Senin, 01 Jan 2024
Menerka Niat Jokowi Buka Kembali Ekspor Pasir Laut: Upaya Greenwashing Demi Tambal Utang Negara Home > Detail

Menerka Niat Jokowi Buka Kembali Ekspor Pasir Laut: Upaya Greenwashing Demi Tambal Utang Negara

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 26 September 2024 | 09:15 WIB

Suara.com - Menjelang akhir jabatannya, Presiden Joko Widodo membuka kembali ekspor pasir laut yang telah dilarang sejak era Presiden Megawati. Kebijakan ini diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Untuk mendukung kebijakan ini, beberapa regulasi turunan dikeluarkan, termasuk Permendag Nomor 21 Tahun 2024 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024. Jokowi mengklaim yang diekspor adalah sedimen, bukan pasir laut biasa, yang mengganggu jalur kapal.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menolak keras kebijakan ini, menyebutnya sebagai bom waktu. Menurut WALHI, kebijakan ini akan memicu krisis sosial dan ekologis di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta memperparah kemiskinan nelayan di wilayah tambang pasir laut.

Meski demikian, Jokowi lewat pemerintahannya seolah tidak menghiraukan sejumlah protes di masyarakat. Lantas, apa sebenarnya alasan dari pemerintahan Jokowi kembali membuka ekspor pasir laut di akhir masa jabatannya? 

Ilustrasi penambangan pasir laut (pexels.com)
Ilustrasi penambangan pasir laut (pexels.com)

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mendiga kebijakan ini bertujuan menutupi utang negara sebesar Rp 1.350 triliun yang jatuh tempo pada 2025. Menurunnya rasio penerimaan pajak dari 13,7 persen pada 2014 menjadi 10,1 persen  di 2024 memperparah kondisi fiskal.

Mengacu pada PP Nomor 26 Tahun 2023, pemerintah menawarkan potensi volume pasir sebesar 17,64 miliar meter kubik, tersebar di Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut Natuna. Sebanyak 66 perusahaan telah mengajukan izin, dengan total permintaan mencapai 3,3 miliar meter kubik pasir.

Berdasarkan PP Nomor 85 Tahun 2021, harga pasir laut untuk ekspor dipatok Rp 186.000 per meter kubik, sementara domestik Rp 93.000. 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan memperkirakan negara dapat memperoleh pemasukan non-pajak sebesar Rp 1.122 triliun dari ekspor dan Rp 11,7 triliun dari penjualan domestik.

Jangan Harap Indonesia jadi Pemain Tunggal

Meski hitung-hitungan menunjukkan nilai yang menggiurkan, Bhima mengingatkan bahwa Indonesia bukan satu-satunya pemain tunggal ekspor pasir.

 "Jadi jangan berharap kita jadi pemain tunggal," katanya.

Menurut data dari worldstopexports.com, 15 negara menyumbang 83 persen ekspor pasir global pada 2021. Amerika Serikat memimpin dengan nilai ekspor sebesar $475,3 juta (27,8 persen dari total), diikuti Belanda ($214,3 juta atau 12,5 persen), Jerman ($170,6 juta atau 10 persen), Belgia ($126,4 juta atau 7,4 persen), dan Malaysia ($64 juta atau 3,7 persen). Vietnam berada di urutan ke-11 dengan $30,6 juta (1,8 persen).

Pengamat Ekonomi dan Energi UGM, Fahmy Radhi, menyebut ekspor pasir Indonesia hanya ditujukan ke Singapura untuk reklamasi lahan, karena jarak yang dekat membuat ongkos pengiriman lebih murah. 

Dari 1976 hingga 2002, Singapura mengandalkan pasir dari Kepulauan Riau. Menurut Fahmy, kebijakan ini ironis karena eksploitasi pasir bisa menenggelamkan pulau kecil Indonesia, sementara Singapura justru memperluas wilayahnya dengan pasir tersebut.

"Kalau ini terjadi, tidak bisa dihindari akan mempengaruhi batas wilayah perairan antara Indonesia dan Singapura” dikutip Suara.com dari laman resmi UGM.

