Suara.com - Kasus kekerasan masih terus terjadi di lingkungan pendidikan. Bahkan angkanya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ironisnya, pelaku paling banyak merupakan guru.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkap, pada tahun 2024 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan mencapai 573 kasus. Angka tersebut naik 288 kasus dari tahun 2023. Sedangkan di tahun 2022 terdapat 194 kasus, 2021 ditemukan 142 kasus dan 2020 kasus kekerasan yang ditemukan sebesar 91 kasus.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan pendidikan pada 2024. Persentasenya mencapai 42 persen. Kemudian kasus kekerasan berupa perundungan atau bullying 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan diskriminatif 6 persen.
Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia. Lima provinsi dengan kasus terbanyak ialah Jawa Timur 81 kasus, Jawa Barat 56 kasus, Jawa Tengah 45 kasus, Banten 32 kasus, dan Jakarta 30 kasus.
"Setiap hari minimal ditemukan satu kasus kekerasan di lembaga pendidikan," kata Ubaid kepada Suara.com, Kamis (2/1/2025).
Kasus kekerasan ini tidak hanya terjadi di lingkungan satuan pendidikan sekolah tapi juga di madrasah maupun pesantren. Berdasar data JPPI, kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan sekolah mencapai 64 persen. Sementara 36 persen lainnya ditemukan di satuan pendidikan berbasis agama. Rinciannya, 16 persen kasus ditemukan di madrasah 16 persen dan 20 persen di pesantren.
Ubaid mengatakan, jumlah korban kekerasan seksual paling banyak merupakan perempuan. Persentasenya mencapai 97 persen. Sedangkan korban kekerasan dalam bentuk perundungan atau bullying paling banyak adalah laki-laki dengan persentase sebesar 82 persen.
"Kekerasan seksual dan perundungan masih menjadi dosa besar yang diwariskan dari masa ke masa," ungkapnya.
Ironisnya, dari data yang JPPI himpun, sebagian besar pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan adalah tenaga pendidik atau guru. Jumlahnya mencapai 43,9 persen. Selain guru, ada peserta didik 13,6 persen, tenaga kependidikan 2,5 persen, dan lainnya 39,8 persen. Mereka yang termasuk dalam kategori lainnya ini adalah petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, dan masyarakat.
Meski guru banyak menjadi pelaku, tapi tak sedikit juga yang menjadi korban. Merujuk data JPPI, setidaknya jumlah guru yang menjadi korban kekerasan di sekolah mencapai 10,2 persen.
"Kasus guru diketapel murid, dipukuli orang tua, dan juga kasus kriminalisasi guru mewarnai serba-serbi dunia pendidikan di tahun 2024," jelas Ubaid.
Faktor Penyebab
JPPI menilai untuk menekan angka kasus kekerasan di lingkungan pendidikan diperlukan komitmen semua pihak terkait dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman bagi peserta didik.
Ubaid menyoroti peran Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan atau Satgas PPKSP di tingkat pemerintah daerah dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan atau TPPK di tingkat sekolah yang belum efektif dalam menekan angka kekerasan.
Berdasar hasil survei JPPI, 83 persen orang tua dan masyarakat mengaku masih belum mengetahui adanya Satgas PPKSP dan TPPK. Sedangkan mereka yang mengetahui juga merasa tidak puas atas kinerja Satgas PPKSP dan TPPK dalam menangani kasus kekerasan di sekolah.
"Kemendikdasmen, Kemenag, dan Pemerintah Daerah harus mengevaluasi kinerja satgas dan TPPK. Jadi, tidak hanya dibentuk lalu sudah begitu saja, tapi harus dievaluasi dan diaudit setiap tahun," tutur Ubaid.
Di sisi lain, JPPI juga mendorong agar orang tua dan masyarakat turut dilibatkan dalam Satgas PPKSP dan TPPK. Adanya kolaborasi antara orang tua, masyarakat dan institusi pendidikan diharapkan dapat menekan angka kekerasan di sekolah.
Tak hanya itu, Ubaid menilai komitmen terhadap antikekerasan serta perlindungan saksi dan korban secara masif juga harus dikampanyekan di sekolah-sekolah. Terlebih di tengah fakta yang menunjukkan masih banyak orang tua dan masyarakat belum mengetahui hal tersebut. Hal lain yang juga penting menurut Ubaid adalah penguatan perspektif gender dan perlindungan anak.
"Banyaknya kasus kekerasan seksual (gender based violance) dan juga lemahnya perlindungan pada anak, maka perspektif gender dan juga perlindungan anak ini harus dipahami dibumikan di sekolah oleh semua pihak dalam ekosistem sekolah," bebernya.
