Suara.com - Dibalik ambisi pemerintah membangun lumbung pangan nasional di Merauke, suara penolakan terus bergema. Dari Muhammadiyah hingga Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tokoh-tokoh agama menyuarakan kritik tajam terhadap proyek food estate. Pasalnya proyek itu mengancam ekologi, menggusur masyarakat adat, dan melanggengkan ketimpangan sosial atas nama pembangunan.
SEJAK November 2023, Pemerintah menetapkan proyek food estate Merauke sebagai bagian dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek yang dinamai Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan ini diproyeksikan mencakup lebih dari 2,2 juta hektare kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP).
Meski menuai gelombang penolakan, proyek ini terus dipromosikan pemerintah, bahkan ditargetkan mencetak sawah baru dan membuka perkebunan tebu di hampir separuh wilayah Merauke. Lantas bagaimana jawaban profetik kaum keagamaan?
Dalam diskusi lintas organisasi masyarakat sipil dan lembaga keagamaan yang berlangsung di Kantor PP Muhammadiyah, Selasa 24 Juni 2025. Menyoroti dampak buruk PSN Merauke.
Proyek tersebut dinilai mengancam kelestarian lingkungan, keberlangsungan hidup masyarakat adat, serta melanggengkan ketidakadilan sosial ekologis yang difasilitasi negara.
“Jadi dengan angka seperti itu (2,2 hetare), kita membayangkan bencana ekologi dan bencana sosial yang terjadi. Bahwa ini benar-benar proyek yang menjajah,” kata Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante, memaparkan temuannya.
Menurut Franky, perambahan hutan besar-besaran yang akan terjadi bukan hanya merusak hutan tropis Merauke, tetapi juga memperparah krisis iklim global. Secara sosial, proyek ini disebut akan menghancurkan sistem pangan tradisional masyarakat adat, yang selama ini menopang kehidupan mereka.
Bahkan, proyek ambisius dengan menghadirkan cetak sawah baru seluas 1,2 juta hektare, serta perkebunan tebu yang telah mengantongi izin 560 ribu hektare, sepenuhnya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar, termasuk Jhonlin Group, KPN Corporation, dan First Resources.
“Jadi kita bisa membayangkan negara ini memberikan dan mengeluarkan kebijakan ekonomi dengan mengistimewakan pemilik modal tertentu,” katanya.
Pemerintah seharusnya belajar dari dampak traumatis proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di masa lalu. Dimana, kata dia, konsep serupa juga dilakukan pada proyek tersebut.
“Luas Merauke ada 4,5 juta hektare. Sebagian sudah digunakan untuk itu MIFEE, dan yang tersisa itu kawasan yang oleh negara disebut kawasan lindung dan kawasan konservasi seperti cagar alam, taman nasional dan hutan lindung,” ungkapnya.
Krisis Ekologis
Tidak hanya dari masyarakat adat, tetapi juga dari kalangan agamawan. Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, menyebut PSN Merauke sebagai bentuk baru penjajahan yang bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keagamaan.
Busyro mengatakan gerakan keagamaan, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Konghucu memiliki tanggung jawab moral untuk berpihak kepada yang tertindas dan menjaga kelestarian alam.
“Proyek yang tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian, adab. Karena kalau dengan kemanusiaan dan adab, PSN ini tidak akan menggilas masyarakat-masyarakat di berbagai tempat,” kata Busyro.
PP Muhammadiyah memandang implementasi PSN di banyak wilayah, seperti Rempang, Halmahera, Papua, dan Morowali, kerap mengabaikan aspek kemanusiaan dan keadilan.
"Jika PSN ini mengindahkan prinsip adab, tidak mungkin akan menggusur masyarakat yang sudah lama hidup di sana," ujarnya.
Lebih lanjut, Busyro mengkritik praktik politik di tanah air yang dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan.
"Apakah ini wajah Indonesia, yang pemilu dan pilkadanya dibiayai triliunan rupiah, tapi hasilnya seperti sekarang ini?" tanyanya.
Maka dari itu, agama harus menjadi penggerak moral dan profetik dalam membela yang lemah dan menentang ketidakadilan.
"Gerakan keagamaan harus aktif, tidak cukup sekadar iman yang pasif di tempat ibadah. Kita harus membangun negeri yang berperikemanusiaan dan penuh adab," katanya.