Ancaman Kerugian Lebih Besar

Bhima Yudhistira menyayangkan kebijakan ekspor pasir laut ini. Menurutnya ini akan lebih merugikan ekonomi.

Tidak hanya itu, ia menyoroti potensi hilangnya blue carbon di ekosistem pesisir, yang mencapai 3,4 Giga Ton, sekitar 17% dari karbon biru dunia. Bhima menilai pemerintah seharusnya fokus memanfaatkan potensi ini, bukan mengeksploitasi pasir.

Ilustrasi nelayan tradisional.(pixabay)
Ilustrasi nelayan tradisional.(pixabay)

Eksploitasi pasir laut di wilayah seperti Demak, Surabaya, Cirebon, Indramayu, Karawang, Kutai Kartanegara, Balikpapan, serta pulau-pulau di Kepulauan Riau, akan merugikan nelayan. Pasir laut yang kaya biota penting dan lokasi tambang yang menghalangi jalur nelayan akan mengurangi pendapatan mereka.

Menurut catatan Walhi, nelayan kehilangan Rp 80,4 miliar dalam 257 hari akibat penambangan pasir laut oleh PT Boskalis, di Di Pulau Kodingareng, Sulawesi. Banyak nelayan meninggalkan pulau dan terlilit utang.

Di Bangka Belitung, sejak 2001, 300.000-500.000 ton pasir diekspor setiap bulan ke Singapura, menyebabkan kerusakan ekosistem, termasuk hilangnya 5.720 hektar terumbu karang dan 240.000 hektar mangrove.

Penambangan pasir juga memicu korupsi dan konflik dengan masyarakat adat, mengancam 3.000-4.000 orang nelayan di Lampung, yang merupakan produsen besar rajungan. 

Di Jawa Timur, penambangan sejak 1996 memicu krisis ikan dan nelayan. Di Lombok Timur, meski penambangan dihentikan, nelayan tetap terdampak.

Sementara itu, di Bali, penambangan mempercepat abrasi pantai dan menghancurkan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Kemudian di Maluku Utara, pasir besi di Morotai mengancam kelestarian pulau kecil dan pesisir.

"Kalau ada yang bilang masyarakat bisa jadi tukang atau buruh kasar yang membantu pengangkutan pasir laut, itu keliru sekali. Pendapatannya hanya temporer, begitu pasir lautnya dikeruk habis, ya, pekerjanya akan jadi pengangguran," jelasnya.

Bhima pun menegaskan ekspor pasir hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha, dan akan semakin memperburuk ketimpangan. 

Sementara Fahmi, menilai pemasukan dari ekspor pasir tidak sebanding dengan kerusakan yang akan terjadi. Perhitungan kerugian  akibat kerusakan lingkungan dan ekologi harus dipertimbangkan. 

"Belum lagi persoalan dan potensi ancaman akan tenggelamnya sejumlah  pulau yang merugikan rakyat di sekitar pesisir laut, termasuk nelayan yang tidak lagi dapat melaut,” ujarnya.

Upaya Greenwashing Pemerintah

Infografis kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut ke Singapura dan sejumlah negara. [Suara.com/Ema]
Infografis kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut ke Singapura dan sejumlah negara. [Suara.com/Ema]

Pada 15 Mei 2023, Presiden Jokowi menandatangani PP 26/2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut. Pemerintah menyatakan bahwa aturan ini bertujuan untuk memulihkan ekosistem laut yang terkena dampak sedimentasi.

Jokowi, dalam pernyataannya pada Senin (23/9), menegaskan bahwa yang diekspor hanyalah sedimen dari jalur laut kapal, bukan pasir laut.

"Yang diperbolehkan itu adalah sedimen pasir yang berada di jalur laut untuk kapal-kapal. Hati-hati, tolong dilihat. Kalau memang bukan itu, itu yang enggak benar," katanya. 

Anggota Komisi IV DPR RI dari PDIP, Deddy Yevri Sitorus, mengkritik kebijakan Jokowi terkait eksploitasi pasir laut, yang menurutnya bertentangan dengan sikap pemerintah soal perubahan iklim. 

Ia menyoroti bahwa ekspor pasir laut sudah pernah dilarang di era Presiden Megawati karena merusak ekosistem laut dan mengurangi luas pulau-pulau terluar.

