Suara.com - Belum sehari menjabat sebagai Menteri Koordinator Hukum,HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia menyebut tragedi 1998, bukan pelanggaran HAM berat walau belakangan meralatnya.
Ucapan Yusril ini membuat publik ragu terhadap komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Apalagi Prabowo Subianto sama sekali tidak menyinggung masalah pelanggaran HAM di masa lalu dalam pidato kenegaraan pertamanya sebagai presiden. Pun demikian di dalam visi misi yang tercantum dalam Asta Citanya. Prabowo sama sekali tidak menjadikan penyelesaian pelanggaran HAM berat sebagai prioritas.
Menteri Koordinator Hukum,HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra,menuai kritik tajam dari publik terkait pernyataannya mengenai peristiwa 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat. Ia menganggap tragedi 98 tidak memenuhi kategori pelanggaran HAM berat.
"Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini. Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal perang kemerdekaan, mungkin tahun 1960-an," katanya sebelum pelantikan menteri kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan, pada Senin (21/10/2024) lalu.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat merespons pernyataan Yusril. Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2003, peristiwa 1998 dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dijelaskannya pelanggaran HAM berat pada 1998 berupa, serangan sistematis dan meluas dalam bentuk pembunuhan, kekerasan, penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, perampasan kemerdekaan, dan mengakibatkan penderitaan fisik.
Kritikan juga datang dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Dia menyebut negara lewat Presiden ke-7 Joko Widodo sudah mengakui peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat pada Januari 2023. Pengakuan Jokowi ini berdasarkan hasil rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Mendapat kritikan deras, Yusril meralat pernyataannya. Dia mengklaim pertanyaan yang dilontarkan wartawan kepadanya tidak jelas.
"Apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril membela diri di komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (22/10/2024).
Mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini mengklaim dirinya paham terkait pengadilan HAM. Dia mengaku sebagai salah satu pihak yang mengajukan Undang-Undang Pengadilan HAM kepada DPR. Sehingga menurut Yusril dirinya paham apa yang dimaksud pelanggaran HAM berat.
Pada kesempatan itu, Yusril menyebut sikap pemerintahan Prabowo terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu masih perlu dibahas dan dikoordinasikan. Dipastikannya pemerintahan Prabowo memiliki komitmen melaksanakan hukum dan keadilan, serta penghormatan atas HAM.
Walau sudah mengklarifikasi, komitmen Yusril soal penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu diragukan.
Pada Minggu (20/10/2024) malam, saat dipanggil ke Istana Negara oleh Prabowo Subianto, Yusril menyarankan pemerintahan Prabowo untuk fokus ke depan, tidak melihat peristiwa masa lalu. Menurutnya pelanggaran HAM berat masa lalu sudah sulit untuk diungkap, karena peristiwanya sudah lama dan bukti-buktinya sudah tidak ada. Peristiwa yang terjadi pada masa lalu, kata Yusril, dapat dijadikan pelajaran untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada sekarang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai rangkain pernyataan Yusril yang menuai polemik menimbulkan pertanyaan.
"Soal keseriusan negara dalam mengedepankan asas keadilan dalam negara hukum, termasuk dalam mengatasi pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang yang berlaku," kata Usman kepada Suara.com, Kamis (24/10/2024).
Pernyataan awal Yusril, yang menyarankan pemerintahan baru menatap ke depan, menurut Usman menunjukkan kesan kebijakan yang akan diambil, yakni menutup pengusutan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Usman juga menyoroti pernyataan Yusril yang menyebut, pelanggaran berat HAM masa lalu sulit untuk diungkap sebagai sikap yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena sebagai menteri Yusril tidak memiliki kewenangan menyimbulkan ketersedian alat bukti. Sulit atau tidaknya dapat dibuktikan dengan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
"Sebab dengan langkah itu kita bisa menguji apa benar bukti-buktinya sudah tidak ada?" tegasnya.
Menurutnya ketidakmampuan negara mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu sangat mengecewakan. Hal itu bukan hanya berdampak kepada para korban dan keluarganya, namun merusak sendi-sendi negara. Ditegaskannya, jika negara memang menyebut mengutamakan kepentingan rakyat, maka langkah yang dapat dilakukan adalah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu di pengadilan HAM.
Usman menyebut, negara yang gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat, dapat dipastikan akan mengulang peristiwa yang sama di kemudian hari.
"Jika ingin melangkah maju, Indonesia harus segera memprioritaskan penghormatan terhadap HAM, akuntabilitas, dan supremasi hukum," tegasnya.
Upaya Impunitas
Awan gelap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang akhirnya berujung impunitas terhadap para pelaku sebenarnya sudah terbaca jauh sebelum Prabowo dilantik dan menunjuk Yusril sebagai menteri.
Hal itu menurut Anggota Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jessenia Destarini Asmoro, dapat dilihat dari pertemuan dua petinggi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman dengan 14 keluarga korban penculikan 1997-1998 di Hotel Fairmont, Jakarta pada Agustus lalu.
Sebagaimana diketahui, peristiwa penculikan itu terkait erat dengan Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus. Berdasarkan pengakuan salah satu keluarga korban, mereka masing-masing mendapatkan Rp 1 miliar sebagai uang tali kasih.
"Kami menduga pertemuan tersebut dilakukan untuk memuluskan kekuasaan dan meringankan beban Prabowo sebagai terduga pelaku selama menjabat sebagai presiden," kata Destarini kepada Suara.com.
Selain itu, dalam pidato pertama Prabowo sebagai presiden, sama sekali tidak tidak menyinggung soal penyelesaian pelanggaran HAM. Begitu juga dengan 8 misinya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang termuat dalam Asta Cita, tak satu pun menyinggung penyelesaian pelanggaran HAM berat. Pada saat menjadi capres pun demikian, visi-misinya tidak menyebut penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kemudian sejumlah aktivis yang menjadi korban penculikan peristiwa 1998, masuk dalam kabinet pemerintahan Prabowo. Mereka di antaranya Nezar Patria yang menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, nomenklatur baru dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Mugiyanto Sapin yang diculik oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus--yang di bawahi Prabowo kalau itu, menjadi Wakil Menteri HAM. Mugiyanto yang merupakan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) periode 2000-2014, adalah pihak yang menginisiasi pertemuan keluarga korban penculikan 1998 dengan dua petinggi Gerindra.
Lalu nama aktivis 1998, Budiman Sudjatmiko yang ditunjuk Prabowo sebagai Kepala Badan Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan
Berdasarkan sejumlah hal tersebut, Destarini meyakini pemerintahan Prabowo, tidak akan mengutamakan persoalan penyelesaian hukum pelanggaran HAM berat.
"Dari sini kami membaca bahwa penuntasan tersebut memang tidak akan menjadi prioritas pemerintahan saat ini," tegas Destarini.
mempertegas posisi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang paling banyak melakukan penyiksaan kepada masyarakat sipil.
Political fatigue atau kelelahan politik menjadi faktor kedua yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024.
Polisi tidak boleh menjadi agen algojo negara dan melakukan perampasan nyawa warga dengan sewenang-wenang, karena itu melanggar hak asasi manusia.
kekalahan Andika-Hendi menjadi sejarah sebab untuk pertama kalinya paslon PDIP kalah di Jawa Tengah.
keterlibatan aparat penegak hukum di lingkaran pertambangan ilegal bukan hal baru
Di tengah melemahnya daya beli, pengguna pay later mengalami peningkatan karena menjadi alternatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air.