Senin, 01 Jan 2024
Menelusuri Fakta di Balik Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Soal Pelanggaran HAM Berat: Mengapa Pelaku Sulit Diadili?
Home > Detail

Menelusuri Fakta di Balik Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Soal Pelanggaran HAM Berat: Mengapa Pelaku Sulit Diadili?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Senin, 28 Oktober 2024 | 14:00 WIB

Suara.com - Hanya beberapa waktu setelah dilantik, pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menyebut bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1998 menuai kontroversii. Yusril adalah Menteri Koordinator Hukum, Ham Imigrasi dan Pemasyarakatan.

Ia dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin, 21 Oktober 2024. Tak lama setelah dilantik ia menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat hanya terjadi pada masa penjajahan. Menurutnya, dalam puluhan tahun ini hampir tidak ada kasus yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Saat ditanya mengenai peristiwa 98, Yusril menegaskan bahwa kejadian tersebut tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Baginya, meski semua kejahatan merupakan bentuk pelanggaran HAM, tidak semuanya tergolong pelanggaran berat.

Pernyataan itu mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. 

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra usai mendatangi kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra usai mendatangi kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM. Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Usman mengatakan, bahwa Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity. 

Belakangan Yusril juga meralat ucapannya. Ia berkilah bahwa pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak jelas. 

"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait dengan genocide atau ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10/2024).

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa 1998?

Menguji Argumen Yusril

Suara.com mencoba menelusuri sejumlah dokumen terkait dengan peristiwa 1998. Salah satunya ialah laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998. Pada 23 Juli 1998, Presiden B.J. Habibie sempat  membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tragedi yang terjadi.

Setelah tiga bulan investigasi, TGPF merilis laporan akhir pada 23 Oktober 1998. Namun, laporan ini sulit memastikan secara pasti jumlah korban dan kerugian tragedi 1998. Itu karena banyak korban dievakuasi masyarakat sebelum ada penanganan resmi, sehingga tidak tercatat dalam laporan pemerintah.

Kerusuhan Mei 1998 (wikipedia)
Kerusuhan Mei 1998 (wikipedia)

TGPF melaporkan data korban yang bervariasi. Menurut Tim Relawan, di Jakarta tercatat 1.217 korban meninggal (1.190 terbakar atau dibakar, 27 tewas akibat senjata atau lainnya) dan 91 luka-luka; di luar Jakarta, 33 meninggal dan 74 luka-luka. 

Data Polda Metro Jaya mencatat 451 meninggal di Jakarta, dan di luar Jakarta, 30 meninggal, 131 luka-luka, dan 27 luka bakar. Versi Kodam Jaya menunjukkan 463 meninggal (termasuk aparat) dan 69 luka-luka, sementara Pemda DKI Jakarta mencatat 288 meninggal dan 101 luka-luka.

"Tragedi Mei 1998 termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (hasil penyelidikan Komnas HAM). Menurut TGPF Tragedi Mei 1998, Prabowo, yang kini menjabat sebagai Presiden RI, adalah salah satu yang bertanggung jawab atas tragedi Mei 1998," kata Sadyawan kepada Suara.com.

Romo I Sandywan, SJ merupakan salah satu anggota TGPF yang bergabung dalam tim relawan. Sebelum bergabung dengan TGPF, Sandyawan merupakan aktivis yang membantu korban secara langsung. Ketika penembakan terjadi di Universitas Trisakti pada 12 Mei, Sandywan berada di Surabaya. Setelah mendengar kabar, ia segera menuju Jakarta dan menyaksikan ketegangan di sekitar universitas.

Melalui anak-anak jalanan yang menjadi saksi, Sandywan menemukan bahwa kerusuhan dan pembakaran berlangsung terorganisir. Mereka melaporkan melihat oknum yang menjalani pelatihan sebelum melakukan pembakaran di Jatinegara Plaza pada 14 Mei.

Laporan TGPF mengkategorikan pelaku menjadi dua kelompok: massa pasif yang terprovokasi dan provokator yang terlatih, bukan warga setempat, dan tidak terlibat dalam penjarahan. Provokator ini segera meninggalkan lokasi saat gedung-gedung terbakar.

Dokumen Komnas HAM mencatat bahwa provokator memiliki kemiripan dengan aparat keamanan dalam hal potongan rambut, postur tubuh, gerakan, serta atribut seperti truk berplat nomor aparat dan sepatu lars.

Menelusuri Pola Kekerasan Seksual pada Tragedi 1998

Dalam laporan TGPF, juga  terungkap sisi kelam tragedi kekerasan seksual yang pada peristiwa 1998. Ada 52 perempuan yang menjadi korban perkosaan, 14 di antaranya diperkosa disertai dengan penganiayaan brutal, dan 10 lainnya mengalami penyerangan serta penganiayaan seksual.

Selain itu, sembilan orang mengalami pelecehan. Tragisnya, sebagian besar korban adalah perempuan etnis Tionghoa. Beberapa di antaranya bahkan mengalami kekerasan yang keji—diperkosa secara beramai-ramai, disiksa tanpa belas kasih, hingga akhirnya dibunuh. 

