Suara.com - Pengakuan Marcella yang dirilis Kejaksaan Agung dinilai berbahaya. Narasi yang dibangun mengancam kebebasan berpendapat. Mereka yang kritis akan dicap sebagai bayaran dan musuh negara. Pada akhirnya, masyarakat, aktivis, hingga organisasi HAM menjadi kelompok yang paling rentan.
PENGACARA yang saat ini menjadi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung), Marcella Santoso terjerat sejumlah kasus pidana.
Marcella ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan dan terdakwa dalam kasus suap pengurusan perkara di pengadilan.
Dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice, Marcella ditetapkan menjadi tersangka karena diduga berupaya menghambat sejumlah perkara yang tengah disidik dengan mendanai pembuatan narasi negatif terhadap Kejagung.
Berdasarkan video pengakuannya yang dirilis Kejagung, Marcella juga menyebut bahwa dirinya turut membiayai pembuatan narasi penolakan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) dan gerakan 'Indonesia Gelap'.
"Bahkan terdapat juga isu Pemerintahan Bapak Presiden Prabowo, seperti petisi RUU TNI dan juga Indonesia Gelap," kata Marcella dalam sebuah video yang diputar Kejagung.
Namun belakangan, Marcella membantah pengakuan tersebut. Kepada awak media, ia menegaskan hanya mendanai pembuatan narasi negatif soal Kejagung.
"Saya nggak bikin konten RUU TNI, saya nggak bikin 'Indonesia Gelap'. Bukan saya yang bikin," kata Marcella pada Rabu, 18 Juni 2025 silam.
Sikap Marcella yang bertolak belakang menimbulkan pertanyaan: 'Benarkah video pengakuan itu dibuat atas kemauannya sendiri?'
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti persoalan tersebut dalam dua hal.
Pertama, pengakuan Marcella dibuat dalam situasi di bawah penguasaan penahanan Kejagung.
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menilai hal itu berbahaya, sebab menurutnya, bagaimana bisa seorang tersangka membuat pengakuan di luar persidangan?
Menurutnya, seharusnya pengakuan itu disampaikan dalam persidangan, bukan justru disebarluaskan.
Narasi dalam video kemudian terasa janggal karena Marcella sendiri yang membantah pengakuan tersebut, setelah video itu dipublikasikan oleh pihak kejaksaan.
Arif pun menduga, posisi Marcella yang terjerat sejumlah kasus hukum kemudian dimanfaatkan untuk menggiring opini publik.
"Ini harus diusut di internal kejaksaan, kok bisa begitu. Dan kejaksaan harus diingatkan bahwa tersangka memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas," kata Arif saat dihubungi Suara.com, Selasa, 24 Juni 2025.
Kemudian yang kedua, YLBHI menyoroti narasi yang disampaikan Marcella. Arif menilai hal itu berbahaya karena menggiring opini publik dengan informasi yang berpotensi merupakan berita bohong.
Ia bahkan menyebut rangkaian tersebut sebagai upaya untuk mendiskreditkan suara-suara kritis masyarakat sipil yang menolak RUU TNI dan Gerakan Indonesia Gelap.
Lantaran itu, ia menegaskan bahwa sikap kritis publik terhadap RUU TNI muncul murni karena kekhawatiran akan hidupnya kembali dwifungsi TNI.
Terlebih, dalam proses revisi UU TNI ditemukan banyak kejanggalan, seperti pembahasan tertutup hingga proses pengesahan yang berlangsung sangat cepat.
"Lantas kemudian suara kritis itu disebut bayaran, sebagai sesuatu yang tidak genuine dari masyarakat. Ini saya pikir keterlaluan," tegas Arif.
Upaya pembungkaman suara kritis dengan mendiskreditkannya secara masif, menurut Arif, akan berdampak pada kerentanan kelompok masyarakat sipil, aktivis, hingga organisasi hak asasi manusia di ruang publik.
"Siapa pun yang bersuara kritis akan dianggap sebagai bayaran dan di-framming sebagai musuh negara," ujarnya.
