Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengajuan Raymond Kamil dan Indra Syahputra yang meminta menghapus kolom agama pada KTP.
Keduanya menggugat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 61 Ayat 1 serta Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Gugatannya diterima dan teregistrasi dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024. Namun usaha itu kandas begitu saja.
Amnesty Internasional Indonesia bahkan menyatakan bahwa keputusan MK tersebut mencerminkan sebagai penyimpangan karena tidak sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2005.
Menjadi ateis di negeri relijius seperti Indonesia bisa jadi akan rumit. Sejumlah perangkat aturan yang ada, seperti yang digugat Raymond dan Indra, 'tidak mengizinkan' penganut ateis terdaftar dalam administrasi kependudukan.
Identitas keagamaan mesti jelas dengan menganut sejumlah agama yang diakui pemerintah atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu contoh yang paling jelas, yakni kewajiban mencatatkan pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum suatu agama mengacu pada UU Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam aturan tersebut, seseorang harus memilih salah satu agama untuk menikah dengan orang Indonesia atau meresmikan pernikahannya di Indonesia.
Tentunya persoalan ini tidak mudah bagi penganut Ateis di Indonesia yang secara sadar memilih tidak menganut agama.
Perilaku Firli Bahuri yang menolak penetapan tersangka yang diajukan para penyidik, bukan suatu hal baru.
Kalau memang harus dihapus saya setuju, tapi lebih ke semangat penghapusan diskriminasinya, kata Shinte.
Firli disebut memiliki peran dalam mengintervensi kasus yang juga menjerat Harun Masiku.
Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan Tidak Beragama pada kolom agama di KTP.
DPR sebagai lembaga negara yang menjadi 'tempat kerja' wakil rakyat menghasilkan regulasi kerap berada di urutan ketiga ataupun kedua dari posisi buncit.
Setidaknya 80,9 persen responden menyatakan puas dengan Pemerintahan 100 hari Prabowo-Gibran.
Apakah Prabowo Subianto akan melakukan reshuffle kabinet pada 100 hari pertama kepemimpinannya? Siapa saja yang akan diganti?
Kelompok intelektual yang terkenal dengan daya nalar kritis yang berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi terbelah, ada yang menerima pun menolak.