Suara.com - Sering dengar kan, kalau ada anak yang berbuat kasar, langsung deh game yang disalahkan. "Gara-gara main game kekerasan tuh!" Begitu kira-kira celetukan yang sering terdengar.
Padahal, menyalahkan game begitu saja itu terlalu sederhana, lho. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku anak, dan game hanyalah salah satunya.
Kabar baiknya, ada solusi yang bisa membantu kita meminimalisir dampak negatif game, yaitu dengan memahami dan menerapkan rating usia.
Realitas Konten Game
Memang betul, ada beberapa game yang berisi adegan kekerasan, bahasa kasar, atau konten dewasa lainnya yang jelas nggak cocok buat anak-anak. Ada tembak-tembakan, perkelahian, bahkan adegan yang bikin kita sebagai orang dewasa pun merasa ngeri.
Tapi, perlu diingat juga, nggak semua game dibuat untuk anak-anak. Ada game yang memang ditujukan untuk orang dewasa, dengan cerita dan tema yang lebih kompleks dan matang. Jadi, wajar saja kalau ada konten yang "dewasa" di dalamnya.
Rating Usia: Panduan yang Jelas
Nah, di sinilah pentingnya rating usia. Rating usia ini semacam panduan yang memberi tahu kita game ini cocok dimainkan untuk usia berapa.
Di Indonesia, kita punya IGRS (Indonesia Game Rating System). IGRS ini sebenarnya sudah diluncurkan sejak tahun 2016, lho!
Tepatnya, soft launching situs IGRS.ID diadakan di acara BEKRAF Game Prime 2016 pada tanggal 29-30 November.
Seperti yang dikutip dari situs resmi Kominfo, peluncuran situs ini merupakan bentuk penerapan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik sekaligus pengenalan Indonesia Game Rating System (IGRS) kepada masyarakat.
IGRS punya beberapa kategori usia, di antaranya:
Penting untuk diingat, rating usia ini adalah panduan, bukan larangan. Artinya, orang tua tetap punya hak untuk menentukan game mana yang boleh dimainkan anaknya, meskipun sudah ada rating usianya.
Peran Penting Orang Tua
Rating usia memang penting, tapi yang paling penting tetaplah peran aktif orang tua. Rating usia itu cuma alat bantu, pengawasan dan pendampingan orang tua tetap nomor satu.
Orang tua juga diharapkan mencari tahu tentang game apa yang dimainkan anaknya. Juga memberikan pemahaman akan arti rating usia yang disematkan dalam game.
Sistem Rating di Berbagai Negara
Selain IGRS di Indonesia, ada juga sistem rating di negara lain, seperti ESRB di Amerika Utara, CERO di Jepang, dan PEGI di Eropa.
Adanya sistem rating ini menunjukkan bahwa masalah konten game ini sudah menjadi perhatian global.
IGRS sebagai Solusi Praktis
Jadi, IGRS dan sistem rating lainnya itu bisa jadi "senjata" ampuh buat orang tua dalam memilih game yang tepat untuk anak.
Misalnya, saat beli game di toko atau di platform digital seperti Google Play Store, App Store, atau Steam, perhatikan rating usianya. Informasi ini biasanya ditampilkan dengan jelas di kemasan atau halaman detail game.
Game nggak serta merta bikin anak jadi kasar. Rating usia itu panduan penting, tapi peran orang tua jauh lebih penting. Orang tua harus lebih aktif dan bijak dalam memilih game untuk anak-anak.
Dengan memanfaatkan IGRS dan melakukan pendampingan yang tepat, kita bisa memastikan anak-anak tetap bisa menikmati game dengan aman dan bahkan mendapatkan manfaat positifnya. Karena, kalau dimainkan dengan bijak, game juga bisa kok melatih kemampuan berpikir, kreativitas, dan bahkan kemampuan berbahasa Inggris.
Tomorrow: MMO Nuclear Quest menghadirkan fitur Crafting menarik
NVIDIA GeForce RTX 5090 mampu melibas banyak game kelas berat
Kenali 3 hero early game terbaik di Mobile Legends yang bisa mendominasi sejak awal pertandingan. Cocok untuk strategi agresif dan kemenangan cepat!
Review singkat game We Are Cooking: Taste of Life.
Kasus kriminalitas yang dilakukan ABG makin nekat, psikolog sarankan orang tua lakukan tindakan preventif ini.
Alex Pastoor yang menjabat sebagai asisten pelatih timnas Indonesia justru dianggap lebih kompeten ketimbang Patrick Kluivert.
Di dunia yang penuh ketidakpastian, manusia merindukan kisah cinta sederhana yang manis dan menghibur.
Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 ini mengungkapkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah mencatat kepuasan tertinggi, yakni 84,7 persen.
Belum ada yang khas dari Gibran pada 100 hari pertama masa kerjanya.
Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.
Ia beralasan bahwa biaya kuliah setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) belum sepenuhnya ditanggung negara.