Senin, 01 Jan 2024
'Apa Salah Cadarku?' Home > Detail

'Apa Salah Cadarku?'

Reza Gunadha

Senin, 12 Maret 2018 | 07:03 WIB

Suara.com - Fatima meranyah. Usianya sudah dua puluh satu tahun. Hasratnya masih sama sejak kali pertama datang ke Yogyakarta selepas SMA, yakni cepat menyelesaikan kuliah dan membawa pulang gelar sarjana. Namun harapannya terancam binasa, hanya gara-gara selembar cadar di wajahnya.

“Aku bukan asli orang Yogyakarta. Perantauan,” tutur perempuan bercadar itu sewaktu siang, Jumat (9/3/2018).

Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu tak canggung memperkenalkan diri dan memberikan nama lengkapnya.

Tapi, ia meminta namanya tak ditulis dalam pemberitaan. Ia meminta disamarkan sebagai “E”, redaksi Suara.com memberikannya nama samaran Fatima.

Dengan begitu, ia mau bercerita lika-liku kehidupannya sebagai mahasiswi bercadar di UIN Suka. Sedikitnya 41 mahasiswi kampus itu terancam dikeluarkan dari institusi tersebut kalau tak mau membuka cadar.

"Dulu, aku sengaja memilih berkuliah di UIN Suka. Aku katakan itu kepada orang tua. Karena Yogyakarta dikenal sebagai kota plural. Selain itu, UIN kan universitas Islam, aku sangat tertarik,” kata Fatima.

Jauh dari rumah, membuat Fatima terbelit masalah klasik kehidupan sebagai mahasiswi indekos yang pas-pasan, yakni kekurangan uang.

Karenanya, Fatima juga bekerja sampingan sebagai penjaga toko sembari tetap berkuliah. Selain kedua hal itu, ia menuturkan juga mengisi hari-harinya dengan mengikuti grup kajian keislaman pada lembaga ekstra kampus.

“Sebagai anak kos, bekerja sebagai penjaga toko, tapi tetap kuliah  di UIN Suka, membuatku bangga,” tukasnya.

Namun, kebanggaan Fatima sebagai mahasiswi UIN goyah ketika rektorat mendadak mengeluarkan surat keputusan yang meminta setiap perempuan bercadar melapor untuk mengikuti pembinaan, Februari 2018.

“Aku tak dapat langsung surat keputusan itu. Aku mendapat informasi itu dari sesama teman bercadar di grup WA (WhatsApp). Kaget sekaligus kecewa. Aku jauh-jauh kuliah di sini, di Yogyakarta yang terkenal plural, tapi kok ada keputusan itu,” gugatnya.

Setelah mendapat informasi tersebut, Fatima mencari tahu lebih dalam perihal larangan bercadar kepada kepala program studinya.

“Tapi, sampai 26 Februari, atau dua hari sebelum tenggat waktu yang diberikan rektorat agar mahasiswi bercadar melakukan pendataan konseling, kami belum mendapat kejelasan apa pun. Bahkan, kepala prodiku saja tak tahu kami ini harus lapor ke mana dan bagaimana pendataannya,” tukasnya.

Rektorat sendiri, tutur Fatima, baru memberikan penjelasan mengenai surat keputusan pembinaan mahasiswi bercadar itu dalam sebuah konferensi yang ditujukan kepada awak media—bukan terhadap mereka, mahasiswi bercadar.

“Jadi, setelah surat keputusan itu diketahui publik dan menjadi polemik,” imbuhnya.

Bendera HTI

Awal Februari, civitas academica UIN Suka geger. Beredar foto sejumlah mahasiswi bercadar mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia di masjid dan sejumlah lokasi dalam kampus.

Karena foto yang beredar itu pula, Rektor UIN Suka Profesor Yudian Wahyudi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor B-1301/UN02/R/AK/00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswa Bercadar.

Melalui SK tersebut, Yudian mengharuskan semua mahasiswi bercadar didata. Ada 41 mahasiswi bercadar yang terdata, dan mereka diharuskan mengikuti sesi konsultasi dengan harapan sukarela melepas tabir wajahnya.

"Konseling akan dilakukan beberapa kali. Jika mahasiswi bercadar itu telah diberikan konseling selama beberapa kali tetapi tidak ada perubahan, kami akan mempersilakan mereka untuk pindah kampus," ancam Yudian, Senin (5/3).

Fatima mengkritik sikap sang rektor. Menurutnya, SK itu terlampau terburu-buru karena tak melibatkan semua mahasiswi bercadar untuk lebih dulu berdiskusi mengenai foto pengibaran bendera organisasi yang dilarang oleh Menkopolhukam Wiranto pada Mei 2017 tersebut.

“Mahasiswi bercadar yang mengibarkan bendera HTI itu bukan aku. Bukan pula teman-temanku. Kami semua berkoordinasi melalui grup WA. Kami tahu, perempuan bercadar yang mengibarkan bendera HTI itu bukan mahasiswi UIN Suka,“ ungkapnya.

Foto ilustrasi [Paulus Tandi Bone/JIBI]

Fatima dan mahasiswi bercadar UIN Suka lainnya mengakui sulit beraktivitas di dalam kampus, setelah terbitnya SK rektor tersebut.

Mereka dianggap “mahasiswi radikalis“. Diksi itu, “radikalis“, pada era kekinian di Indonesia, beda-beda tipis dengan pelaku aksi teroristik.

