Suara.com - VONIS 16 tahun penjara mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menuai kritik tajam dari kalangan pegiat antikorupsi. Putusan majelis hakim yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum terhadap ‘makelar peradilan’ itu dinilai belum mencerminkan sikap keras negara terhadap praktik korupsi mafia peradilan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman membandingkan kasus ini dengan perkara serupa yang menjerat jaksa dari Kejaksaan Agung, Urip Tri Gunawan.
“Kita ingat dulu ada jaksa Urip Tri Gunawan, itu divonis maksimal 20 tahun,” ungkap Zaenur kepada Suara.com, Kamis, 19 Juni 2025.
Urip merupakan jaksa penyelidik dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada 2008 lalu ia divonis 20 tahun penjara karena terbukti menerima suap senilai 660 ribu dolar Amerika Serikat.
“Mengapa untuk kasus Zarof Rikar ini yang jelas-jelas memperjualbelikan hukum hanya divonis 16 tahun? Menurut saya vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia,” ujar Zaenur.
Vonis 16 tahun yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kata Zaenur, memang sudah melebihi dua pertiga dari tuntutan JPU 20 tahun penjara. Tapi menurut Zaenur, pola ini mencerminkan kecenderungan pengadilan hanya sebatas ‘mengamankan’ vonis dari upaya banding JPU, alih-alih memberi efek jera maksimal.
“Kalau bangsa ini tegas, harusnya hukumannya maksimal,” katanya.
Zaenur juga menyoroti adanya ruang ‘pemaafan’ di balik putusan tersebut. Hal itu menurutnya tak seharusnya terjadi pada perkara Zarof yang begitu terang benderang.
“Karena hampir tidak ada hal-hal yang meringankan secara prinsip,” tuturnya.
Di sisi lain, Zaenur menilai vonis ringan terhadap Zarof bisa menjadi preseden buruk dalam perkara korupsi di masa depan. Tanpa sikap tegas dan hukuman maksimal, pelaku korupsi bisa terus merasa memiliki ruang kompromi, bahkan negosiasi atas kejahatannya.
“Harusnya hakim bisa menjatuhkan maksimal seperti halnya dulu di kasus Urip Tri Gunawan,” katanya.
Alasan Tak Rasional
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor menjatuhkan vonis 16 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana kurungan kepada Zarof Ricar. Vonis tersebut dibacakan dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 18 Juni 2025.
Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti menyatakan Zarof terbukti melakukan permufakatan jahat berupa suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti. Zarof juga terbukti menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA pada 2012-2022 untuk membantu pengurusan perkara.
Juhriah mengungkap beberapa pertimbangan majelis hakim tidak menjatuhkan pidana penjara maksimal 20 tahun. Salah satunya merujuk pada angka usia harapan hidup rata-rata di Indonesia 72 tahun. Menurut majelis hakim, dengan mempertimbangkan usia Zarof saat ini 63 tahun, pidana 20 tahun itu berpotensi menjadi pidana seumur hidup secara de facto.
Pertimbangan lainnya, majelis hakim merujuk pada status Zarof yang saat ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang atau TPPU oleh Kejaksaan Agung RI. Sehingga, sangat memungkinkan yang bersangkutan akan ditambah hukumannya dari perkara tersebut.
“Sangat mungkin terdakwa diajukan lagi dalam perkara baru,” kata Juhriah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menilai, pertimbangan majelis hakim memvonis Zarof lebih ringan dari tuntutan JPU itu kurang rasional.
“Kami menilai hal tersebut seharusnya tidak dijadikan pertimbangan, mengingat besarnya nilai gratifikasi atau suap dan telah dilakukan sejak 2012 hingga ia pensiun,” jelas Wana kepada Suara.com.
Wana juga turut membandingkan vonis Zarof dengan mantan hakim Setyabudi Tejocahyono. Pada 2013 lalu Setyabudi terbukti menerima suap senilai 18.400 dollar Amerika Serikat dan divonis 12 tahun penjara.
Jika melihat fakta tersebut dan membandingkan nilai gratifikasi yang diterima Zarof, Wana berpandangan majelis hakim sepatutnya menjatuhkan vonis maksimal 20 tahun penjara sebagaimana tuntutan JPU.
“Bukan malah memotong pidananya,” ujar Wana.
Meski begitu, ICW mengapresiasi vonis majelis hakim merampas uang Rp915 miliar dan emas 51 kilogram yang disita dari Zarof untuk negara. Wana juga berharap perkara ‘makelar peradilan’ yang melibatkan Zarof ini dapat menjadi titik balik bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan serangkaian perbaikan sistem pengawasan.
“Sehingga sekecil apapun komunikasi yang dilakukan kepada pihak yang berperkara lebih diminimalisir dan menutup ruang transaksi. Baik itu oleh hakim, panitera, maupun pejabat di peradilan itu sendiri,” tutur Wana.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar menyebut JPU hingga saat ini masih mengkaji isi putusan majelis hakim atas vonis Zarof. Menurutnya, JPU memiliki waktu tujuh hari untuk memutuskan banding atau tidak.
“JPU masih menggunakan hak berpikir tujuh hari setelah putusan, tunggu saja setelahnya seperti apa,” kata Harli kepada Suara.com.
Khofifah absen dari panggilan KPK terkait kasus dana hibah APBD Jatim 2021-2022. Sebelumnya, mantan Ketua DPRD Jatim menyebut Khofifah tahu soal dana hibah.
Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.
KPK mengatakan salah seorang saksi mengatakan Khofifah mengetahui dan turut membahas soal penyaluran dana hibah.
Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.
"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.
Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.
Tiga hari sebelum ditemukan tewas, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI dan tak pernah kembali.
"Bahasa yang diungkapkan Fadli Zon itu bahasa feodalisme paternalistik sekali. Tidak ada sensitif hak asasi manusia," ujar Romo Sandyawan.
"Jadi lebih baik Pemerintah Provinsi Jakarta membuat program yang lebih spesifik dan inovatif, jelas Rakhmat.