Pemeriksaan Psikologis
Sementara psikolog anak dan keluarga dari SAJIVA RSKJ Dharmawangsa, Mira Damayanti Amir justru berpendapat, tingginya angka kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang pelakunya didominasi oleh guru akibat proses seleksi yang tidak ketat. Ke depan, ia menyarankan supaya para tenaga pendidik diwajibkan menjalani pemeriksaan psikologis.
Apalagi, kata Mira, sebagian besar waktu anak-anak itu lebih banyak dihabiskan di sekolah. Sehingga perlu adanya jaminan dari sekolah terhadap tenaga pendidiknya.
"Jadi harus diperketat lagi seleksinya. Nggak bisa tuh sebatas karena kenal atau karena dia lulusan ini dan itu. Tapi juga harus ada pemeriksaan psikologis," ujar Mira kepada Suara.com, Kamis (2/1/2025).
Adapun terkait kasus perundungan, Mira menilai banyak yang menjadi faktor penyebab anak-anak melakukan tindakan tersebut. Salah satu faktor terbesarnya acap kali karena mereka tumbuh di lingkungan keluarga yang sarat dengan kekerasan.
"Peristiwa perundungan ini nggak mungkin nggak ada asap kalau nggak ada api. Apinya ada di mana? Apinya ada di tengah keluarga dan lingkungan," ungkapnya.
Faktor ekonomi, kata Mira, merupakan persoalan utama yang kerap melahirkan praktik kekerasan di lingkungan keluarga. Karena itu, ia menilai setiap sekolah kekinian sudah semestinya menyiapkan tenaga psikolog untuk menangani persoalan psikologis anak-anak akibat dampak buruk lingkungan keluarga. Bukan hanya sebatas menyiapkan guru bimbingan konseling atau BK.
"Kondisi ekonomi keluarga itu mempengaruhi kualitas interaksi antara orang tua ataupun keluarga dengan anak-anaknya. Begitu dia dalam kondisi tertekan, nggak mungkin nggak berdampak ke anaknya, yang akhirnya anaknya itu menampilkan perilaku yang terganggu, destructive behavior di sekolah," ujarnya.
Strategi Pemerintah
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq mengakui kekerasan di lingkungan pendidikan tidak bisa dihapuskan sepenuhnya. Namun, ia mengklaim pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk menekan atau mencegah kasus kekerasan lewat pendidikan karakter bagi semua warga sekolah.
”Kita enggak bisa menghilangkan nol persen. Saya berpikir realistis saja," kata Fajar dalam diskusi daring yang digelar Yayasan Cahaya Guru, Senin (30/12/2024).
Pendidikan karakter tersebut, kata Fajar, akan diperkuat dengan menghubungkan antara pihak orang tua, pengelola sekolah, guru, murid, hingga kelompok masyarakat. Selain memperkuat pendidikan karakter, pemerintah menurutnya juga akan semakin mengoptimalkan peran Satgas PPKSP dan TPPK.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen, lanjut Fajar, juga telah membuat regulasi terkait penyederhanaan sistem pelaporan pengelolaan kinerja guru. Sehingga guru nantinya tidak lagi dibebankan dengan persoalan administrasi dan bisa lebih banyak waktu untuk menjadi teman cerita murid-muridnya.
"Jadi, murid di sekolah benar-benar menemukan inspirasi atau sosok yang di mana mereka secara nyaman, secara terbuka bisa cerita,” ungkap Fajar.
Pada tahun 2025 Kemendikdasmen juga berencana merekrut guru BK lebih banyak. Berdasar data jumlah guru BK di Indonesia saat ini hanya sekitar 58.000 orang.
Sedangkan menurut perhitungan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia atau PB ABKIN pada 2023, kebutuhan guru BK mencapai 242.000 orang. Keberadaan guru BK di sekolah diharapkan dapat turut menyejahterakan mental siswa atau murid-murid.
"Guru BK itu seharusnya tidak hanya dicitrakan sebagai guru yang mengurus anak-anak bermasalah,” pungkas Fajar.
Bahkan, Prabowo juga tak segan memerintah kepala daerah, TNI, dan Polri menjaga perkebunan sawit.
Donald Parlaungan Simanjuntak jadi salah satu nama yang mendapatkan vonis Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
KPK mendakwa Hasto dengan dua pasal: suap dan perintangan penyidikan. Ia diduga mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak sesuai fakta.
anggota polisi yang terlibat kasus pemerasan ini berpotensi diproses secara pidana
Pameran bertema "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" ini rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025.
Potensi semakin suburnya tindak pidana korupsi akan turut berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Edi ziarah ke makam tanpa nisan untuk mengenang 20 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.