Suara.com - Masyarakat dari 10 gendang atau kampung adat di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur menolak perluasan proyek geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Lewat 'Aksi Jaga Kampung' mereka berjuang menuntut pemerintah menghentikan proyek strategis nasional atau PSN tersebut demi mempertahankan tanah dan nilai adat dari dampak risiko buruk yang terjadi.
***
AGUSTINUS Tuju adalah tua adat atau tokoh Gendang Nderu. Pria 52 tahun itu sudah puluhan kali mengikuti Aksi Jaga Kampung. Bersama ratusan warga dari 10 kampung adat di Poco Leok; Gendang Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Cako, Ncamar, Rebak, Jong, Tere, dan Lungar mereka teguh menolak perluasan proyek geothermal Ulumbu unit 5 dan 6.
Penolakan terhadap perluasan proyek geothermal dilakukan mereka demi menjaga lima unsur falsafah hidup masyarakat adat Poco Leok. Lima unsur yang disebut Lampek Lima itu meliputi; Gendang (rumah adat), Lingko (lahan perkebunan), Natas (halaman atau ruang publik), Wae (mata air), dan Compang (altar sesaji kepada leluhur).
"Lampek Lima adalah satu kesatuan. Itu tidak bisa dialihfungsikan, karena kalau salah satunya dialihfungsikan maka adat dan budaya Poco Leok dan Manggarai pada umumnya tidak ada nilainya lagi," kata Agustinus kepada Suara.com, Kamis (10/10/2024).
Terhitung sejak 2022 warga adat di Pocok Leok telah menggelar Aksi Jaga Kampung sebanyak 26 kali. Aksi ke-26 berlangsung pada Rabu, 2 Oktober 2024 pekan lalu. Mereka menolak kedatangan PT PLN (Persero) dan pemerintahan Kabupaten Manggarai yang hendak mengidentifikasi lahan warga untuk perluasan proyek dan akses jalan.
Polri, TNI serta Satpol PP ikut mengawal kedatangan PLN dan pemerintah Kabupaten Manggarai. Aparat gabungan tersebut dengan dalih mengatasnamakan negara mengkonfrontasi warga adat untuk tidak menghalangi proses identifikasi lahan. Namun warga adat tetap teguh menolak.
"Karena kami tidak mengizinkan tanah kami dijual," tegas Agustinus.
Agustinus bersama tiga warga adat dan seorang jurnalis Floresa bernama Herry Kabut sempat ditangkap aparat kepolisian karena dituduh provokator. Selama beberapa kali menggelar Aksi Jaga Kampung, warga adat di Pocok Leok kerap diintimidasi aparat gabungan. Tak sedikit warga sampai harus dilarikan ke rumah sakit akibat tindakan represif aparat.
Selain demi mempertahankan tanah dan nilai adat leluhur, warga Pocok Leok menolak proyek geothermal karena khawatir akan ancaman kebencanaan. Mulai dari risiko seismik, penurunan muka tanah dan perubahan bentang alam, kerusakan dan pencemaran sistem-sistem ekologi, hingga timbulnya emisi gas rumah kaca (GRK).
Proyek geothermal Mataloko di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur salah satu contoh yang mereka khawatirkan. Operasi tambang panas bumi di kabupaten yang bertetangga dengan Poco Leok itu menimbulkan semburan lumpur panas yang menyebabkan sawah warga terendam, sumber air tercemar, hingga merusak ladang pertanian sebagai sumber pencarian warga Mataloko.
Penolakan warga Poco Leok terhadap proyek geothermal Ulumbu unit 5 dan 6 ini juga semakin menguat dan meluas setelah terjadinya kebocoran gas mematikan H2S atau hidrogen sulfida di beberapa lokasi proyek geothermal seperti di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Peristiwa tersebut menyebabkan lima penduduk tewas dan ratusan orang mengalami keracunan.
"Untuk menghindari itu, konflik sosial juga bencana-bencana lingkungan, kami berharap proyek geothermal Poco Leok ini segera dihentikan," tutur Agustinus.
Ancaman Ekologis
Geothermal kerap dianggap sebagai salah satu solusi atas kebutuhan energi yang bersih dan berkelanjutan. Namun hasil penelitian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Center of Economic and Law Studies (Celios) justru menyingkap sebaliknya.
