Memutus Mata Rantai Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Home > Detail

Memutus Mata Rantai Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Wakos Reza Gautama | Muhammad Yasir

Kamis, 02 Januari 2025 | 20:16 WIB

Suara.com - Kasus kekerasan masih terus terjadi di lingkungan pendidikan. Bahkan angkanya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ironisnya, pelaku paling banyak merupakan guru.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkap, pada tahun 2024 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan mencapai 573 kasus. Angka tersebut naik 288 kasus dari tahun 2023. Sedangkan di tahun 2022 terdapat 194 kasus, 2021 ditemukan 142 kasus dan 2020 kasus kekerasan yang ditemukan sebesar 91 kasus.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan pendidikan pada 2024. Persentasenya mencapai 42 persen. Kemudian kasus kekerasan berupa perundungan atau bullying 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan diskriminatif 6 persen.

Kekerasan di lingkungan pendidikan terjadi di seluruh provinsi Indonesia. Lima provinsi dengan kasus terbanyak ialah Jawa Timur 81 kasus, Jawa Barat 56 kasus, Jawa Tengah 45 kasus, Banten 32 kasus, dan Jakarta 30 kasus.

"Setiap hari minimal ditemukan satu kasus kekerasan di lembaga pendidikan," kata Ubaid kepada Suara.com, Kamis (2/1/2025).

Suasana Haru Pemakaman Fatir Korban Perundungan Bekasi, Wali Kelas Sukaemah Tidak Terlihat Batang Hidungnya [Suara.com/Mae Harsa]
Suasana Haru Pemakaman Fatir Korban Perundungan Bekasi, Wali Kelas Sukaemah Tidak Terlihat Batang Hidungnya [Suara.com/Mae Harsa]

Kasus kekerasan ini tidak hanya terjadi di lingkungan satuan pendidikan sekolah tapi juga di madrasah maupun pesantren. Berdasar data JPPI, kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan sekolah mencapai 64 persen. Sementara 36 persen lainnya ditemukan di satuan pendidikan berbasis agama. Rinciannya, 16 persen kasus ditemukan di madrasah 16 persen dan 20 persen di pesantren.

Ubaid mengatakan, jumlah korban kekerasan seksual paling banyak merupakan perempuan. Persentasenya mencapai 97 persen. Sedangkan korban kekerasan dalam bentuk perundungan atau bullying paling banyak adalah laki-laki dengan persentase sebesar 82 persen.

"Kekerasan seksual dan perundungan masih menjadi dosa besar yang diwariskan dari masa ke masa," ungkapnya.

Ironisnya, dari data yang JPPI himpun, sebagian besar pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan adalah tenaga pendidik atau guru. Jumlahnya mencapai 43,9 persen. Selain guru, ada peserta didik 13,6 persen, tenaga kependidikan 2,5 persen, dan lainnya 39,8 persen. Mereka yang termasuk dalam kategori lainnya ini adalah petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, dan masyarakat.

Meski guru banyak menjadi pelaku, tapi tak sedikit juga yang menjadi korban. Merujuk data JPPI, setidaknya jumlah guru yang menjadi korban kekerasan di sekolah mencapai 10,2 persen.

"Kasus guru diketapel murid, dipukuli orang tua, dan juga kasus kriminalisasi guru mewarnai serba-serbi dunia pendidikan di tahun 2024," jelas Ubaid.

Faktor Penyebab

JPPI menilai untuk menekan angka kasus kekerasan di lingkungan pendidikan diperlukan komitmen semua pihak terkait dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman bagi peserta didik.

Ubaid menyoroti peran Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan atau Satgas PPKSP di tingkat pemerintah daerah dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan atau TPPK di tingkat sekolah yang belum efektif dalam menekan angka kekerasan.

Berdasar hasil survei JPPI, 83 persen orang tua dan masyarakat mengaku masih belum mengetahui adanya Satgas PPKSP dan TPPK. Sedangkan mereka yang mengetahui juga merasa tidak puas atas kinerja Satgas PPKSP dan TPPK dalam menangani kasus kekerasan di sekolah.

"Kemendikdasmen, Kemenag, dan Pemerintah Daerah harus mengevaluasi kinerja satgas dan TPPK. Jadi, tidak hanya dibentuk lalu sudah begitu saja, tapi harus dievaluasi dan diaudit setiap tahun," tutur Ubaid.

Di sisi lain, JPPI juga mendorong agar orang tua dan masyarakat turut dilibatkan dalam Satgas PPKSP dan TPPK. Adanya kolaborasi antara orang tua, masyarakat dan institusi pendidikan diharapkan dapat menekan angka kekerasan di sekolah.

Tak hanya itu, Ubaid menilai komitmen terhadap antikekerasan serta perlindungan saksi dan korban secara masif juga harus dikampanyekan di sekolah-sekolah. Terlebih di tengah fakta yang menunjukkan masih banyak orang tua dan masyarakat belum mengetahui hal tersebut. Hal lain yang juga penting menurut Ubaid adalah penguatan perspektif gender dan perlindungan anak.

"Banyaknya kasus kekerasan seksual (gender based violance) dan juga lemahnya perlindungan pada anak, maka perspektif gender dan juga perlindungan anak ini harus dipahami dibumikan di sekolah oleh semua pihak dalam ekosistem sekolah," bebernya.

Pemeriksaan Psikologis

Sementara psikolog anak dan keluarga dari SAJIVA RSKJ Dharmawangsa, Mira Damayanti Amir justru berpendapat, tingginya angka kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang pelakunya didominasi oleh guru akibat proses seleksi yang tidak ketat. Ke depan, ia menyarankan supaya para tenaga pendidik diwajibkan menjalani pemeriksaan psikologis.

