Suara.com - Tsunami Aceh sudah berlalu dua dekade. Namun, tragedi besar itu tak lekang di ingatan para penyintas. Bagi mereka, sapuan gelombang itu seperti baru terjadi kemarin.
Edi Burhanuddin menyirami beberapa batu hitam yang teronggok di tanah lapang penuh rumput hijau. Pria 45 tahun itu lalu menaburkan bunga. Perlahan ia duduk kembali sambil terus menatap kuburan massal korban tsunami di Ulee Lheue, Banda Aceh.
Kamis pagi (26/12/2024) itu, Edi ziarah ke makam tanpa nisan untuk mengenang 20 tahun peristiwa gempa dan tsunami Aceh.
Sebanyak 14.264 jenazah dimakamkan di kuburan massal korban tsunami Aceh di Ulee Lheue. Tanpa nisan. Hanya ada plang informasi di titik tertentu yang menyebutkan itu adalah area kuburan dewasa atau anak-anak. Lokasi ini juga menyimpan puing-puing Rumah Sakit Umum Meuraxa yang hancur.
Edi adalah penyintas. Dia kehilangan seorang anak dan adiknya dalam tragedi bencana terbesar di dunia itu. Jenazah anaknya ditemukan dan dimakamkan di tempat kuburan umum biasa. Berbeda dengan sang adik, yang jasadnya tidak pernah ditemukan hingga kini.
"Di dalam mimpi, saya mengetahui adik saya dimakamkan di sini. Yakin kami di sini," kata Edi kepada Suara.com, Kamis (26/12/2024) pagi.
Bersama ratusan peziarah lain yang datang silih berganti, Edi membaca Alquran, mengirimkan doa untuk semua korban. Ia bersyukur selamat dari sapuan gelombang.
“Alhamdulillah kami selamat, saat tsunami kami berjualan di Pasar Aceh,” katanya.
Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, dua anak Edi yang tinggal di Seutui mengunjungi rumah keluarganya di Lampaseh. Saat gempa menyusul tsunami menghembalang daratan, dua anaknya menjadi korban.
“Alhamdulillah satu selamat, yang perempuan meninggal,” ujar Edi.
Anak yang meninggal saat itu pelajar kelas satu satu sekolah dasar, sedangkan anak yang selamat berusia sekitar dua tahun.
Sementara Edi dan istri pada pagi kelabu itu sedang berjualan di Pasar Aceh, Jalan Perdagangan. Mereka keluar ke jalanan begitu gempa bumi menggetarkan daratan. Beberapa menit kemudian, Edi mendengar kabar air laut naik ke daratan.
“Naik air, naik air…, kami lari ke Masjid Raya Baiturrahman,” kata Edi.
Tiba di Masjid Raya Baiturrahman, Edi dan istrinya melihat air tsunami menerobos ke dalam masjid.
"Dari sisi mimbar, kami lalu naik ke tingkat dua. Setelah air surut, kami turun dan melihat mayat berserakan di bawah," cerita Edi.
Keesokan paginya, Edi mencari mayat anaknya. Ia berjalan kaki menyusuri sekitar Blang Padang hingga Lampaseh.
"Kami dapat mayat anak kami di masjid, sudah dibalut kain putih," kenangnya. Anak itu tidak dimakamkan di kuburan massal korban tsunami, tapi di kuburan umum biasa.
Saat mencari anaknya, Edi kerap menemukan mayat berserakan sepanjang jalan yang dilewatinya. Ia mencoba membantu mengangkat semampunya, tapi saat tidak kuat, ia hanya bisa berdoa.
"Mana yang sanggup saya angkat, saya angkat. Kalau tidak sanggup, saya minta maaf," tuturnya.
Setelah tsunami, Edi menghabiskan waktu di pengungsian. Keluarga istrinya dari Medan, Sumatra Utara, datang menjemput. Selama sebulan mereka tinggal di sana.