Dalam laporan bertajuk 'Geothermal di Indonesia: Dilema Potensi dan Eksploitasi atas Nama Transisi Energi' yang dirilis Maret 2024, menyebut proyek geothermal di beberapa negara termasuk di Indonesia lebih banyak menimbulkan dampak negatif di lihat dari aspek sosial, ekonomi hingga ekologi.
Masalah eklogis yang kerap ditemukan akibat proyek geothermal di antaranya; peningkatan risiko seismik, pelesakan tanah dan risiko perubahan relief bumi, kerusakan sistem akuatik, serta masih timbulnya gas rumah kaca dan lepasan beracun H2S.
Di Indonesia banyak aduan terkait dugaan dampak gempa bumi yang disebabkan operasional PLTP. Beberapa keluhan yang diduga disebabkan karena aktivitas penambangan panas bumi tersebut salah satunya datang dari warga di lereng Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Mereka mengaku kerap merasakan beberapa kali gempa bumi di daerahnya semenjak PLTP Gunung Salak pertama kali beroperasi.
Pengakuan serupa juga disampaikan warga Dieng. Persisnya mereka yang tinggal di kawasan Kepakisan, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Di sana dilaporkan satu rumah roboh karena keretakan parah pada dinding yang diduga disebabkan aktivitas pengeboran dan operasional fracking proyek PLTP. Selain gempa bumi, warga Dieng juga mengaku kerap merasakan lapisan lapisan tanah yang mendadak melesak atau ambles pada lahan mereka.
Kejadian semacam ini juga dialami warga Mataloko di Kabupaten Ngada, NTT. Lahan tempat mereka biasa bertani dan bertempat tinggal kerap ditemui banyak bekas lubang yang berasal dari operasional PLTP Mataloko. Lubang-lubang yang semua kecil itu kemudian membesar dan secara gradual terisi lumpur dan gas panas hingga mengakibatkan lima hektar sawah warga mati total dan tak lagi dapat berproduksi.
Dalam laporan penelitian setebal 102 halaman yang disusun Walhi dan Celios itu dijelaskan, peristiwa tanah melesak yang berujung pada perubahan relief bumi ini karena berkurangnya kepadatan tanah. Penyebabnya adalah aktivitas penambangan panas bumi yang dilakukan dengan terus-menerus menarik dan menyalurkan air dalam proses operasinya.
Di Indonesia kasus pencemaran air —yang berkorelasi langsung dengan terganggunya pasokan air bersih— merupakan salah satu dampak paling dirasakan warga di sekitar proyek geothermal, terutama yang telah beroperasi. Pencemaran air merupakan salah satu dampak terberat karena berpengaruh pada kebutuhan keseharian dan sumber penghidupan warga yang sebagian besar merupakan petani seperti yang terjadi di Dieng.
Selain Dieng, pencemaran air akibat operasional geothermal ini juga terjadi di Danau Linow, Tomohon, Sulawesi Utara. Salah satu indikator pencemaran air di sana dibuktikan dengan hilangnya populasi sayok dan komo semenjak operasional PLTP Lahendong. Sayok dan komo merupakan serangga endemik Danau Linow yang hidup di permukaan air.
Laporan penelitian Walhi dan Celios juga menyebut pembangkit energi geothermal sebetulnya tak “sehijau” seperti yang digadang-gadang selama ini. Pada PLTP, emisi gas rumah kaca (GRK) meliputi emisi yang dikeluarkan selama siklus konstruksi atau plant cycle dan siklus operasional atau fuel cycle. Kalkulasi data dari Italia dan sejumlah lokasi di Turki mengungkap bahwa emisi GRK dari siklus operasional PLTP bisa setara dengan atau bahkan lebih tinggi dari PLTU batubara konvensional.
Tak hanya ancaman emisi karbonnya, proyek geothermal juga dibayangi potensi bencana keracunan H2S. Di mana selama proses ekstraksi panas bumi, akan ada H2S (gas hidrogen sulfida) yang dilepaskan ke atmosfer. Operasional PLTP yang mengabaikan asas kehati-hatian akan meningkatkan jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi di PLTP Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Pada 25 Januari 2021, lima warga sekitar PLTP Sorik meninggal dunia akibat keracunan H2S. Kebocoran gas hidrogen sulfida di sekitar PLTP yang berulang kali terjadi ini setidaknya juga telah mengakibatkan ratusan warga keracunan.
Selain di Sorik, warga di sekitar PLTP Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA serta gatal gatal. Dampak kesehatan itu timbul akibat dari semburan uap belerang dan lumpur.
Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore Christanto menilai dari operasi-operasi geothermal yang ada itu tidak menunjukkan perbedaan fundamental dalam tata kelola energi untuk bisa disebut sebagai bagian dari transisi energi berkeadilan. Pasalnya, selain masih bercorak eksploitatif, sistem energi geothermal juga berpotensi memperluas konflik agraria, meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap warga dan menimbulkan kebencanaan.
"Hampir seluruh proyek-proyek geothermal di Indonesia itu mengalami penolakan dan seringkali dia berakhir kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia," kata Fanny.
Kondisi tersebut menurut Fanny tidak terlepas dari kesalahan negara dalam membayangkan transisi energi di Indonesia. Proyek-proyek non-fosil itu seolah-olah dianggap sebagai proyek yang baik dalam menghadapi krisis iklim tanpa mempertimbangkan prinsip paling utama bahwa energi adalah hak bukan sebuah komoditas.
Fanny menyebut ketika negara masih berprinsip bahwa energi sebagai bagian dari komoditas, maka yang terjadi selalu berorientasi pada industri bukan masyarakat.
"Kenapa proyek-proyek geotermal itu terus dilanjutkan? Karena tujuan negara terus-terus mengembangkan pembangkitan energi yang sebetulnya sama sekali tidak mengindahkan keselamatan rakyat Indonesia," beber Fanny.
Dampak Ekonomi
Pemerintah Indonesia sejak 2017 menetapkan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi. Dalam rencana investasi JETP (Comprehensives Investment and Policy Plan–CIPP) Indonesia, geothermal memang menduduki posisi nomor satu teknologi pembangkit yang diproyeksikan sebagai proyek transisi energi.
Setidaknya tak kurang dari US$22,5 miliar dialokasikan demi pengembangan PLTP di tanah air ini. Namun di balik itu, pengembangan panas bumi sebagai sumber listrik baru dibayar dengan harga mahal.
Penelitian Walhi dan Celios menunjukkan, kehadiran PLTP pada tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan yang selama ini menjadi denyut nadi perekonomian masyarakat di NTT. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak sektor ekonomi yang akan terus menurun sebagai dampak dari proyek PLTP.
Berdasar hasil modelling ekonomi yang dilakukan Celios dengan metode IRIO atau Inter Regional Input-Output memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di NTT; Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu, berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar Rp470 miliar pada tahap pembangunan. Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal. Di sisi lain jumlah tenaga kerja juga diperkirakan menurun 20.671 orang di tahun pertama dan 60.700 orang di tahun kedua.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menilai proyek geothermal yang padat modal ini tidak terlalu membawa dampak berganda terhadap ekonomi lokal.
"Sebaliknya, bagi ekonomi lokal kehadiran geothermal sering dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan," ungkap Bhima.
Melihat dari dampak ekonomi dan ekologis yang ada, Bhima berpendapat rencana transisi energi geothermal ini perlu dikaji ulang. Selain itu ia juga menyarankan kerjasama pendanaan internasional seperti JETP (Just Energy Transition Partnership) tidak memasukkan PLTP sebagai bagian dari rencana utama mencapai transisi energi.
"Secara ekonomi biaya investasi PLTP juga tergolong mahal dan berisiko membebani negara dari sisi subsidi listrik” tuturnya.
Sementara Senior Manager Pertanahan, Perizinan dan Komunikasi PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra), Dede Mairizal mengklaim pihaknya selalu mengedepankan sosialisasi dalam proses perluasan proyek geothermal di Ulumbu. Di sisi lain mereka juga mengklaim tetap menghormati adat dan istiadat setempat sekaligus memastikan keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan sekitar.
"PLN tidak hanya fokus pada pembangunan secara fisik terhadap PLTP saja," katanya.
Menurut pengakuan Dede, perluasan proyek PLTP Ulumbu ini juga mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat setempat. Dalam pelaksanaannya ia mengklaim PLN bersama pemerintah daerah secara aktif melibatkan warga sekitar dalam beberapa program. Seperti program pengembangan pertanian berbasis potensi lokal, penyediaan sarana dan prasarana umum, penyediaan fasilitas air bersih serta pembudidayaan ikan air tawar.
"Ini akan berlanjut terus demi menghadirkan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar Ulumbu pada khususnya dan NTT pada umumnya," ujarnya.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.