Intimidasi di Balik Layar: Sukatani dan 'Bayar Bayar Bayar' yang Tak Bisa Dibayar
Home > Detail

Intimidasi di Balik Layar: Sukatani dan 'Bayar Bayar Bayar' yang Tak Bisa Dibayar

Chandra Iswinarno | Muhammad Yasir

Jum'at, 21 Februari 2025 | 18:27 WIB

Suara.com - Duo post-punk/new wave asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani diduga diintimidasi polisi sehingga menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari seluruh layanan musik digital.

Mereka juga ditengarai ditekan agar menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada Kapolri dan institusi Polri lewat akun Instagram @sukatani.band pada, Kamis, 20 Februari 2025.

Dua narasumber yang mengetahui informasi terkait kejadian itu bercerita kepada Suara.com, personel Sukatani: Muhammad Syifa Al Lutfi alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati atau Twister Angel awalnya dihampiri anggota polisi dari Polda Jawa Tengah. Peristiwa tersebut terjadi di Banyuwangi ketika mereka dalam perjalanan pulang dari Bali menuju Purbalingga. 

Al dan Citra kemudian dibawa ke salah satu kantor kepolisian di Banyuwangi. Di sana keduanya diduga mendapat intimidasi, sehingga akhirnya membuat video pernyataan tersebut.

"Memang sudah diawasi dari tahun lalu," ungkapnya kepada Suara.com, Kamis (20/2/2025).

'Bayar Bayar Bayar' merupakan satu dari delapan lagu dalam album Gelap Gempita yang dirilis Sukatani pada tahun 2023. Lirik lagu 'Bayar Bayar Bayar' itu berisi kritik terhadap polisi. Seperti: 'Mau bikin SIM bayar polisi’ dan ‘Mau jadi polisi bayar polisi’.

Dalam video yang diunggah akun Instagram @sukatani.band, Al sempat menjelaskan bahwa lagu 'Bayar Bayar Bayar' mereka ciptakan untuk oknum polisi yang melanggar peraturan.   

"Saya Muhammad Syifa Al Lutfi sekali lagi mohon maaf. Saya Novi Citra Indriyati sekali lagi mohon maaf," ucap mereka. 

Sejumlah musisi turut meyakini adanya intimidasi dari polisi di balik keputusan Sukatani menarik lagu 'Bayar Bayar Bayar'.

Profil Band Sukatani (Instagram/sukatani.band)
Profil Band Sukatani (Instagram/sukatani.band)

Dua di antaranya yang meyakini adanya intimidasi itu adalah vokalis band Seringai Arian dan musisi Hiphop Tuan Tigabelas. Mereka juga menyerukan tagar #KamiBersamaSukatani sebagai bentuk solidaritas. 

Berdasar pantauan Suara.com hingga Jumat, 21 Februari 2025 pukul 17.58 WIB pengguna tagar #KamiBersamaSukatani itu telah mencapai lebih dari 203 ribu postingan. 

Selain di X, sejumlah musisi juga turut memenuhi kolom komentar di akun Instagram @sukatani.band. Salah satunya Endah Widiastuti.

“Semangat!!! Lagu kalian suara hati rakyat!,” tulisnya. 

Sukatani hingga kekinian belum memberikan penjelasan terkait adanya dugaan intimidasi tersebut.

Namun informasi yang diterima Suara.com Al dan Citra telah dipastikan dalam kondisi aman kembali ke Purbalingga pada Jumat (21/2/2025) sore. 

Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam keterangannya pada Jumat (21/2/2025) mengaku menerima segala kritikan dan masukan terhadap Polri.

Bahkan, dia juga mengingatkan kepada seluruh anggotanya untuk legowo terhadap segala kritikan dan selalu melakukan pembenahan.

"Prinsipnya Polri terus berbenah untuk melakukan perbaikan, dengan memberikan punishment kepada anggota yang melanggar dan memberikan rewards kepada anggota yang baik dan berprestasi,” katanya.

Setelah penarikan lagu Sukatani ini viral dan menjadi perhatian Kapolri, Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Artanto akhirnya muncul memberikan klarifikasi.

Dia mengakui anggota Polda Jawa Tengah sempat meminta klarifikasi kepada Sukatani terkait maksud dari lagu 'Bayar Bayar Bayar'.

Klaim Tidak Ada Intimidasi dan Intervensi

Namun, Artanto mengklaim penarikan lagu Bayar Bayar Bayar tersebut merupakan keputusan Sukatani tanpa adanya intimidasi dan intervensi.

“Klarifikasi itu cuma sekadar kita ingin mengetahui maksud dan tujuan dari pembuatan lagu tersebut,” kata Artanto. 

Artanto juga memastikan pihaknya tidak melarang Sukatani apabila ingin membawakan lagu 'Bayar Bayar Bayar'. Termasuk memasukkan kembali dalam layanan musik digital. 

“Monggo aja. Kita menghargai ekspresi,” katanya. 

