Suara.com - Upaya pembungkaman dan kriminalisasi dialami oleh aktivis kontras usai menggerebek rapat tertutup revisi UU TNI antara Komisi 1 DPR dan pemerintah.
Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?
Sabtu (15/3/2025) sore, rapat tertutup digelar di sebuah hotel mewah di Jakarta. Hotel Fairmont.
Anggota Komisi 1 DPR RI dan pemerintah berkumpul di ruang eksklusif. Mereka membahas revisi Undang-Undang TNI jauh dari sorotan publik.
Tiba-tiba, suasana berubah. Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, bersama dua rekannya, menerobos masuk. Mereka mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
"Selamat sore, Bapak Ibu! Kami menuntut agar RUU TNI dihentikan. Proses ini tidak transparan!" teriak Andrie.
Belum selesai berbicara, beberapa petugas bergerak cepat. Mereka menarik Andrie dengan paksa. Tubuhnya terjungkal. Tapi dia tak diam. Dari balik pintu yang kini dijaga ketat, ia terus berorasi, suaranya menggema di lorong hotel.
Usai aksi itu, mereka mendapat teror.
Minggu dini hari itu, suasana di kantor KontraS mendadak mencekam. Tepat pukul 00.16 WIB, tiga pria tak dikenal berdiri di depan pagar.
Dua berbaju hitam, satu berkaos krem. Mereka menekan bel berkali-kali, tanpa alasan jelas. Dari balkon, Andrie Yunus mengamati mereka.
“Kami sempat bertanya asal mereka. Salah satu pria berbaju hitam menjawab ‘dari media,’ tapi terus membunyikan lonceng,” kata Andrie.
Tak lama berselang, telepon Andrie berdering. Tiga kali. Nomor tak dikenal.
Setelah ditelusuri, nomor itu terhubung dengan personel Datasemen Intelijen (Denintel) TNI Angkatan Darat.
Usai teror dini hari, kini giliran laporan polisi datang. Mereka dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Pelapornya bukan pejabat atau aparat, melainkan petugas keamanan Hotel Fairmont, berinisial RYR. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, menyebut mereka diduga melanggar sejumlah pasal dalam KUHP.
Tuduhannya beragam: mengganggu ketertiban umum, melakukan pemaksaan dengan ancaman kekerasan, hingga menghina penguasa.
"Perbuatan mereka melanggar Pasal 172, 212, 217, 335, 503, dan 207 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP," kata Ade Ary, Minggu (16/3).
Tanda-tanda intimidasi sebenarnya sudah muncul sejak Jumat, 14 Maret 2025. Dua motor Vario dan satu Ninja berkali-kali melintas di depan kantor KontraS. Bolak-balik. Seperti mengawasi.
Dugaan Kriminalisasi dan Kejanggalan Laporan
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menilai teror dan laporan terhadap aktivis KontraS sebagai bentuk kriminalisasi.
"Laporan ini adalah upaya membungkam suara kritis yang menolak revisi UU TNI. Ini keliru dan seharusnya tidak diproses kepolisian," tegas Arif kepada Suara.com, Senin (17/3/2025).
Menurutnya, kasus ini adalah contoh Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), gugatan hukum untuk menghambat partisipasi publik.
YLBHI juga menemukan sejumlah kejanggalan. Laporan masuk ke Polda Metro Jaya pada Minggu (16/3), dan di hari yang sama, surat pemanggilan untuk KontraS langsung terbit.
Bahkan, surat itu dikirim malam hari, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan jadwal pemeriksaan pada Selasa (18/3). Arif menegaskan pemanggilan itu tidak sah menurut KUHAP.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyoroti hal lain: surat pemanggilan dari Polda Metro Jaya bersifat "klarifikasi," sesuatu yang tidak diatur dalam KUHAP.
"Karena itu, KontraS berhak menolak pemanggilan ini," kata Dimas.
Kejanggalan lain terletak pada pasal yang digunakan. Salah satunya Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum.
Seharusnya, laporan dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini pemerintah atau DPR. Namun, yang melapor justru petugas keamanan Hotel Fairmont.
"Dengan pelaporan yang dibuat oleh petugas keamanan Hotel Fairmont itu saja sudah terlihat ada nuansa terburu-buru, dipaksakan. Dan juga delik yang digunakan tidak tepat," kata Dimas.
Dugaan Kejahatan Legislasi dan Kritik terhadap Pernyataan Deddy Corbuzier
Tak lama berselang, Staf Khusus Menteri Pertahanan, Deddy Corbuzier, buka suara soal aksi tiga aktivis KontraS. Ia menuding tindakan mereka melawan hukum dan ilegal.
"Yang terjadi kemarin bukanlah sebuah bentuk kritik atau masukan yang membangun, tapi merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum," kata Deddy lewat akun Instagram @dc.kemhan, dikutip Suara.com, Senin (17/3/2025).
Deddy mengklaim rapat Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan yang membahas revisi UU TNI pada akhir pekan lalu sah secara konstitusi. Menurutnya, aksi protes yang mengganggu jalannya rapat itu tidak bisa disebut kritik yang membangun.
Tapi, Arif Maulana membantah. Ia menegaskan bahwa justru DPR dan pemerintah yang telah melanggar hukum dengan menggelar rapat tertutup. Sembunyi-sembunyi.
"Kenapa rakyat yang menyampaikan kritik dan protes atas kejahatan legislasi malah diancam pidana?" tegasnya.
Menurutnya, pembahasan RUU TNI yang tertutup mencederai demokrasi. Terlebih, ada pasal-pasal yang membuka peluang kembalinya Dwi Fungsi TNI dengan memperluas jabatan militer di lembaga sipil.
Arif menekankan, revisi undang-undang harus transparan dan melibatkan publik. Hal ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika kebijakan menyangkut kepentingan rakyat, maka rakyat harus dilibatkan.
"Jadi sebetulnya yang melakukan kejahatan dan juga pelanggaran hukum dan melakukan tindakan ilegal, itu adalah para anggota DPR yang melakukan rapat secara sembunyi-sembunyi, tidak membuka partisipasi publik yang bermakna," tegasnya.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, juga menyoroti penggunaan kata "ilegal" oleh Deddy. Menurutnya, justru rapat tertutup itu yang ilegal.
"Bagaimana bisa pembahasan undang-undang untuk publik dilakukan secara privat?" katanya.
Dimas menegaskan, dalam negara demokrasi, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk dalam pembuatan undang-undang. Jika ada yang melanggar hukum, kata Dimas, itu bukan rakyat yang mengawasi, melainkan mereka yang menyembunyikan kebijakan dari rakyat.
"Jadi kalau mau bicara soal ilegal, justru pernyataan Deddy yang tidak masuk akal," sindirnya.
Ketika dikonfirmasi mengenai kabar ini, Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo justru diam.
Lantas, benarkah klaim Prabowo akan memusnahkan TNI-Polri jika membuat rakyat susah?
Andrie Yunus menyampaikan pembubaran paksa yang berujung dengan aksi penangkapan ini bententangan dengan UUD 1945
"...Enggak ada niat TNI mau dwifungsi (ABRI) lagi."
Langkah ini muncul di tengah lonjakan angka PHK dan dampak ekonomi global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump.
Lngkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut.
Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.
"Hal ini mengindikasikan perencanaan pengadaan oleh KPU bermasalah," kata Agus.
Ini untuk menjamin transparansi, kejelasan otoritas kelembagaan, serta perlindungan atas hak publik dalam mengakses informasi dari lembaga resmi negara, jelas Hazmin.
"Karena Gibran memang tidak disenangi oleh banyak pihak, dia mestinya juga harus menunjukan kapasitasnya. Tapi ternyata tak begitu, sehingga orang semakin kecewa," Arsinaldi.
Memang tak ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kecintaan Ricky kepada musik rock, yang juga membuatnya amat dicintai penggemar band Seringai.