Setelah itu, Edi kembali ke Banda Aceh dan menemukan rumah sewanya di Seutui yang masih layak pakai. Namun, rumah adiknya di Ulee Lheue sudah rata dengan tanah, hanya menyisakan tanah kosong.
Pada 2005, Edi bersyukur mendapat rezeki untuk membeli tanah di Lampeuneurut, tempat mereka memulai hidup baru. Namun, kehilangan terus membayangi karena adik dan adik iparnya tidak pernah ditemukan.
Mereka sudah mencarinya ke berbagai tempat.
"Kemana-mana kami cari," katanya.
Edi merenungi pengalaman hari itu, dan tak mungkin dilupakan dalam hidupnya.
"Hari tsunami seperti kiamat. Suasana yang tenang dan tidak ada angin, tapi banyak orang yang menjerit-jerit," ucapnya.
Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, pukul 07.58 WIB menyusul gempa berkekuatan 9,2 SR yang mengguncang Aceh. Tercatat lebih dari 200 ribu orang menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) mencatat sedikitnya 120.000 rumah rusak, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan hancur, 693 fasilitas kesehatan rusak atau hancur dan 2.224 gedung sekolah rusak atau hancur. Kerugian akibat bencana alam ini diperkirakan sekitar Rp60 triliun.
Kehilangan Ibu dan Empat Saudara Kandung
Dua dekade telah berlalu, jasad ibu dan empat saudara kandung Syahril tak pernah ditemukan. Baginya, kuburan massal menjadi tempat mengenang orang-orang terkasih.
"Orang tua yaitu ibu, karena bapak sudah duluan meninggal. Tiga abang saya, satu kakak perempuan saya," kata pria 48 tahun itu.
Mereka tinggal di Gampong Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, yang dulu rata dengan tanah. Gampong ini terletak di tepi laut menghadap Pulau Weh.
Syahril selamat karena saat tsunami ia bekerja di Sabang, Pulau Weh. Di sana, sebelum tsunami menerjang, ia melihat air laut surut di Pantai Kasih.
"Alhamdulillah kami selamat karena Allah masih menyelamatkan kami, kami naik ke bukit," katanya.
Kabar buruk tentang Banda Aceh baru ia dengar malam harinya. Saat itu ia tidak tahu kondisi kampungnya, sementara warga di Banda Aceh mengira Sabang sudah tenggelam.
Syahril mendengar situasi Banda Aceh dari seorang warga terombang-ambing di laut dan diselamatkan kapal Marinir ke Rumah Sakit Lanal Sabang.
“Waktu saya lihat dia selamat, katanya sudah kiamat. Baru saya tahu bahwa terjadi kacau balau di Banda Aceh karena tsunami,” katanya.
“Baru saya panik, saya mau pulang. Tapi, belum bisa pulang karena ombak besar dan tidak ada kapal,” lanjutnya. “Telepon tidak bisa, kita lost contact (hilang kontak).”
Saat itu, kapal penyeberangan tak mendapat izin untuk berlayar. Syahril menunggu hingga Selasa untuk kembali ke Banda Aceh dengan perahu nelayan. Ketika tiba di jembatan Ulee Lheue, ia berjalan kaki menuju kampung halamannya. Yang ia temukan hanya kehancuran.
“Datar, tidak ada lagi rumah yang tersisa. Saya cari rumah saya dengan menelusuri jalan yang pernah saya lalui, baru saya dapat lantainya doang," katanya.
Rumah-rumah di kiri dan kanannya juga rata. Ia bertemu beberapa warga yang selamat dan mengetahui ibunya hilang dalam tsunami. Syahril bersyukur kedua anaknya yang tinggal bersama mertuanya selamat.
Yang satu diselamatkan neneknya dengan mobil tentara meski kejar-kejaran dengan air, dan yang lain berlindung di lantai dua Masjid Baitul Makmur Blower.
Mereka kemudian mengungsi ke area stasiun TVRI di Mata Ie. Hari-hari setelah tsunami, Syahril lewati dengan menjadi relawan. Ia membantu mengurus jenazah korban.
"Kalau menemukan mayat, saya masukkan dalam kantong mayat, dengan harapan siapa yang menemukan keluarga saya memperlakukan mereka sama seperti saya memperlakukan korban," ujarnya.
Bagi Syahril, tragedi itu terasa seperti baru terjadi kemarin. Ia merenungkan apa yang telah berubah setelah bencana itu.
"Kita yang ditinggalkan ini seperti apa, apa jauh lebih baik setelah tsunami, atau kembali ke introspeksi diri kita," tuturnya.
“Bagi yang sudah dipanggil, mereka sudah tenang di sana, bagi kita sekarang kan masih... Saya tidak tahu cara mengungkapkannya, cuma bisa uraian air mata,” sambung Syahril.
Ziarah Meski Bukan Keluarga Korban
Eva Yunita, 35 tahun, tak memiliki keluarga yang menjadi korban tsunami. Tapi ia tetap berziarah dan berdoa untuk para korban. Ia telah tinggal di Banda Aceh selama sembilan tahun, tapi baru kali ini ke kuburan massal Ulee Lheue.
"Di belakang rumah kami ada juga kuburan massal di Miruek Lamreudeup, Aceh Besar. Tadi di kuburan massal kampung sudah berzikir, sekalian ke sini, kirim doa walaupun enggak ada keluarga yang kena musibah," kata Eva yang datang bersama seorang anaknya.
Saat tsunami melanda, Eva berada di Medan. Ia tidak mengalami langsung bencana itu. Tapi ia tersentuh melihat keluarga korban.
"Kalau dipikir-pikir, apa yang mereka rasakan (keluarga korban) itu seperti mimpi. Tersentuh hati saya," katanya.
Bagi Eva, ziarah bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga pengingat kebesaran Allah dan hikmah di balik musibah.
"Kita yang masih dikasih nyawa ini, setidaknya di balik semua musibah ini pasti ada hikmahnya," uja Eva.
Meski ada kekhawatiran kemungkinan tsunami berulang, Eva memilih untuk berserah diri kepada Allah.
"Kalau waktunya tiba ya sudah, kita kembali lagi kepada Allah. Khawatir ada, tapi terlalu dipikirkan juga tidak baik," tuturnya.
Refleksi Akbar di Masjid Raya Baiturrahman
Peringatan dua dekade Tsunami Aceh dipusatkan di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (26/12/2024) pagi. Ribuan orang mengikuti zikir dan doa bersama yang dipimpin Habib Abdul Haris Alaydrus. Acara ini bagian dari refleksi akbar.
Penjabat Gubernur Aceh Safrizal ZA mengatakan gempa dan tsunami adalah ujian berat dari Allah.
“Namun kita juga menyaksikan solidaritas dunia yang luar biasa untuk Aceh. Ini adalah bukti bahwa kemanusiaan melampaui batas-batas geografis,” katanya.
Safrizal menuturkan tsunami menjadi momentum perdamaian di Aceh. Konflik hampir tiga dekade berakhir dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
“Tragedi ini mengajarkan kita pentingnya perdamaian untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik,” katanya.
Kontributor Aceh: Habil Razali
"Ternyata hukum syariat tidak mengganggu, membatasi, mereduksi kami punya eksistensi. Kami bisa berekspresi, ujar Baron.
Tak tanggung-tanggung, KPK menjerat Hasto dengan dua perkara sekaligus
Kasus pembungkaman seniman di Indonesia bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Butet Kertaradjasa mengalami hal serupa.
Klaim Haryono membantu Anton dalam peristiwa pembunuhan Budiman karena berada di bawah tekanan itu perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya dalam persidangan.
Benarkah penyidik telah mengantongi informasi dan bukti awal terkait keterlibatan Budi Arie dalam perkara tersebut?
Tak jarang peziarah mengalami kejadian mistis di kuburan massa Gampong Siron.
Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.