“Setelah tanpa sengaja melihat seorang gadis Tionghoa diperkosa beramai-ramai, adik perempuan saya begitu ketakutan dan tertekan. Bicaranya ngacau dan badannya bergetar setiap kali ada yang menghampirinya, dua mingu ia dirawat di Rumah Sakit. Saya jadi sangsi, adik saya itu hanya menyaksikan orang diperkosa atau dia sendiri juga diperkosa. Kok reaksinya seperti itu.” ujar kakak seorang perempuan, Juni 1998, dalam laporan TGPF. 

Dalam laporannya TGPF menemukan pola yang mencolok pada peristiwa Mei 1998: kekerasan seperti kerusuhan, pengrusakan, dan pembakaran terjadi di seluruh Jakarta, namun kasus perkosaan massal terpusat di Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan beberapa area lain yang menjadi konsentrasi tempat tinggal serta kerja warga Tionghoa.

 Pola ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tersebut terutama menargetkan komunitas Tionghoa, terlihat dari identitas para korban yang dikumpulkan oleh ‘Tim Relawan’. Meski demikian, dalam kesimpulannya, TGPF  menyatakan bahwa ada kepastian apakah kekerasan seksual yang terjadi direncanakan atau merupakan dampak kerusuhan,

Peristiwa 1998 sebagai Pelanggaran HAM Berat

Investigasi TGPF mengungkap bahwa peristiwa 1998 merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yang melibatkan penculikan, penembakan, pemerkosaan, dan kerusuhan secara sistematis. Komnas HAM juga mengklasifikasikan kejadian ini sebagai pelanggaran berat dalam penyelidikannya pada 2003. 

Pasal 104 ayat 1 UU HAM juga menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup pembunuhan massal atau genosida, serta pembunuhan sewenang-wenang tanpa proses hukum yang adil. Meski Tim Ad Hoc Komnas HAM telah menyerahkan temuan ini kepada Kejaksaan Agung untuk disidik dan dibawa ke pengadilan HAM, hingga kini penyidikan belum dilakukan.

“Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” ujar Usman. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Instagram)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid (Instagram)

Rekomendasi TGPF menyebutkan bahwa peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad pada 14 Mei 1998 perlu diselidiki untuk mengungkap keterlibatannya dalam kerusuhan. Nama Prabowo juga dikaitkan dengan penculikan aktivis melalui Tim Mawar, unit Kopassus yang dituduh melakukan penculikan atas perintah Prabowo.

Pada 2018, dokumen rahasia AS mengungkap keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis 1997-1998 atas perintah Presiden Soeharto. Meskipun Prabowo dan pendukungnya membantah hal ini, kontroversi selalu muncul menjelang pemilu. Dalam kampanye pemilu, Prabowo meminta maaf kepada aktivis 1998 yang kini mendukungnya.

Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk Peristiwa 1998.

Kemudian, pada Agustus 2024, dua kader Partai Gerindra bertemu dengan keluarga korban penghilangan paksa dan diduga memberikan uang Rp 1 miliar. KontraS menilai pertemuan ini sebagai upaya Prabowo untuk "mencuci dosa" dan menutupi kejahatannya.

Usman Hamid menyebut, ketidakmampuan Indonesia mengedepan keadilan dan negara  hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, jelas sangat mengecewakan.

" Sikap ini bukan hanya mengabaikan keadilan bagi korban, tetapi juga merusak sendi-sendi negara," kata Usman kepada Suara.com.

Menurutnya, jika negara benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat, prioritas utama haruslah penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ketidakselesaan proses hukum terhadap pelanggaran HAM berat dapat meningkatkan potensi terulangnya kejadian serupa.

"Jika ingin melangkah maju, Indonesia harus segera memprioritaskan penghormatan terhadap HAM, akuntabilitas, dan supremasi hukum," tegasnya. 

Terbaru
Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana
nonfiksi

Deflasi dan PHK: Jeritan Pedagang Pasar Johar Baru, Tukang Bajaj Pun Ikut Merana

Rabu, 20 November 2024 | 09:15 WIB

Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan polemik

Tragedi Deli Serdang: Saat Kepercayaan Publik Terhadap TNI Justru Dibalas Kekerasan

Selasa, 19 November 2024 | 11:09 WIB

Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor nonfiksi

Kisah Pelajar Jakarta Kecanduan Judol: Main Bareng Guru hingga Gadai BPKB Motor

Jum'at, 15 November 2024 | 20:51 WIB

Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga polemik

Teror Truk Tanah PIK 2: Kecelakaan Maut Picu Amarah Warga

Kamis, 14 November 2024 | 16:21 WIB

Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh polemik

Drama Laut Andaman: Mengungkap Sindikat Perdagangan Manusia Rohingya di Aceh

Rabu, 13 November 2024 | 14:11 WIB

Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi nonfiksi

Ironi Perkantoran Elite Jakarta: Kisah Pekerja Terpaksa Pinjol Demi Sesuap Nasi

Selasa, 12 November 2024 | 17:38 WIB

Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh nonfiksi

Di Balik Jeruji Truk: Kisah Pilu Pengungsi Rohingya yang Ditolak di Aceh

Senin, 11 November 2024 | 17:21 WIB

Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.