RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?
Home > Detail

RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Selasa, 18 Maret 2025 | 18:32 WIB

Suara.com - DPR RI dan pemerintah mengusulkan menambah enam pos kementerian dan lembaga yang dapat diduduki prajurit aktif dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Salah satunya adalah Kejaksaan Agung RI. RUU TNI ini menuai kritik keras dari kalangan masyarakat sipil karena dinilai akan mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme.

DIREKTUR Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif dalam RUU TNI ini berbahaya. Salah satunya karena bisa menjadi celah bagi pemerintah untuk menempatkan anggota TNI aktif sebagai Jaksa Agung RI. Seperti Kepala Basarnas dan Kepala BNPT. Meskipun Wakil Ketua DPR RI Sufmi Ahmad Dasco mengklaim prajurit TNI aktif hanya akan menjabat Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer atau Jampidmil.

“Tidak ada tafsir atau penjelasan resmi terkait hal tersebut. Karena itu sangat mungkin jabatan Jaksa Agung bisa ditempati oleh militer aktif seperti Kepala Basarnas dan kepala BNPT,” kata Ardi kepada Suara.com, Senin (17/3/2024).

Berdasar catatan Suara.com di masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, Jaksa Agung RI pernah dijabat oleh anggota TNI aktif, Letjen Andi Muhammad Ghalib. Jenderal TNI bintang tiga itu sempat dituding Indonesia Corruption Watch (ICW) menerima uang ratusan juta terkait penanganan perkara bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ghalib lalu dinonaktifkan sebagai Jaksa Agung RI pada Juni 1999.

Sementara Ardi menilai penambahan Kejaksaan Agung RI sebagai lembaga yang bisa dijabat anggota TNI aktif sangat tidak tepat. Sebab fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. Sementara Kejaksaan Agung RI merupakan lembaga penegak hukum.

Imparsial sejak awal bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga telah menolak pembentukan Jampidmil. Terlebih Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas yang sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan Kejaksaan Agung RI dan oditur militer.

Ilustrasi prajurit TNI AD sedang berbaris. [Istimewa]
Ilustrasi prajurit TNI AD sedang berbaris. [Istimewa]

Selain itu peradilan koneksitas selama ini dinilai bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. Alih-alih memperluas jabatan anggota TNI aktif di Kejaksaan Agung RI, Ardi memandang peradilan koneksitas itu seharusnya dihapus. Sebab militer yang terlibat tindak pidana umum seperti masyarakat sipil semestinya tunduk dalam peradilan umum.

“Penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil,” jelas Ardi.

Dalam Pasal 47 Ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI prajurit aktif awalnya hanya dapat menduduki 10 jabatan sipi di kementerian dan lembaga. Di antaranya yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Lewat RUU TNI, DPR RI dan pemerintah lalu mengusulkan menambah enam pos kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif. Keenam kementerian dan lembaga tersebut, yakni; Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung RI.

Ardi mengatakan DPR RI dan pemerintah seharusnya mempersempit, membatasi dan mengurangi keterlibatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil. Bukan justru semakin memperluas jabatan tersebut yang berpotensi kembali menghidupkan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia.

“Jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 Ayat 2 UU TNI itu dikurangi bukan malah ditambah,” ujarnya.

Konflik kepentingan

Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro sependapat dengan Imparsial. Menurutnya RUU TNI yang memperluas wewenang anggota TNI aktif dapat menjabat posisi di Kejaksaan Agung RI sebagai produk akal-akalan pemerintah.

Ilustrasi prajurit TNI. [Istimewa]
Ilustrasi prajurit TNI. [Istimewa]

Castro menilai anggota TNI sejak awal dididik sebagai prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.

“Jadi sangat tidak rasional, ini hanya akal-akalan memberikan atau melapangkan jalan militer untuk menempati pos-pos jabatan di luar kompetensinya,” ungkap Castro kepada Suara.com.

Alih-alih memperluas jabatan sipil yang bisa diisi anggota TNI aktif, Castro menilai DPR RI dan pemerintah seharusnya mereformasi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sehingga anggota TNI yang terlibat atau melakukan tindak pidana dapat diadili lewat mekanisme peradilan umum.

Sementara memperluas wewenang anggota TNI aktif bisa menjabat di Kejaksaan Agung hanya akan semakin memicu terjadinya konflik kepentingan. Apalagi jika sampai menjabat Jaksa Agung ataupun Jampidmil.

“Paling berbahaya sebenarnya ketika militer masuk dalam jabatan jabatan seperti Jaksa Agung dan Jampidmil itu. Jaksa tidak lagi menjadi pengacara negara tapi menjadi pengacara militer, karena kepentingan yang dibawa adalah kepentingan militer. Sehingga mustahil kemudian akan menyasar golongannya sendiri,” tuturnya.