Stigma dijatuhkan kepada Fatima dan teman-temannya. Mereka dicap negatif, yakni berusaha mengajak semua mahasiswi kampus itu bercadar serta mengikuti satu ideologi Islam tertentu.

Fatima menolak stigma tersebut. Memakai cadar adalah keputusan masing-masing individu. Mereka tak terorganisir.

“Tak semua mahasiswi bercadar saling mengenal di kampus ini. Kami memang membuat grup WA, tapi di dalamnya juga ada yang saling tak mengenal,“ terangnya.

“Apa salahnya cadar kami. Kalau ada anggapan kami mengajak yang lain untuk bercadar, itu tidak benar, apalagi terkait gerakan radikal,” sanggahnya lagi.

Siapkan Siasat

Sejak sang rektor mengeluarkan SK mengenai pemakaian cadar, Fatima memunyai dilema: menghapus cita-citanya menjadi sarajana lulusan UIN Suka sehingga bisa tetap mempertahankan cadarnya, atau sebaliknya, membuka tabir wajahnya.

Ia mengakui tak mempersoalkan proyek pembinaan mahasiswi bercadar yang diterapkan rektorat. Fatima justru menyukai ide sang rektor.

“Sebab, dengan mengikuti konseling, kami, sesama mahasiswi bercadar, akan saling bertemu dan mengenal satu sama lain. Konseling itu juga bisa menjadi ajang kami berdiskusi mengenai cadar dan radikalisme bersama pihak kampus,“ terangnya.

Fatima juga mengakui, sebenarnya sudah menyiapkan siasat kalau rektorat memaksa dia dan rekan-rekannya melepas cadar di kampus.

"Kalau akhirnya harus diminta untuk melepaskan cadar, ya aku akan lepas saat di kampus dan menggantinya dengan masker. Tapi kalau di luar kampus, ya baru pakai cadar lagi," ungkapnya, menyudahi pembicaraan Jumat siang itu.

Mereka Bebas Bercadar

Ponsel Wita, jurnalis lepas di Yogyakarta, berdering pada Sabtu (10/3) sore pekan lalu. Satu pesan teks singkat masuk melalui aplikasi WhatsApp di ponselnya. Dari Fatima.

Fatima, perempuan bercadar mahasiswi UIN Suka yang ditemui Wita sehari sebelumnya, mengirimkannya foto selembar surat yang disebut surat rektor membatalkan kebijakan pendataan dan pembinaan mereka.

”Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Universitas (RKU) tanggal 10 maret, diputuskan bahwa surat rektor nomor B-1301/UN02/R/AK/00.3/02/2018 tentang pembinaan mahasiswa bercadar dicabut demi menjaga iklim akademik yang kondusif,” demikian tulisan dalam foto surat yang dikirimkan Fatima.

Surat pembatalan itu berkop nomor B-1679/Un.02/R/AK/00.3/03/2018. Surat tersebut juga dibubuhi tanda tangan Profesor Yudian tertanggal hari yang sama. Ada pula cap stempel rektor.

Profesor Yudian belum bisa dihubungi untuk dimintakan konfirmasi mengenai keabsahan surat bertandatangannya itu.

Dua hari sebelum beredarnya surat itu, Yudian memang mengakui bakal membuat kebijakan baru mengenai boleh tidaknya mahasiswi memakai cadar di kampusnya.

Tapi, ia berjanji mengumumkan kebijakan baru tersebut kepada publik pada Senin (12/3) hari ini. Ketika dipertanyakan isi kebijakan baru tersebut, Yudian masih enggan memberikan sedikit keterangan.

"Itu besok lagi, jangan sekarang, nanti Senin (12/3) akan ada kebijakan baru. Nanti ya," kata Yudian kepada wartawan seusai menjadi saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Kamis (8/3).

Namun, Sabtu malam, setelah surat pembatalan itu luas beredar, Dekan Fakultas Dakwah UIN Suka Alimatul Qibtiyah mau memberikan keteranga membenarkan keabsahan surat yang beredar di kalangan mahasiswa tersebut.

"Iya benar (surat tersebut), tapi saya tidak ikut rapatnya", kata Alimatul.

Surat UIN Sunan Kalijaga. [Suara.com/Wita Ayodhyaputri]

Meski hingga berita ini diunggah, Senin pagi, Rektor Yudian belum mengumumkan kebijakan barunya, foto surat pembatalan itu diyakini keabsahannya oleh mahasiswi bercadar UIN Suka.

"Teman-teman semua di grup WA mahasiswi bercadar UIN Suka menyambut surat ini dengan rasa syukur. Bahagia, karena akhirnya pembinaan itu dibatalkan, yang otomatis penggunaan cadar di UIN Suka di perbolehkan,” klaim Fatima, setelah mengirimkan foto surat tersebut.

Fatima riang. Pikirannya tak lagi membuncah seperti sehari sebelumnya, saat diwawancarai Wita. Kekinian, ia bisa bernafas lega, karena tetap bisa memakai cadar dan juga menyelesaikan studinya demi mendapatkan gelar sarjana dari UIN Suka.

Fatima juga sudah melupakan dan tak mempersoalkan sikap-sikap diskriminatif yang diterimanya dari sejumlah dosen, saat SK pembinaan mahasiswi bercadar tersebut masih berlaku. [Wita Ayodhyaputri]

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu