Suara.com - *Peringatan pemicu: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi korban/penyintas kekerasan seksual.
Dalam beberapa waktu terakhir, dua kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan mencuat ke publik. Pelakunya bukan orang sembarangan—mereka adalah dokter. Orang yang seharusnya menjadi pelindung pasien, justru menjadi ancaman.
Kedua kasus ini diduga hanya puncak dari gunung es. Ada pola penyalahgunaan kekuasaan di baliknya. Posisi dan keahlian medis digunakan untuk melancarkan kejahatan seksual.
Dampaknya tak main-main. Korban mengalami trauma. Profesi dokter tercoreng. Kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan ikut terguncang. Mengapa ini bisa terjadi?
Kasus pertama datang dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Priguna Anugerah Pratama, dokter residen anestesi, memperkosa seorang perempuan yang sedang mendampingi keluarganya berobat.
Peristiwa itu terjadi pertengahan Maret 2024. Modusnya membius korban dengan dalih pemeriksaan medis. Saat korban tak sadarkan diri, pelaku melancarkan aksinya.
Priguna bukan sekali beraksi. Polisi menemukan lebih dari satu korban. Ironisnya, pelaku sempat mencoba "damai" dengan korban. Namun proses hukum tetap berjalan.
Polda Jawa Barat menetapkannya sebagai tersangka pada 9 April lalu.
Kasus kedua terjadi di Garut. Muhammad Syafril Firdaus, seorang dokter kandungan, diduga melecehkan sejumlah pasien perempuan di kliniknya.
Salah satunya adalah NF. Ia dilecehkan pada Juli 2023, saat sedang hamil anak pertama. NF rutin memeriksakan kandungannya ke Syafril setiap bulan.
Namun, ketika usia kandungan memasuki tujuh bulan, NF mulai merasakan kejanggalan. Ada bagian tubuhnya yang diperiksa secara tidak semestinya.
Pemeriksaannya pun lebih lama dari biasa sekitar 40 menit.
NF merasa bingung dan tak nyaman. Tapi, ia diam.
“Mau bilang juga enggak enak, sumpah. Di dalam hati pengen cepat-cepat beres saja periksanya,” ujarnya kepada Suara.com.
Syafril juga melakukan pelecehan secara verbal. Ia mengomentari unggahan media sosial NF, mengarah ke topik seksualitas. Bahkan, ia mengirim pesan pribadi yang tidak berkaitan dengan pemeriksaan.
Saat usia kandungan NF hampir delapan bulan, pelaku menawarkan pemeriksaan USG empat dimensi secara gratis.
Namun, itu bukan tawaran biasa. Ia menduga itu adalah jebakan. NF, yang sudah merasa tidak nyaman sejak pemeriksaan sebelumnya, menolak tegas.
“Aku sudah enggak nyaman, jadi aku tolak mentah-mentah,” katanya.
Rasa tidak aman itu terus menghantuinya. NF bahkan sempat berhenti memeriksakan kehamilannya.
Memasuki usia sembilan bulan, ia memutuskan untuk mengganti dokter. Tapi Syafril belum berhenti. Ia masih sempat menghubungi NF dan bertanya kenapa korban tak lagi datang ke kliniknya.
"Langsung aku hapus nomornya. Eh, di WA dihapus, muncul lagi komen di Instagram. Parahh," ujar NF.
Kini, Syafril telah ditangkap. Proses hukum berjalan. Ia tengah menjalani pemeriksaan di Polres Garut.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Aktivis dari Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, menilai dua kasus kekerasan seksual oleh dokter sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, pelaku memanipulasi profesinya demi kepentingan pribadi.
"Ini adalah abuse of power," kata Vivi, sapaan akrab Anindya, kepada Suara.com, Kamis (17/4/2025).
"Kita mau bilang, 'kayaknya prosedurnya enggak gini deh', tapi nanti dokternya ngeles, pakai alasan-alasan medis."
Bagi Vivi, situasi ini tak bisa dianggap sepele. Kekerasan seksual yang dilakukan tenaga kesehatan bisa membuat banyak perempuan semakin takut mengakses layanan medis.
Terutama layanan terkait kesehatan reproduksi yang sejak awal kerap disertai stigma.
"Enggak sedikit perempuan yang dipermalukan secara verbal waktu periksa. Komentar-komentar yang merendahkan itu nyata," ujar Vivi.
"Dan kasus kayak gini bikin perempuan mikir dua kali sebelum datang ke dokter."
Lebih jauh, kata Vivi, ini bukan cuma soal trauma korban. Tapi juga soal hilangnya hak perempuan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang aman dan manusiawi.
Bahkan, menurutnya, pelaku laki-laki seperti dalam kasus Priguna dan Syafril memunculkan stereotip baru yang semakin memberatkan perempuan.
"Bebannya panjang. Enggak cuma buat korban langsung, tapi juga perempuan lain yang jadi takut ke dokter," ucapnya.
Vivi menyebut dua kasus itu bukan kejadian baru. Ia percaya ini hanya puncak dari fenomena gunung es tanda bahwa ruang publik, termasuk fasilitas kesehatan, belum benar-benar aman bagi perempuan.
Data pun membenarkan kekhawatiran itu.
Survei Koalisi Ruang Publik Aman, termasuk Jakarta Feminist, pada 2022 lalu menunjukkan 100 responden mengalami pelecehan seksual di fasilitas kesehatan. Dari jumlah itu, 44 pelakunya adalah tenaga kesehatan.
Situasi ini mengkhawatirkan. Tempat yang seharusnya menjadi ruang penyembuhan, justru berpotensi menjadi sumber trauma baru.
"Kalau ke faskes kan niatnya mau sembuh. Tapi karena ada pelaku kekerasan seksual, yang datang malah dapat penyakit lain penyakit mental," tegas Vivi.
Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat ada 1.830 kasus kekerasan seksual di ruang publik sepanjang 2024. Tiga di antaranya terjadi di fasilitas kesehatan.
Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, mengecam keras tindakan Priguna dan Syafril.
"Ini sangat ironis, fasilitas kesehatan yang selama ini dipercaya masyarakat menjadi ruang aman, kini dinodai oleh orang yang berprofesi sebagai dokter di dua lokasi tersebut," kata Daden kepada Suara.com.
Tak Hanya Rugikan Pasien, Tapi Juga Profesi Kesehatan
Dua kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter tak hanya menyakiti korban. Dampaknya jauh lebih luas. Termasuk merusak citra profesi tenaga kesehatan itu sendiri.
Sandra Suryadana dari komunitas Dokter Tanpa Stigma mengecam keras tindakan pelaku.
"Fenomena ini bukan hanya mencederai individu yang menjadi korban," ujar Sandra kepada Suara.com.
"Tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap profesi medis secara keseluruhan."
Menurutnya, kekerasan seksual tak hanya terjadi antara dokter dan pasien.
Tapi juga marak di lingkungan pendidikan tenaga kesehatan dari senior ke junior, dari dosen ke mahasiswa.
Dan ini bukan hal baru. Kasus demikian, sudah lama terjadi. Namun suara para korban nyaris tak terdengar.
"Bukan cuma karena akses pelaporan yang sulit," kata Sandra.
"Tapi karena ada tekanan psikologis, sosial, dan struktural yang membuat korban memilih diam."
Tak sedikit korban baru berani bersuara setelah sekian lama menahan trauma. Seperti dalam kasus di Bandung dan Garut, para penyintas melapor beberapa waktu setelah kejadian.
Butuh keberanian besar untuk itu.
Salah satu penyebabnya modus yang samar.
Pelecehan dibungkus dalam bentuk prosedur medis. Komentar seksual, sentuhan pada area tubuh yang katanya bagian dari pemeriksaan, atau tindakan yang diklaim profesional padahal sebaliknya.
"Karena dibungkus dalih pemeriksaan, banyak korban tak sadar bahwa mereka sedang dilecehkan," kata Sandra.
Relasi kuasa antara dokter dan pasien membuat situasi makin sulit. Tenaga kesehatan dianggap lebih tahu, lebih pintar, punya kedudukan lebih tinggi. Posisi pasien jadi lemah. Tak punya daya tawar.
"Apalagi kalau pelakunya tokoh senior, dihormati, atau punya reputasi besar," lanjutnya. "Keberanian untuk melapor jadi nyaris mustahil."
Agar kekerasan seksual tak terus berulang, komunitas Dokter Tanpa Stigma menyampaikan sejumlah tuntutan.
Pertama, para tenaga kesehatan harus mengubah cara pandang, baik secara pribadi maupun kolektif, soal kekerasan seksual. Kedua, Kementerian Kesehatan perlu menyusun sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban. Ketiga, pelatihan tentang kekerasan seksual harus diwajibkan di semua fasilitas kesehatan.
Mereka juga mendesak asosiasi profesi memperbarui kode etik dan aturan kerja. Kekerasan seksual harus dijelaskan secara eksplisit dalam regulasi.
Komnas Perempuan juga menyuarakan hal serupa.
Menurut Komisioner Daden Sukendar, kementerian perlu menyusun kebijakan pencegahan. Fasilitas kesehatan harus jadi ruang aman, bukan tempat baru untuk trauma.
Komnas Perempuan, kata Daden, siap bekerja sama dengan semua pihak. Tujuannya satu: memastikan perempuan bebas dari segala bentuk diskriminasi.
"Sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan," ujar Daden.
Terbaru, seorang wanita bernama Qorry Aulia Rachmah 'speak up' soal kejadian tak menyenangkan yang dialaminya melalui akun Instagram @qorryauliarachmah.
Ayah, paman, dan kakek di Garut ditangkap atas pemerkosaan anak 5 tahun. Menteri PPPA dan KPAI mengutuk keras, kawal kasus, dan minta hukuman diperberat serta restitusi.
"Itu adalah tindakan amoral dan asusila yang tidak patut dicontoh dan dilakukan seorang guru besar,"
Pemerintah terlalu berhati-hati, bahkan cenderung tunduk pada kepentingan bisnis dan investor teknologi.
Tujuan ekonomi Indonesia sesuai amanat konstitusi bukan hanya soal mencari keuntungan belaka, tetapi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Akan lebih efektif dan efisien jika Jokowi memanfaatkan partai yang sudah eksis," ujar Agung.
Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.
Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan
Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.
BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.