Sedangkan Ketua Panitia Kerja atau Panja RUU TNI, Utut Adianto membantah RUU TNI sebagai upaya mengembalikan dwifungsi TNI. Dia justru mengklaim lewat perubahan tersebut DPR RI dan pemerintah semakin membatasi peran TNI di ranah sipil.

“Saya juga sudah kali-kali bicarakan, justru ini melimitasi," kata Utut di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3).

Bantahan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi. Dia mengklaim RUU TNI justru memperkuat peran TNI dalam melindungi kedaulatan negara dan menyelesaikan tantangan dan permasalahan yang ada.

“Jadi, tolonglah untuk tidak mengeluarkan statement-statement yang seolah-olah akan kembali ada dwifungsi ABRI, tidak begitu,” katanya.


Terkait

Ogah Ikuti Dedi Mulyadi Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer, Pramono: Jakarta Punya Kebijakan Sendiri
Jum'at, 02 Mei 2025 | 19:55 WIB

Ogah Ikuti Dedi Mulyadi Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer, Pramono: Jakarta Punya Kebijakan Sendiri

Pramono mengatakan Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta sudah memiliki cara lain dalam menertibkan siswa bermasalah.

Dari Medan Tempur ke Obat-obatan: Kontroversi Rencana Pabrik Farmasi TNI
Jum'at, 02 Mei 2025 | 18:23 WIB

Dari Medan Tempur ke Obat-obatan: Kontroversi Rencana Pabrik Farmasi TNI

Rencana TNI membangun pabrik farmasi untuk menekan harga obat memicu pro-kontra, mulai dari tumpang tindih peran hingga kekhawatiran akan akuntabilitas di sektor kesehatan.

Korea Selatan Bergejolak: PM Han Duck-soo Mengundurkan Diri di Tengah Krisis!
Jum'at, 02 Mei 2025 | 15:28 WIB

Korea Selatan Bergejolak: PM Han Duck-soo Mengundurkan Diri di Tengah Krisis!

Pengunduran diri ini diduga sebagai salah satu upaya untuk memuluskan pencalonannya sebagai Presiden Korsel.

Terbaru
Dua Faktor di Balik Pengunduran Diri Hasan Nasbi
polemik

Dua Faktor di Balik Pengunduran Diri Hasan Nasbi

Jum'at, 02 Mei 2025 | 13:18 WIB

Masalah anggaran PCO dan sulitnya akses informasi serta komunikasi dengan pemerintahan disinyalir penyebab di balik mundurnya Hasan Nasbi.

Hari Buruh Dihantui PHK Massal, Mampukah Satgas Membendung? polemik

Hari Buruh Dihantui PHK Massal, Mampukah Satgas Membendung?

Jum'at, 02 Mei 2025 | 09:03 WIB

Langkah ini muncul di tengah lonjakan angka PHK dan dampak ekonomi global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump.

Barak Militer untuk 'Anak Nakal': Mengapa Wacana Dedi Mulyadi Rentan Langgar Hak Anak? polemik

Barak Militer untuk 'Anak Nakal': Mengapa Wacana Dedi Mulyadi Rentan Langgar Hak Anak?

Rabu, 30 April 2025 | 15:03 WIB

Lngkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut.

Ketika ASN Jakarta Jadi Pelopor: Mungkinkah Penggunaan Transportasi Umum Dibudayakan? polemik

Ketika ASN Jakarta Jadi Pelopor: Mungkinkah Penggunaan Transportasi Umum Dibudayakan?

Rabu, 30 April 2025 | 09:25 WIB

Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.

Kejanggalan Pengadaan Jet Pribadi KPU, Indikasikan Korupsi polemik

Kejanggalan Pengadaan Jet Pribadi KPU, Indikasikan Korupsi

Selasa, 29 April 2025 | 16:31 WIB

"Hal ini mengindikasikan perencanaan pengadaan oleh KPU bermasalah," kata Agus.

Nasib PCO Usai Prabowo Tunjuk Mensesneg Jadi Jubir Istana polemik

Nasib PCO Usai Prabowo Tunjuk Mensesneg Jadi Jubir Istana

Selasa, 29 April 2025 | 09:50 WIB

Ini untuk menjamin transparansi, kejelasan otoritas kelembagaan, serta perlindungan atas hak publik dalam mengakses informasi dari lembaga resmi negara, jelas Hazmin.

Desakan Pemakzulan Gibran: Antara Proses Hukum dan Realitas Politik polemik

Desakan Pemakzulan Gibran: Antara Proses Hukum dan Realitas Politik

Senin, 28 April 2025 | 09:50 WIB

"Karena Gibran memang tidak disenangi oleh banyak pihak, dia mestinya juga harus menunjukan kapasitasnya. Tapi ternyata tak begitu, sehingga orang semakin kecewa," Arsinaldi.