Sementara itu, Pastor Yohanes Kristo Tara, perwakilan dari JPIC OFM Indonesia, menyoroti krisis ekologis yang melanda dunia saat ini bukan sekadar persoalan lingkungan semata, tetapi juga menyentuh akar terdalam spiritualitas dan relasi manusia dengan ciptaan. Gereja, sebagai kekuatan moral dan rohani, diingatkan untuk tidak lagi menunda tanggung jawabnya dalam menjawab ketidakadilan sosial ekologis.
“Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk merumuskan kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat kecil, terutama mereka yang hidup bergantung pada alam,” kata Pastor Yohanes, dalam paparannya.
Dia menegaskan krisis ekologis saat ini adalah buah dari tindakan manusia yang telah lama memperlakukan alam secara eksploitatif. Mengutip Paus Fransiskus, Yohanes menyebut bahwa yang paling menderita dari krisis ini adalah kelompok miskin dan terpinggirkan.
JPIC OFM Indonesia menilai, selama ini Gereja terlalu berfokus pada keselamatan manusia, sehingga sering terlambat merespons isu-isu ekologis. Padahal, ajaran ekoteologi Katolik menegaskan bahwa keselamatan bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh ciptaan.
Untuk itu, Yohanes menekankan pentingnya ekologi integral; pendekatan ekologis yang menggabungkan perhatian terhadap alam, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada kaum miskin.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga menegaskan proyek strategis nasional (PSN) di Merauke bukan sekadar polemik pembangunan, melainkan pertaruhan atas kelangsungan hidup masyarakat adat dan keberlangsungan budaya mereka. Dalam pandangan teologi ekologi yang dianut PGI, keberpihakan kepada yang lemah dan tertindas termasuk masyarakat adat yang terancam adalah panggilan iman yang tak bisa diabaikan.
“Darimana kita memulai pertobatan ini? untuk memulai dari apa yang sekarang ini kita kenal ekoteologi. Ekoteologi yang dibangun atas kesadaran lingkungan, dalam pembacaan khusus kalangan Kristen ada banyak melihat bahwa manusia diciptakan Allah diberi wewenang menguasai alam dan itu ada ayatnya,” kata Pengurus PGI Johan Kristantara dari PGI.
Menurut Johan, dalam tradisi teologi Kristen memang terdapat pemahaman manusia diberi wewenang untuk menguasai alam. Namun tafsir seperti ini kerap disalahpahami dan melahirkan teologi yang antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat dan pemilik tunggal alam semesta.
Bagi PGI, relasi yang sehat antara manusia dan alam justru menuntut keberpihakan kepada yang lemah, termasuk masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga hutan dan alam, namun kerap menjadi korban pembangunan yang tak adil.
PGI menyerukan agar komunitas agama lintas iman bersama masyarakat sipil berdiri di sisi masyarakat adat, serta mendorong pemerintah untuk menghentikan proyek yang mengancam kehidupan rakyat kecil dan merusak keseimbangan ekologi.
“Ini adalah satu pertaruhan kehidupan masyarakat adat bukan hanya menghadapi kehilangan tanah, tapi ancaman genosida dimana budaya, suku, lambat laun akan digerus,” kata Johan.
Disisi lain, berdasarkan survei nasional lintas agama yang dilakukan PPIM UIN Jakarta selama 2023–2024, menemukan adanya kecenderungan masyarakat memaknai krisis lingkungan secara fatalistik.
Menurut Direktur Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Didin Syarifuddin, mengatakan kalau akar teologis dan literasi publik yang lemah sebagai faktor penghambat kesadaran ekologis dalam masyarakat.
“Karena itu, fenomena alam seperti krisis iklim dianggap wajar, sehingga masyarakat tidak merasa perlu bertindak apa-apa,” ujarnya.
Selain itu, kata Didin, ada temuan menarik soal hubungan agama dan kepedulian lingkungan. Meski ada korelasi, bentuk kepedulian tersebut masih sangat mikro.
“Agama berkorelasi dengan kepedulian lingkungan tapi kepeduliannya kepada tingkat sampah, mikro yang memandang kerusakan itu bukan kesalahan pada industri, kesalahan pada koperasi, kepada pemerintahan,” jelasnya.
Didin menilai hal ini sebagai tantangan serius yang harus dijawab oleh dunia pendidikan dan keagamaan. Menurutnya, kaum pelajar dan mahasiswa memiliki peran penting dalam membangun kesadaran kolektif.
