi UIN. Kami tak kenal dia,” tukasnya.

Ia menyayangkan rektorat tak lebih dulu mengajak seluruh mahasiswi bercadar berdiskusi mengenai foto itu.

Alhasil, setelah SK sang rektor terlanjur terbit, kehidupan mereka sebagai mahasiswi bercadar di kampus menjadi sulit.

Fatima mengakui, terdapat dosen yang berlaku diskriminatif terhadap mereka. Ada pula yang mencibir, bahkan mengeluarkan pernyataan-pernyataan melecehkan cadar mereka.

"Aku setuju ada pembinaan dari kampus terhadap mahasiswi bercadar. Kalau akhirnya harus diminta untuk melepaskan cadar, ya saya akan lepas saat di kampus dan menggantinya dengan masker. Tapi kalau di luar kampus, ya baru pakai cadar lagi," katanya.

Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengenakan cadar berada di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Yogyakarta, Kamis (8/3/2018). [Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko/pras/18]

Meski begitu, Fatima tetap tak ikhlas kalau disebut sebagai bagian kelompok Islam radikalis, yang cenderung stigmatik.

Namun, Fatima dan teman-temannya sejak Sabtu (10/3) akhir pekan lalu bisa bernafas lega. Itu setelah beredar foto surat keputusan baru sang rektor, yang membatalkan surat sebelumnya mengenai pembinaan mahasiswi bercadar.

”Aku nyaman memakai cadar. Kuharap, tak lagi ada yang melabelkan cadarku sebagai bentuk radikalisme,” harapnya.

Tak melulu Ideologis

Sama seperti Fatima, Dekan Fakultas Dakwah UIN Suka Alimatul Qibtiyah menuturkan, cadar tak melulu terkait ideologi tertentu dalam Islam.

Alimatul menuturkan, perempuan Muslim memunyai banyak motif saat memutuskan memakai cadar.

“Kalau dari penelitian yang sudah ada, ada banyak motifasi pakai cadar. Misal fashion. Ada yang ingin menutupi wajahnya yang menurutnya tak bagus, atau sebaliknya. Juga ada motif ketulusan dari ideologi tertentu,” terang Alimatul.

Ketua Komnas Perempuan Azriana menuturkan, setiap peraturan yang menentukan perempuan harus mengenakan busana tertentu adalah bentuk diskriminasi.

Aktivis melakukan aksi damai menolak keputusan Rektorat yang melarang mahasiswi bercadar di kawasan Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (8/3/2018). [Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko/pras/18]

Ia menjelaskan, sedikitnya terdapat 421 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia. Sebagian besar dari ratusan kebijakan diskriminatif itu, terkait tata busana seperti pelarangan memakai cadar maupun pemaksaan memakai jilbab.

 “Sebagian dari 421 kebijakan diskriminatif itu mengatur perempuan harus berbusana tertentu. Apakah itu mewajibkan busana tertentu atau melarang,  buat kami itu sama-sama kontrol atas tubuh,  dan itu kami masukkan sebagai pelecehan seksual,” ujarnya.

Komnas Perempuan, kata Azriana, sangat mengapresiasi upaya lembaga-lembaga pendidikan yang juga ikut menangkal radikalisme berbasis agama.

Ia bahkan berharap penangkalan radikalisme berbasis agama itu masuk dalam kurikulum pendidikan di berbagai tingkat.

 “Tapi, orang bercadar itu kan belum tentu teroris. Jadi, mudah-mudahan, para pengambil kebijakan bisa jeli melihat,” harapnya.

Apalagi, menurut Azriana, tata cara berbusana seperti bercadar tak memunyai korelasi langsung dengan terorisme.

“Kan harus dipastikan dulu kalau ada keterhubungan antara pakaian dengan aktivitas politik,” tandasnya. [Wita Ayodhyaputri].


Terkait

Mereka Dihina dan Ditolak di Kelas karena Cadar
Senin, 12 Maret 2018 | 08:33 WIB

Mereka Dihina dan Ditolak di Kelas karena Cadar

Dosen-dosen itu, tuturnya, melontarkan kalimat-kalimat yang tak mengenakkan kepada mahasiswi bercadar, termasuk dirinya.