Sedangkan, Menteri Kebudayaan (Menkebud) Fadli Zon mengklaim pemerintah selalu mendukung kebebasan berekspresi dan berkesenian. 

Selain juga terbuka terhadap segala kritik termasuk terhadap oknum polisi. Namun, kata Fadli, segala bentuk ekspresi itu juga harus memahami batasan. Jangan sampai merugikan suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA. 

"Juga institusi-institusi yang bisa dirugikan," tutur Fadli di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (21/2/2025).

Jangan Takut Berekspresi 

Kasus ini kemudian menjadi sorotan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menilai tindakan polisi yang diduga mengintimidasi Sukatani hingga menarik lagu 'Bayar Bayar Bayar' sebagai bentuk anti kritik.

Tak hanya itu, Isnur menilai bahwa tindakan tersebut menurutnya sangat bahaya lantaran dapat mengancam demokrasi, kebebasan berekspresi dan berkesenian. 

"Ini persis zaman otoritarian seperti dulu Orde Baru yang takut pada tulisan Pramoedya Ananta Toer dan lainnya. Ini sangat berbahaya terhadap demokrasi, kebebasan berekspresi dan berkesenian,” tutur Isnur kepada Suara.com

Tindakan yang diduga dilakukan anggota Polda Jawa Tengah ini, kata Isnur, juga bertentangan dengan pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Karena itu dia mendesak Kapolri menindak tegas anggotanya yang terlibat. 

Menteri Kebudayaan Fadli Zon. [Suara.com/Novian]
Menteri Kebudayaan Fadli Zon. [Suara.com/Novian]

Isnur juga menyampaikan kepada semua pihak agar tidak takut berkarya dan berekspresi. Sebab hal itu telah dijamin oleh undang-undang. 

“Jika ada ancaman seperti ini YLBHI siap memberikan bantuan dan pendamping hukum kepada masyarakat, seniman dan semua,” katanya. 

Berdasar data Koalisi Seni sejak 2010-2024 pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Pada Tahun 2024 saja mereka mencatat setidaknya ada sekitar 60 peristiwa. Salah satunya terkait pelarangan pameran lukisan karya Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”.

Sedangkan di awal tahun 2025, sebelum kejadian Sukatani, Institut Seni Budaya Indonesia atau ISBI Bandung, Jawa Barat juga melarang pementasan lakon 'Wawancara dengan Mulyono' karya Kelompok Teater Payung Hitam. 

Koalisi Seni menilai kondisi ini menunjukkan bahwa negara semakin meminggirkan pemenuhan dan pelindungan terhadap kebebasan berkesenian. Praktik berkesenian ke depan diprediksi semakin penuh risiko. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa kebebasan berkesenian merupakan bagian dari hak asasi manusia atau HAM yang diakui secara universal.

Terlebih sebuah karya seni itu juga merupakan bagian penting yang diperlukan untuk kemajuan budaya bangsa. 

Usman kemudian mendesak kapolri segera mengambil tindakan koreksi atas dugaan adanya intimidasi terhada Sukatani.

Sebab, tanpa adanya intimidasi dia meyakini Sukatani tidak mungkin membuat video permohonan maaf yang ditujukan kepada kapolri dan jajarannya tersebut. 

"Koreksi itu akan diukur oleh publik dari terungkapnya siapa pejabat polisi yang menekan, dan diukur dari kembali tidaknya lagu itu disiarkan dalam wahana siaran digital seperti Spotify," katanya. 

Usman juga mendesak kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit agar lagu tersebut bisa menjadi bahan refleksi dan koreksi.

"Jika perlu, koreksi itu bisa dilakukan dalam bentuk kapolri undang Sukatani ke Mabes Polri dan bernyanyi di hadapan Kapolri sekaligus sampaikan kepada seluruh jajaran Polri agar dengarkan lirik lagu tersebut dan lakukan koreksi nyata dalam melayani dan melindungi masyarakat."


Terkait

Setelah Satryo, Siapa Nama Menteri yang Layak Di-reshuffle Presiden Prabowo?
Jum'at, 21 Februari 2025 | 15:48 WIB

Setelah Satryo, Siapa Nama Menteri yang Layak Di-reshuffle Presiden Prabowo?

Reshuffle Mendiktisaintek jadi peringatan bagi menteri lain yang kinerjanya buruk. Bahlil, Budi Arie, Yandri, dan Raja Juli dinilai layak diganti. Namun, faktor politik bisa melindungi mereka.

Anak-Anak Disuruh Makan, Bukan Sekolah: Polemik Program Prabowo di Tanah Papua
Kamis, 20 Februari 2025 | 19:15 WIB

Anak-Anak Disuruh Makan, Bukan Sekolah: Polemik Program Prabowo di Tanah Papua

Tindakan aparat mencegat hingga menangkap siswa yang hendak berunjuk rasa tanpa alasan hukum yang dibenarkan adalah bentuk pelanggaran HAM.

Terbaru
Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan
nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat! nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta nonfiksi

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta

Selasa, 30 September 2025 | 15:38 WIB

Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.

×
Zoomed