YLBHI kemudian juga menyoroti sikap TNI yang merespons pengakuan Marcella setelah videonya dipublikasikan.
Respons Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Kristomei Sianturi yang menyatakan bakal menelusuri dalang di balik pendanaan penolakan RUU TNI dan Gerakan Indonesia Gelap dinilai sebagai reaksi yang berlebihan.
Apalagi, pernyataan disampaikan saat menyambangi Gedung Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer di Jakarta, 20 Juni silam.
"Artinya, nanti kita akan mencari tahu siapa sebenarnya aktor di balik ini semua, dan apa motivasinya, sehingga mempermasalahkan RUU TNI," kata Kristomei.
Menurut Arif, sudah jelas bahwa TNI tidak memiliki kewenangan penegakan hukum seperti melakukan penyelidikan maupun penyidikan.
"Itu kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Jadi, terkait aliran dana atau motifnya apa, itu bukan kewenangan mereka. Kita harus taat pada konstitusi," tegasnya.
Ruang Sipil Menyempit
Sementara itu, Pakar Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Edi Santoso mengkhawatirkan ruang sipil yang semakin menyempit akibat pemublikasian video pengakuan Marcella oleh Kejaksaan.
Ia menilai bahwa penolakan RUU TNI dan narasi Indonesia Gelap merupakan bagian dari diskursus ruang publik.
Edi kemudian merujuk pada teori tokoh Mahzab Frankfurt, Jürgen Habermas tentang public sphere atau ruang publik.
Bahwa ruang publik yang ideal adalah ruang yang memungkinkan terjadinya dialog yang setara: semua orang memiliki hak yang sama untuk berpendapat.
Tuduhan adanya pihak yang membiayai, menunjukkan adanya upaya manipulasi ruang publik dan ketidaksetaraan.
Menurutnya, apabila hal tersebut memang benar adanya, seharusnya diungkap secara terbuka dan diklarifikasi.
"Bukan kemudian isu itu dilempar dan dipakai untuk memojokkan pihak-pihak tertentu," kata Edi saat dihubungi Suara.com.
Video pengakuan yang menampilkan Marcella sebagai sosok antagonis, menurut Edi, rentan digunakan sebagai alat untuk menekan kelompok-kelompok kritis.
"Kelompok-kelompok kritis, yang sebenarnya tidak dibiayai, akhirnya ikut ditekan dengan narasi ini. Nah, itu yang saya katakan, ada upaya yang tidak sehat. Tembakan narasi ini menyasar ke mana-mana. Akhirnya membungkam suara-suara kritis, saya khawatirnya begitu," ujar Edi.
Ia menegaskan bahwa suara kritis publik tidak bisa serta-merta disimpulkan sebagai hasil orkestrasi aktor-aktor bayaran.
"Kita nggak bisa menyimpulkan begitu. Jadi, seolah-olah dengan narasi itu, suara-suara kritis dianggap sebagai hasil orkestrasi yang manipulatif. Kesannya begitu, dan itu mereduksi suara kritis menjadi bentuk pragmatisme. Ini, saya kira, tidak adil," ujarnya.
Marcella Santoso membantah dirinya ikut dalam pembuatan konten negatif soal RUU TNI dan Indonesia Gelap.
Marcella merupakan seorang advokat yang sebelumnya dikenal sebagai kuasa hukum korporasi besar.
Saya mendoakan bahwa rasa sakit, rasa ketidaknyamanan yang dialami oleh pihak-pihak terkait dan terdampak..."
Proyek tersebut tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian dan adab," kata Busyro.
Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan, ujar Girlie.
Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.
Upaya untuk menghadirkan Jokowi dalam persidangan sangat memungkinkan, meskipun belum pernah diperiksa di Kejaksaan sebagai saksi.
"Kadang-kadang ada free rider atau penumpang gelap dalam proses pemberian status saksi pelaku ini," ujar Lakso.
Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, yakni menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang berpotensi memperlebar defisit anggaran.
"Semakin terbatas, semakin mempunyai alokasi yang tinggi untuk korupsi. Jadi sesuatu yang nilainya strategis, dan terbatas itu pasti rentan," kata Lakso.