Suara.com - Umat Katolik yang minoritas merayakan malam Natal secara damai dan hikmat di Aceh, satu-satunya daerah yang menerapkan hukum syariat Islam di Indonesia. Tidak ada gangguan.
BERJALAN dua jam, ibadat misa malam Natal itu selesai sekitar pukul 21.00 WIB. Di dalam Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh, Valeska Trisyani Magdalena Lase belum beranjak pulang.
Gadis 17 tahun ini tampak asyik bercengkrama dengan sejumlah teman-temannya. Mereka berfoto bersama berlatar pohon Natal di sisi depan altar gereja.
“Perayaan malam Natal tahun ini tetap sama seperti tahun lalu, tenang dan tentram,” kata Valeska kepada Suara.com, Selasa malam, (24/12/2024).
Di halaman gereja yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, persis di samping markas Kodam Iskandar Muda, anggota jemaat lain satu per satu pulang.
Menurut Wakil Ketua Pelaksana Dewan Paroki Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh Baron Ferison Pandiangan, setidaknya 450 anggota jemaat mengikuti misa malam Natal di sana.
“Rata-rata 90 persen orang di sini memang, 10 persen ada pendatang,” kata Baron.
Valeska memiliki persiapan khusus untuk menyambut Natal, seperti mengikuti proses pengakuan dosa hingga terlibat mendekorasi gereja. Baginya, merayakan Natal di daerah yang menerapkan hukum syariat Islam, sesuatu yang beruntung karena tidak diwarnai gangguan.
Sebagai minoritas, Valeska senang dengan toleransi yang ia rasakan di negeri Serambi Mekah.
“Kami di sini minoritas, dan kami sangat senang. Kalau kami ibadat mereka tidak mengusik dan mengganggu sama sekali. Mereka menerima kami,” kata Valeska.
Siswi kelas tiga sebuah SMA negeri di Banda Aceh itu juga menerima ucapan selamat Natal dan Tahun Baru dari temannya yang muslim.
Namun, di balik itu ada beberapa orang yang menurut Valeska bertanya terkait agamanya karena penasaran. Tapi terkadang itu membuat Valeska tersinggung.
“Mungkin terlalu jauh, tapi enggak apa-apa, karena kita sama-sama belajar di sini,” tuturnya.
Selama SD dan SMP, Valeska bersekolah di sekolah Katolik. Tapi ketika SMA, ia belajar di sekolah negeri. Hari-hari pertama, ia merasa berbeda. Bahkan, ketika kelas satu ia memakai jilbab agar tidak tampak berbeda dengan siswi lainnya. Seiring waktu, Valeska merasakan bahwa ia diterima siswa lain yang mayoritas muslim.
“Kelas dua sampai sekarang itu sudah lepas. Tidak ada paksaan untuk pakai jilbab,” ujarnya.
Tanpa Perselisihan
Sebelum beranjak pulang dari gereja malam itu, Deslin Nainggolan berbincang dengan temannya dekat pohon Natal di halaman Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh. Menurutnya, misa berlangsung baik dengan puji-pujian hingga ditutup salam-salaman.
“Di sini sangat toleransi oleh umat-umat yang berdampingan, berbeda agama tapi tidak pernah ada perselisihan,” katanya.
Deslin mahasiswi di sebuah universitas di Aceh, dan di sana ia satu-satunya nonmuslim. Karena itu, ia menerima banyak pertanyaan dari temannya ihwal Katolik dan hidupnya di Aceh.
“Apakah kamu pernah diajak untuk pindah agama, tapi saya jelaskan di sini saya tidak seperti itu,” tuturnya.
Perempuan kelahiran Banda Aceh itu mengaku selalu menjalankan hidup dan beribadat secara berdampingan tanpa ada masalah. Saat Natal seperti ini, Deslin turut menerima ucapan dari teman-teman yang beda agama.
Deslin merasakan momen toleransi ketika duduk di bangku sebuah SMA negeri di Banda Aceh yang mayoritas siswanya muslim. Saat pelajaran agama Islam, guru memberi pilihan kepada Deslin untuk tetap di kelas atau keluar.
“Saya tidak pernah dipaksa, tidak pernah diasingkan,” kata Deslin.
14 Tahun Berdampingan
Baron Ferison Pandiangan sudah berencana untuk pulang ke Medan, Sumatra Utara. Tapi, ia menunda sehari karena hendak merayakan malam Natal di Aceh.
“Saya ingin satu malam ini di Banda Aceh,” katanya.
Wakil Ketua Pelaksana Dewan Paroki Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh itu merasa malam Natal tahun ini, dan tahun-tahun sebelumnya di Aceh sangat unik. Di bawah hukum syariat, ibadat malam Natal selama dua jam berlangsung lancar tanpa gangguan.
“Ini jadi momen penting bagi kami untuk menyatakan Aceh aman dan nyaman. Tidak pernah ada gangguan. Saya 14 tahun di sini, hampir setiap tahun kita rayakan tidak ada umat yang merasa terganggu,” ucap Baron.
Setelah puluhan tahun tinggal di daerah lain, Baron merasa Aceh sangat unik. Hidup di negeri syariat Islam tidak menghilangkan identitasnya, tapi justru menguatkan nilai keimanannya sebagai Katolik.
"Sekarang saya pakai moto; masuk pintu Aceh, keluar pintu Katolik. Ternyata hukum syariat tidak mengganggu, membatasi, mereduksi kami punya eksistensi. Kami bisa berekspresi,” ungkapnya.
Pelaksanaan hukum syariat Islam di Aceh bermula lewat Undang-Undang No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lalu menyusul Undang-Undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh.
Penerapannya kian dikuatkan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Merujuk aturan itu, Aceh memiliki keleluasaan untuk membuat qanun atau peraturan daerah berbasis syariat Islam, seperti Qanun Jinayat yang mengatur hukum pidana Islam.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 jumlah pemeluk agama Islam di Aceh mencapai 5.015.236 orang. Sisanya, 37.620 memeluk Protestan, 9.181 umat Katolik, 236 umat Hindu, dan 7.529 umat Budha. Mereka tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Dari 23 daerah, hanya Aceh Jaya yang tidak memiliki penduduk nonmuslim.
Syariat Islam Tapi Menghargai
Penjabat Gubernur Aceh Safrizal bersama para pejabat meninjau beberapa gereja di Banda Aceh pada malam Natal. Ia hendak memastikan masyarakat melaksanakan ibadat dengan leluasa, aman, dan semuanya berjalan tertib.
“Memang pelaksanaan syariat Islam, bukan berarti membiarkan agama lain terganggu. Kita menghargai, menghormati pemeluk agama lain walaupun Aceh memberlakukan syariat Islam,” kata Safrizal.
Sebaliknya, kata dia, nonmuslim juga wajib menghormati para pemeluk Islam dengan hidup berdampingan dan harmonis.
Sementara itu, Baron setuju dengan apa yang disampaikan Safrizal. Ia merasa aman dan nyaman beribadat. Baron justru heran jika ada narasi bahwa Aceh intoleran.
“Kami di Aceh sudah belasan tahun, bahkan ada 3-4 generasi, tidak pernah mengalami itu,” kata Baron.
___________________________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
Tak tanggung-tanggung, KPK menjerat Hasto dengan dua perkara sekaligus
Kasus pembungkaman seniman di Indonesia bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Butet Kertaradjasa mengalami hal serupa.
Klaim Haryono membantu Anton dalam peristiwa pembunuhan Budiman karena berada di bawah tekanan itu perlu dibuktikan dan digali kebenaran materiilnya dalam persidangan.
Benarkah penyidik telah mengantongi informasi dan bukti awal terkait keterlibatan Budi Arie dalam perkara tersebut?
Tak jarang peziarah mengalami kejadian mistis di kuburan massa Gampong Siron.
Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.
Prabowo menyatakan bakal memberikan maaf kepada koruptor asal mereka mengembalikan uang negara yang telah dicuri.