Suara.com - Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi. Kali ini korbannya ialah seorang siswa kelas 9 sebuah SMP di Grobogan berinisial YS. Sementara pelakunya ialah ST; gurunya sendiri.
Kasus ini terungkap dari kesaksian warga yang menjadi saksi mata. Ia adalah Nur Rohmad, tetangga dari ST. Nur Rohmad sempat melihat YS masuk ke dalam kamar mandi di rumah ST yang berada di bagian belakang rumah.
Sudah tiga kali Nur Rohmad memergoki ST memperkosa muridnya. Saat pertama ST berjanji tak mengulangi aksinya. Namun, kekerasan seksual itu terus berulang hingga kasus itu akhirnya terbongkar.
Semua bermula saat korban diminta untuk belajar mengaji di rumah pelaku. Mulanya warga tidak curiga. Mereka mengira bahwa ST hanya mengajari YS membaca dan melafalkan Quran di rumahnya. Namun, hal itu ternyata cuma sebuah tipu daya. ST ternyata memanipulasi korban. Ia memperkosanya.
Korban diiming-imingi dibelikan jaket sehingga diberi uang. Bahkan, korban juga sempat mendapat ancaman akan mendapat nilai buruk di sekolah jika buka mulut. Korban akhirnya bungkam.
Pelaku memanfaatkan kondisi mental korban. Tinggal bersama kakek yang sering memarahinya, YS merasa nyaman berbagi masalah keluarga dengan ST.
ST lalu menawarkan tempat tinggal agar YS lebih tenang, bahkan mencarikan kos dan bersedia membayarnya. YS juga sempat tinggal di rumah Siti tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Kekerasan seksual tersebut belakangan diketahui terjadi selama 2 tahun terakhir. Tepatnya sejak korban masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Pelaku diduga telah memperkosa korban sebanyak 10 kali.
Membedah Pikiran Pelaku
Lantas, apa sebenarnya yang ada dipikiran pelaku sehingga ia tega melakukan pemerkosaan kepada anak di bawah umur?
Pemerkosaan yang dilakukan ST bisa diketegorikan sebagai pedofil. Pedofil, menurut Buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental Jilid 5, adalah individu yang secara khusus atau hanya tertarik secara seksual pada anak-anak praremaja, biasanya di bawah usia 13 tahun.
Ketertarikan ini bervariasi berdasarkan usia anak dan tahap perkembangan seksual pelaku. Misalnya, pedofil yang tertarik pada anak di puncak pubertas disebut hebefil, sementara yang tertarik pada anak pascapubertas disebut ephebofil.
Menurut Xanthe Mallett, Kriminolog Forensik dari University of Newcastle, dalam tulisan berjudul Psikologi pedofil: mengapa orang bisa tertarik secara seksual pada anak di bawah umur? di The Conversation, tidak semua pedofil melakukan kejahatan seksual, dan tidak semua pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah pedofil. Pelecehan sering kali terjadi karena kesempatan, bukan ketertarikan, dengan anak menjadi korban pelampiasan atau alat untuk menunjukkan dominasi dan kendali.
Psikolog Forensik Reza Indragiri juga pendapat serupa. Ia menegaskan, bahwa pedofilia menjadi masalah ketika mereka menjadi molester, atau pelaku kejahatan seksual; terhadap anak.
“Pedofilia, sebagai ketertarikan seksual, dianggap kalangan tersebut tidaklah berbahaya. Ketika ketertarikan dimanifestasikan ke dalam perilaku, barulah dipandang berbahaya. Bagi saya, sebatas ketertarikan pun sudah kerusakan yang harus dibenahi. Apalagi jika sudah mewujud sebagai perilaku,” kata Reza.
Studi mencatat 33–75 persen dari pelaku kejahatan seksual pada anak mengaku menjadi korban saat kecil.
Namun, tidak semua pelaku memiliki pengalaman pelecehan. Beberapa justru menganggap anak-anak menarik secara seksual karena alasan biologis, seperti yang ditemukan dalam penelitian.
Mewaspadai Modus Pelaku Kejahatan Seksual
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan 2021.
Angka ini diperoleh dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024. Survei ini mencakup kekerasan fisik, emosional, dan seksual terhadap anak.
Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13–17 tahun meningkat dari 3,65 persen pada 2021 menjadi 8,34 persen pada 2024.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan, sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat. Pelaku sering kali ayah kandung, ayah tiri, kakek, kakak, paman, atau teman dekat korban. Seperti yang dilakukan oleh ST kepada YS.
Reza Indragiri menjelaskan, modus pelaku biasanya melibatkan grooming behavior. Mereka mengajak berteman, memberikan hadiah, menawarkan perlindungan, dan melakukan tindakan 'positif' lainnya untuk membuat anak percaya.
Dalam kasus di atas, Pelaku memanfaatkan kondisi mental korban. YS yang tinggal dengan kakek yang sering memarahinya merasa nyaman berbagi masalah dengan ST.
ST menawarkan tempat tinggal agar YS lebih tenang, bahkan mencarikan kos dan bersedia membayarnya. YS juga sempat tinggal di rumah Siti tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Korban dijanjikan jaket dan uang, serta diancam akan mendapat nilai buruk di sekolah jika membuka mulut.
Merespon kasus tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendesak polisi untuk mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak laki-laki oleh seorang guru perempuan di Grobogan, Jawa Tengah.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Ia berharap penegak hukum bisa menindak tindak pidana kekerasan anak maupun kekerasan seksual.
Di Indonesia, kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap remeh. Reaksi warganet terhadap kasus YS mencerminkan budaya toxic masculinity yang masih kuat.
Memanfaatkan teknologi AI, dirinya memberi gambaran kepada para siswa mengenai masa depan
Ini momen seorang siswa tertawa hingga joget saat review makan bergizi gratis.
"Angin segar bagi para pelaku yang hingga hari ini belum tersentuh hukum. Penulisan sejarah ini hanya akan melanggengkan budaya impunitas di Indonesia," ujar Usman.
Sebanyak 65 persen atau mayoritas perangkat desa yang kami wawancara menilai adanya potensi korupsi dalam program Koperasi Desa Merah Putih, kata Askar.
Polisi makin sering jadikan pengunjuk rasa tersangka, termasuk tim medis, dengan pasal karet. Tindakan represif aparat jarang diproses hukum, HAM terancam.
Tentu tidak perlu panik tetapi jelas harus waspada, tidak bisa diabaikan begitu saja, kata Tjandra.
"Sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu lembaga, tidak mungkin dia (Nadiem) tidak tahu program yang dilakukan anak buahnya," ujar Dewi.
Ribuan calon haji furoda gagal berangkat karena visa Mujamalah tak terbit. Revisi UU PIHU perlu atur furoda lebih baik demi lindungi jemaah.
Prabowo beri ultimatum pejabat tak becus untuk mundur, jika tidak akan dipecat. Survei IPO soroti kinerja sejumlah menteri, Pigai dan Budi Arie teratas layak di-reshuffle.