Deddy juga mempertanyakan bagaimana pemerintah akan memastikan pasir yang diekspor adalah sedimen, bukan pasir laut yang merusak lingkungan.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengkritik PP 26/2023 sebagai upaya greenwashing, yang membungkus kebijakan merusak dengan klaim pemulihan lingkungan. Meski diiklankan sebagai langkah pemulihan ekosistem laut, sebagian besar isi regulasi ini lebih fokus pada mekanisme perizinan dan penambangan pasir daripada pada upaya pelestarian lingkungan.

“Sampai hari ini kita belum melihat bagaimana wujud upaya pemulihan lingkungan yang digadang-gadang sebagai tujuan utama dari peraturan tersebut, justru kita disuguhi oleh aturan-aturan yang malah melancarkan proses usaha ekspor pasirnya, bukan pemulihan lingkungannya,” jelasnya.

Afdillah menegaskan regulasi ini bukan solusi bagi pemulihan lingkungan, melainkan langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite dan berisiko memperburuk krisis ekologis serta ketidakadilan sosial.

"Pemerintah harus segera mencabut peraturan ini dan fokus melindungi lautan kita, serta berhenti mengeksploitasi lautan kita secara serampangan seperti yang terjadi selama ini," kata Afdillah. 

Terbaru
Anak Abah adalah Kunci: Menilik Arah Dukungan Anies di Pilkada Jakarta 2024
polemik

Anak Abah adalah Kunci: Menilik Arah Dukungan Anies di Pilkada Jakarta 2024

Kamis, 26 September 2024 | 14:20 WIB

"Jadi saya melihat kansnya ya kalau nggak di Pramono-Rano ya di RK-Suswano berdasarkan tadi pertimbangan politis dan ideologis," kata Agung.

Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir Laut: Pulau-pulau Kecil Terancam Tenggelam polemik

Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir Laut: Pulau-pulau Kecil Terancam Tenggelam

Rabu, 25 September 2024 | 16:08 WIB

Ini sangat bermaksud mengaburkan tujuan, menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari peraturan ini, kata Parid.

Panasnya Konflik PBNU-PKB, Pansus Haji Membuka Luka Lama polemik

Panasnya Konflik PBNU-PKB, Pansus Haji Membuka Luka Lama

Rabu, 25 September 2024 | 12:17 WIB

Perseteruan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semakin memanas

Ongkos Tersembunyi di Balik Ambisi Proyek PLTU 9-10 Suralaya: Apa Kabar Janji Transisi Energi? polemik

Ongkos Tersembunyi di Balik Ambisi Proyek PLTU 9-10 Suralaya: Apa Kabar Janji Transisi Energi?

Rabu, 25 September 2024 | 11:16 WIB

Polusi partikel halus dari PLTU, seperti PM 2.5, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan ozon, berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan akut.

Kisah Kelam Septia: Curhat Soal Upah Berujung Kriminalisasi UU ITE polemik

Kisah Kelam Septia: Curhat Soal Upah Berujung Kriminalisasi UU ITE

Senin, 23 September 2024 | 16:59 WIB

Aku mikirnya semoga ini mimpi. Terus aku selalu kebangun berdoa, ya Allah, semoga besok pulang," ujar Septia.

Menguak Fakta Di Balik Kematian NK: Femisida yang Tak Cuma Sekadar Angka polemik

Menguak Fakta Di Balik Kematian NK: Femisida yang Tak Cuma Sekadar Angka

Senin, 23 September 2024 | 14:41 WIB

NK hanyalah satu dari banyak korban femisida. Namanya kini terukir dalam deretan panjang kasus femisida yang terus terjadi dan berulang di Indonesia.

Tragedi Nia dan Lunturnya Falsafah 'Adat Basandi Syarak' di Ranah Minang polemik

Tragedi Nia dan Lunturnya Falsafah 'Adat Basandi Syarak' di Ranah Minang

Senin, 23 September 2024 | 12:22 WIB

Siapa menyangka anak perempuan berusia 18 tahun itu akan pergi selamanya, lantaran dibunuh secara keji oleh residivis kasus pencabulan, Indra Septiarman.