“Informasi tentang proyek Merauke, misalnya, sangat terang benderang. Tapi kenapa warga negara diam saja? Karena literasi rendah. Apa yang terjadi di sekitar kita seperti tidak terjadi,” katanya.
Ia menegaskan pendekatan teologis perlu dibenahi agar tidak berhenti pada isu-isu permukaan semata. “Ini bukan hanya soal sampah. Perlu koreksi serius terhadap pemahaman teologi kita,” katanya
Penjarahan Skala Nasional
Dalam diskusi yang sama, Pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al Anwar Kota Bogor, Roy Murtadho alias Gus Roy menyebut proyek ini sebagai ‘Penjarahan Skala Nasional’ yang mengancam lingkungan, identitas budaya, dan keberagaman hayati.
Menurutnya, umat beragama dan tokoh lintas iman harus berani bersatu melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh kapitalisme yang difasilitasi negara.
“Kerusakan lingkungan pasti pelakunya manusia, gak hanya di Merauke di seluruh dunia pasti pelakunya manusia. Dalam al quran lebih spesifik mereka yang memiliki modal. Mereka yang punya modal besar, bisa mengatur dengan sangat brutal dan mengatur dengan semaunya mereka dan sialnya ini difasilitasi oleh negara,” kata Roy Murthadho.
Menurut Gus Roy, skala kerusakan yang terjadi hari ini hanya mungkin berlangsung dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam dan tokoh lintas agama untuk tidak sekadar berdialog, tetapi bersama-sama membela mereka yang tertindas.
Keprihatinan Gus Roy juga menyoroti dengan kritik atas negara kerap dilabeli sebagai sikap anti negara.
“Kita ini bukan anti-negara, kita muslim, kita kaum republik. Tapi hidup itu harus beragam seperti hutan. Kalau tanah Merauke diratakan, dijadikan sawit, dijadikan tanaman kultur, itu bukan lagi biodiversity,” ujarnya.
Lebih jauh, Gus Roy mengatakan krisis di Papua dan Merauke sebagai bagian dari sejarah panjang penjarahan ruang hidup.
“Sejak Papua bergabung dengan Indonesia, itu sudah bagian dari cerita penjarahan. Bukan hanya alamnya yang dijarah, tapi seluruh kebanggaan rakyat Papua dihancurkan,” katanya.
Dia juga mengkritik mobilisasi aparat keamanan yang lebih sering digunakan untuk melindungi kepentingan segelintir elite daripada menjaga rakyat.
“Tentara yang seharusnya jadi penjaga negara malah mematai-matai rakyatnya sendiri,” kata dia.
Gus Roy menyerukan perlunya koeksistensi sekaligus konsistensi di antara semua kelompok masyarakat. Ia menutup dengan seruan tegas.
“PSN harus dievaluasi, dan mungkin perlu dibongkar dihitung berapa yang menguntungkan rakyatnya?” katanya.
______________________________
Kontributor Aceh: Iskandar
Raja Ampat terancam tambang nikel. Alam, budaya, dan kehidupan adat dipertaruhkan. Pembangunan harusnya menjaga, bukan merusak warisan generasi mendatang.
Wamendagri tegaskan para kepala daerah harus memiliki kemampuan manajerial yang kuat dalam mengelola perubahan serta mengawal implementasi program prioritas.
Irine tegaskan Indonesia junjung dialog, Pancasila, dan kebijakan inklusif dalam lindungi hak minoritas.
Klasifikasi tersebut penting karena menegaskan Papua Barat sebagai pusat evolusi
Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan, ujar Girlie.
Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.
Upaya untuk menghadirkan Jokowi dalam persidangan sangat memungkinkan, meskipun belum pernah diperiksa di Kejaksaan sebagai saksi.
"Kadang-kadang ada free rider atau penumpang gelap dalam proses pemberian status saksi pelaku ini," ujar Lakso.
Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, yakni menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang berpotensi memperlebar defisit anggaran.
"Semakin terbatas, semakin mempunyai alokasi yang tinggi untuk korupsi. Jadi sesuatu yang nilainya strategis, dan terbatas itu pasti rentan," kata Lakso.
Jokowi batal maju calon ketum PSI dapat dimaknai sebagai bentuk restu kepada Kaesang.