Pengusaha Aljazair Tebus Denda 1.538 Perempuan Bercadar 6 Negara
Senin, 12 Maret 2018 | 07:45 WIB

Pengusaha Aljazair Tebus Denda 1.538 Perempuan Bercadar 6 Negara

"Pemerintah di Eropa tidak menghasilkan solusi bagi umat Islam untuk beradaptasi dengan Eropa"

'Apa Salah Cadarku?'
Senin, 12 Maret 2018 | 07:03 WIB

'Apa Salah Cadarku?'

Mahasiswi bercadar yang mengibarkan bendera HTI itu bukan aku. Bukan pula teman-temanku."

Terbaru
Luka Berlapis di Kantor Polisi, Korban Pemerkosaan Jadi Korban Lagi
polemik

Luka Berlapis di Kantor Polisi, Korban Pemerkosaan Jadi Korban Lagi

Kamis, 12 Juni 2025 | 13:42 WIB

Aipda Paulus Lecehkan Korban Pemerkosaan: Keberulangan Kekerasan Seksual oleh Polisi Tak Bisa Lagi Dipandang sebagai Anomali!

Wacana Pansus Haji 2025: Evaluasi Serius atau Gimik Politik DPR? polemik

Wacana Pansus Haji 2025: Evaluasi Serius atau Gimik Politik DPR?

Kamis, 12 Juni 2025 | 08:02 WIB

Penyelenggaraan haji 2025 dikritik, Timwas Haji DPR usul Pansus Haji karena banyak keluhan jemaah soal layanan. Komnas Haji dan pengamat ragu, prioritaskan kompensasi jemaah.

Kapan Waktu yang Tepat Buat Jokowi Bergabung dengan Partai Politik? polemik

Kapan Waktu yang Tepat Buat Jokowi Bergabung dengan Partai Politik?

Rabu, 11 Juni 2025 | 20:59 WIB

Setelah tidak lagi di PDIP, Jokowi belum pilih partai. Lebih condong ke PSI karena potensi jadi ketua umum dan PSI "rumah Jokowi".

Mengurai Anomali Harga Beras di Tengah Stok Melimpah, Benarkah Ada Mafia? polemik

Mengurai Anomali Harga Beras di Tengah Stok Melimpah, Benarkah Ada Mafia?

Rabu, 11 Juni 2025 | 16:19 WIB

Harga beras naik di banyak daerah meski stok diklaim cukup. BPS mencatat kenaikan harga di banyak wilayah. Diduga Bulog kurang menyalurkan stok. Mentan curiga ada mafia.

Laut Tak Punya Dinding, Korupsi Fakta di Balik Tambang Nikel Raja Ampat Sulut Murka Publik polemik

Laut Tak Punya Dinding, Korupsi Fakta di Balik Tambang Nikel Raja Ampat Sulut Murka Publik

Rabu, 11 Juni 2025 | 12:43 WIB

Aktivitas tambang di Raja Ampat diprotes karena berdampak buruk pada lingkungan. Pemerintah dituding korupsi fakta, tapi publik tak percaya. Izin 4 perusahaan dicabut.

Dedi Mulyadi Hapus PR untuk Siswa: Strategi Pendidikan atau Sekadar Dorongan Populis Semata? polemik

Dedi Mulyadi Hapus PR untuk Siswa: Strategi Pendidikan atau Sekadar Dorongan Populis Semata?

Rabu, 11 Juni 2025 | 08:11 WIB

Jabar hapus PR mulai 2025/2026. Gubernur Dedi Mulyadi menilai PR konvensional tak efektif. Pengamat khawatir hilangnya ruang belajar jika tak ada perbaikan sistem.

Kekuatan Perang atau Tim Pembangunan? Polemik Tentara Garap Ketahanan Pangan Saat Dunia Memanas polemik

Kekuatan Perang atau Tim Pembangunan? Polemik Tentara Garap Ketahanan Pangan Saat Dunia Memanas

Selasa, 10 Juni 2025 | 20:37 WIB

TNI AD rekrut 24 ribu tamtama 2025 untuk Batalyon Teritorial Pembangunan, urus ketahanan pangan hingga infrastruktur. Rencana ini dikritik karena dianggap keluar dari tugas pokok TNI.