Apalagi, kata Mira, sebagian besar waktu anak-anak itu lebih banyak dihabiskan di sekolah. Sehingga perlu adanya jaminan dari sekolah terhadap tenaga pendidiknya.

"Jadi harus diperketat lagi seleksinya. Nggak bisa tuh sebatas karena kenal atau karena dia lulusan ini dan itu. Tapi juga harus ada pemeriksaan psikologis," ujar Mira kepada Suara.com, Kamis (2/1/2025).

Adapun terkait kasus perundungan, Mira menilai banyak yang menjadi faktor penyebab anak-anak melakukan tindakan tersebut. Salah satu faktor terbesarnya acap kali karena mereka tumbuh di lingkungan keluarga yang sarat dengan kekerasan.

"Peristiwa perundungan ini nggak mungkin nggak ada asap kalau nggak ada api. Apinya ada di mana? Apinya ada di tengah keluarga dan lingkungan," ungkapnya.

Ilustrasi ajakan stop bullying (Pexels/RDNE Stock project)
Ilustrasi ajakan stop bullying (Pexels/RDNE Stock project)

Faktor ekonomi, kata Mira, merupakan persoalan utama yang kerap melahirkan praktik kekerasan di lingkungan keluarga. Karena itu, ia menilai setiap sekolah kekinian sudah semestinya menyiapkan tenaga psikolog untuk menangani persoalan psikologis anak-anak akibat dampak buruk lingkungan keluarga. Bukan hanya sebatas menyiapkan guru bimbingan konseling atau BK.

"Kondisi ekonomi keluarga itu mempengaruhi kualitas interaksi antara orang tua ataupun keluarga dengan anak-anaknya. Begitu dia dalam kondisi tertekan, nggak mungkin nggak berdampak ke anaknya, yang akhirnya anaknya itu menampilkan perilaku yang terganggu, destructive behavior di sekolah," ujarnya.

Strategi Pemerintah

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq mengakui kekerasan di lingkungan pendidikan tidak bisa dihapuskan sepenuhnya. Namun, ia mengklaim pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk menekan atau mencegah kasus kekerasan lewat pendidikan karakter bagi semua warga sekolah.

”Kita enggak bisa menghilangkan nol persen. Saya berpikir realistis saja," kata Fajar dalam diskusi daring yang digelar Yayasan Cahaya Guru, Senin (30/12/2024).

Pendidikan karakter tersebut, kata Fajar, akan diperkuat dengan menghubungkan antara pihak orang tua, pengelola sekolah, guru, murid, hingga kelompok masyarakat. Selain memperkuat pendidikan karakter, pemerintah menurutnya juga akan semakin mengoptimalkan peran Satgas PPKSP dan TPPK.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen, lanjut Fajar, juga telah membuat regulasi terkait penyederhanaan sistem pelaporan pengelolaan kinerja guru. Sehingga guru nantinya tidak lagi dibebankan dengan persoalan administrasi dan bisa lebih banyak waktu untuk menjadi teman cerita murid-muridnya.

"Jadi, murid di sekolah benar-benar menemukan inspirasi atau sosok yang di mana mereka secara nyaman, secara terbuka bisa cerita,” ungkap Fajar.

Pada tahun 2025 Kemendikdasmen juga berencana merekrut guru BK lebih banyak. Berdasar data jumlah guru BK di Indonesia saat ini hanya sekitar 58.000 orang.

Sedangkan menurut perhitungan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia atau PB ABKIN pada 2023, kebutuhan guru BK mencapai 242.000 orang. Keberadaan guru BK di sekolah diharapkan dapat turut menyejahterakan mental siswa atau murid-murid.

"Guru BK itu seharusnya tidak hanya dicitrakan sebagai guru yang mengurus anak-anak bermasalah,” pungkas Fajar.


Terkait

Sejarah Sekolah Libur Selama Ramadhan, Pernah Diterapkan Pada Era Kolonial
Kamis, 02 Januari 2025 | 15:27 WIB

Sejarah Sekolah Libur Selama Ramadhan, Pernah Diterapkan Pada Era Kolonial

Libur sekolah selama Ramadan sudah pernah dilakukan di Indonesia sejak era kolonial Belanda.

JPPI Ungkap Realitas Kekerasan, Sekolah Kita Butuh Reformasi Karakter!
Kamis, 02 Januari 2025 | 12:15 WIB

JPPI Ungkap Realitas Kekerasan, Sekolah Kita Butuh Reformasi Karakter!

Laporan terbaru Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang 2024.

Ada Wacana Libur Sekolah Selama Ramadan, Bagaimana Tanggapan Orang Tua?
Kamis, 02 Januari 2025 | 11:08 WIB

Ada Wacana Libur Sekolah Selama Ramadan, Bagaimana Tanggapan Orang Tua?

Wamenag baru-baru ini mengungkapkan adanya wacana untuk meliburkan sekolah selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Hal ini menuai pro dan kontra masyarakat sebagai orang tua.

Wakil Ketua MUI Setuju Sekolah Diliburkan Selama Bulan Puasa, Tapi...
Kamis, 02 Januari 2025 | 09:36 WIB

Wakil Ketua MUI Setuju Sekolah Diliburkan Selama Bulan Puasa, Tapi...

Meski setuju, ia berpendapat bahwa anak-anak harus tetap mendapat pendidikan saat di rumah.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed