Suara.com - DPR RI merencanakan akan memberikan tunjangan rumah bagi setiap anggota dewan sekitar Rp50 juta per bulan. Pemborosan uang negara, karena dalam lima tahun mencapai Rp1,74 triliun.
Rencana tunjangan berlebihan itu menuai kritik di tengah tingginya angka warga yang belum memiliki tempat tinggal layak. Setidaknya, anggaran triliunan untuk 580 anggota dewan itu jika dikonversi bisa membangun 14 ribu unit rumah layak bagi warga level menengah ke bawah.
***
SEKRETARIAT Jenderal DPR RI mewacanakan pemberian tunjangan rumah bagi para anggota dewan. Alasannya, rumah dinas yang sediakan negara dianggap sudah tidak layak huni.
Wacana itu tertuang dalam surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang telah ditandatangani pada 25 September 2024. Dalam surat disebutkan, anggota DPR periode 2024-2029 akan diberikan Tunjangan Anggota Perumahan dan tidak diberikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA).
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar mengklaim renovasi rumah jabatan anggota dewan memakan biaya mahal, sehingga diganti dengan skema pemberian tunjangan perumahan. Angka pasti tunjangan perumahan yang nantinya diterima tiap anggota DPR memang belum ditentukan, tetapi berkisar Rp50 juta hingga Rp70 juta per bulan.
Saat mengunjungi kompleks perumahan DPR RI di Kalibata, Jakarta Selatan, pada Senin 7 Oktober 2024, Indra menyebut sejumlah kerusakan yang terjadi. Di antaranya atap bocor, plafon rusak, cat mengelupas dan berbagai kerusakan lainnya.
"Setiap hari ada sekitar 15 sampai 20 keluhan dari anggota. Rata-rata berkaitan dengan bocoran rumah," kata Indra.
Selain kerusakan, lanjut dia, masalah lainnya seperti ganguan tikus hingga rayap yang merusak furnitur. Kemudian saat musim hujan, aliran Sungai Ciliwung yang tak jauh dari kawasan perumahan dapat meluap.
Berdasarkan pantauan jurnalis Suara.com di lokasi baru-baru ini, tak semua rumah jabatan anggota DPR dalam kondisi tidak layak huni. Banyak bangunan rumah itu dalam kondisi masih kokoh --buktinya masih banyak rumah yang ditempati.
Setiap rumah dinas di kompleks DPR RI, Kalibata, berlantai dua dengan luas 188 meter persegi. Lantai pertama terdiri dari satu kamar tidur, ruang kerja, kamar mandi, dapur, garasi, dan halaman belakang. Pada lantai dua, terdapat empat kamar tidur dan dua kamar mandi.
Wacana pemberian tunjangan rumah anggota dewan itu menuai kritik dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menyebut kebijakan itu sebagai pemborosan anggaran negara dan bentuk ketidakberpihakan terhadap kepentingan publik.
ICW menghitung anggaran yang dikeluarkan negara bila wacana tersebut tetap dijalankan. Jika nilai tunjangan Rp50 juta dikalikan 580 anggota dewan, lalu dikalikan dengan masa kerja selama 60 bulan atau 5 tahun, hasilnya yaitu Rp1,74 triliun. Sementara nilai Rp70 juta setiap bulan, dengan perhitungan yang sama, akan menghabiskan anggaran Rp2,43 triliun.
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara menilai jika DPR tetap menjalankan rencana itu, maka akan terjadi pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun selama lima tahun.
"Perhitungan tersebut didapatkan dari pengurangan antara tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki RJA menggunakan mekanisme pengadaan," kata Seira kepada Suara.com, Senin (14/10/2024).
Selain itu, ICW menelusuri belanja pengadaan oleh Sekretariat Jenderal DPR melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Pada penelusurannya, ICW menggunakan beberapa kata kunci, Rumah Jabatan Anggota, RJA, Kalibata, dan Ulujami pada periode 2019-2024.
ICW menemukan 27 paket pengadaan dengan nilai kontrak seluruhnya Rp374,53 miliar. Dua paket di antaranya, dilakukan pada 2024 untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar.
"Hal ini menunjukan bahwa telah ada perencanaan yang dirancang agar anggota DPR dapat menempati RJA," ujar Seira.
Rumah Warga Tak Layak
Sosiolog dari Universitas Nasional (UNAS) Nia Elvina menilai, kebijakan memberikan tunjangan rumah anggota DPR itu dinilai sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi masyarakat saat ini. Sebab, masih banyak warga yang kesulitan untuk mendapatkan rumah layak.
"Sebagian besar masyarakat kita, terutama kelas menengah ke bawah kesulitan untuk mendapatkan rumah atau mengakses kredit perumahan," kata Nia dalam perbincangan dengan Suara.com, Kamis (10/10).
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 terdapat 36,85 persen atau sepertiga rumah tangga di Indonesia menempati rumah tak layak huni. Sebanyak 34,53 persen rumah tangga yang tinggal di rumah tak layak huni berada di perkotaan, 40,09 persen berada di pedesaan.
Di sisi lain, masih terdapat 15,21 persen rumah tangga yang belum memiliki rumah pada 2023. Jakarta menjadi provinsi terendah status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri dengan presentase sebesar 56,57 persen. Sedangkan, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna menyebut terdapat 12,7 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Dia pun memprediksi angka itu akan terus bertambah setiap tahunnya.
Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia, Syarifah Syaukat mengungkap indikator rumah yang dapat dikategorikan layak huni. Syarifah merujuk pada Peraturan Kementerian PUPR Nomor 29 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
"Rumah layak huni merupakan rumah yang telah memenuhi syarat keselamatan bangunan maupun kecukupan minimal luas bangunan serta kesehatan," katanya.
Syarifah merangkum empat indikator, pertama keselamatan dan ketahanan rumah yang baik menjadi syarat utama. Hal itu mengacu ke struktur bangunan seperti pondasi, rangka atap, kualitas dimensi, pengunaan bahan bangunan perlu diperhatikan dengan baik.
Kedua, yang layak harus memenuhi kecukupan luas bangunan, yaitu sekitar 7,2-12 meter persegi per orang. Ketiga, akses saluran sanitasi seperti toilet, septic tank, tempat sampah harus memiliki jarak yang telah disesuaikan untuk bangunan. Terakhir, ketersedian dan kualitas air bersih yang tersedia juga harus memenuhi persyaratan.
Tunjangan Bisa Bangun 14 ribu Rumah
Wacana pemberian tunjungan rumah kepada anggota DPR, ditengah masih tingginya angka rumah tangga yang belum memiliki tempat tinggal dan menempati hunian yang tidak layak, turut dikritisi pengamat properti Aleviery Akbar. Menurutnya, dengan anggaran yang mencapai triliun rupiah itu seharusnya digunakan untuk masyarakat agar bisa memiliki hunian sendiri dengan kondisi yang layak.
"Mengacu data yang ada, artinya prioritas rumah masyarakat seharusnya didahulukan. Ditambah lagi backlog perumahan kita yang sangat tinggi mencapai 12 juta rumah tangga yang memerlukan rumah," kata Akbar kepada Suara.com.
Merujuk pada perhitungan yang dilakukan ICW, setidaknya dengan anggaran Rp1,74 triliun (hasil dari 580 x Rp50 juta x 60 bulan), pemerintah dapat membangun 10.235 unit rumah. Sementara, anggaran Rp2,43 triliun (hasil dari 580 x Rp70 juta x 60 bulan), pemerintah dapat membangun sekitar 14.294 unit rumah.
Perhitungannya, jika setiap rumah diasumsikan memiliki harga Rp170 juta. Di kawasan pinggiran Jakarta, rumah KPR seharga Rp170 juta, setidaknya sudah memiliki luas bangunan 28 meter persegi, terdiri dari ruang tamu serta dapur yang menyatu, dua kamar tidur, dan satu kamar mandi.
Di satu sisi, dengan dana Rp50 sampai Rp70 juta, sudah cukup layak untuk merenovasi sebuah rumah di Jakarta.
"Masalahnya memang cukup politis. Di tengah kondisi masyarakat dalam kesulitan, anggota DPR malah mengajukan tunjangan. Artinya mengabaikan kondisi masyarakat saat ini dan konsituennya sendiri," tuturnya.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.