Suara.com - Kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut semakin memperburuk kondisi lingkungan hidup. Penambangan pasir laut yang bakal dijual ke negara tetangga menyebabkan kerusakan ekosistem laut, abrasi hingga mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Pun demikian berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat pesisir imbas ekspor pasir laut.
Ekploitasi pasir laut diprediksi akan gila-gilaan setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan meneken dua peraturan baru terkait ekspor pasir laut, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang telah diterbitkan Presiden Joko Widodo.
***
PRESIDEN Joko Widodo membuat berang banyak aktivis lingkungan hidup hingga akademisi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada 15 Mei 2023. Bagaimana tidak, Jokowi membuka kembali ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun lebih dilarang karena dianggap akan membahayakan ekosistem pesisir dan laut.
Ekspor pasir dilarang pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Larangan tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Setelah era Megawati berakhir, presiden berikutnya yaitu Susulo Bambang Yudhoyono (SBY) juga masih menerapkan aturan tersebut. SBY bahkan mengesahkan Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU itu, salah satunya diatur larangan penambangan pasir.
UU ini disahkan SBY di tengah maraknya aktivitas ekspor pasir laut ilegal ke Singapura. Selain itu, Pulau Nipah dan Sebatik di wilayah Batam hampir ternggelam buntuk ekpoloitasi pasir laut di wilayah tersebut.
Meski sudah ada dampak buruk akibat penambangan pasir di masa lalu dan juga diingatkan oleh sejumlah pihak, Jokowi tak mencabut PP tersebut. Dia beralasan, yang akan dijual ke negara lain bukan lah pasir laut, melainkan sedimen.
"Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka adalah sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal," kata Jokowi di Jakarta, pada Selasa (17/9/2024).
PP itu justru ditindaklanjuti oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dengan ditandatanganinya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 pada 29 Agustus 2024 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor.
Kemudian, Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai meski PP yang dikeluarkan Jokowi menggunakan nomenkaltur ‘pengelolaan hasil sedimentasi’, tetapi intinya adalah ‘penambangan pasir laut’ untuk tujuan komersil.
“Ini sangat bermaksud mengaburkan tujuan, menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari peraturan ini,” kata Parid kepada Suara.com, Selasa (24/9).
Sejumlah negara memang diuntungkan oleh kebijakan ini. Singapura misalnya. Negeri singa itu sudah menjadi langganan impor pasir dari Indonesia sebelum adanya pelarangan pada 2002 silam. Singapura harus mengimpor pasir besar-besaran untuk menambah luas daratan mereka.
Singapura kemudian mengalihkan impor mereka ke Kamboja, Vietnam, Malaysia, Myanmar dan Filipina pasca dikeluarkannya larangan ekspor pasir di Indonesia. Berdasarkan catatan Walhi, Singapura telah mengimpor 242,7 juta ton pasir laut dari sejumlah negara hanya dalam kurun waktu setahun, yakni 2016-2017. Ini tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.
Dengan diperbolehkan lagi ekspor pasir di Indonesia, ini menjadi angin segar bagi Singapura. “Memang Singapura itu pasti butuh pasir. Ketimbang sekarang ini mereka beli dari Vietnam atau dari mana yang jarak tempuhnya bisa jauh gitu. Jadi mereka akan lebih efisien kalau beli dari Indonesia lewat Pulau Nipah dan lain sebagainya itu,” kata Parid.
Kebijakan dikembalikannya ekspor pasir laut memang banyak membuat pihak geleng kepala. Pasalnya, kebijakan ini hanya menguntungkan negara lain, bukan Indonesia sendiri. Keuntungan dari hasil ekspor pasir laut tidak sebanding dengan kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Berdasarkan analisis Kusumatanto dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB) tahun 2003, biaya yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk memulihkan kerusakan lingkungan imbas pengerukan pasir laut mencapai triliunan. Sebelum dilarang, eksploitasi pasir laut salah satunya dilakukan di Kepulauan Riau (Kepri).
Kusumatanto menghitung, biaya untuk pemulihan lingkungan dari setiap 1 meter kubik setara dengan 5% dari harga yang diperbolehkan dari penjualan pasir laut saat itu. Dengan kata lain, jika biaya produksi Rp1, maka diperlukan Rp5 untuk biaya pemulihan ekosistem laut dan lingkungan.
Dalam konteks Kepri, Kusumatanto menghitung akibat penambangan pasir seluas 344,8 juta m3 pada 2017 yakni sebesar SGD$ 129,3 juta atau setara dengan Rp 1,507 triliun per tahun. Dia menekankan total kerugian itu hanya di Kepri, belum di wilayah lain.
Sederet dampak dan kerugian
Dari segi manapun sulit melihat keuntungan dari kebijakan ekspor pasir laut. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, awalnya rencana penambangan pasir laut di Kepri digunakan untuk mencegah pendangkalan laut, tetapi kemudian menjadi komoditas ekonomi bagi Pemerintah Singapura. Hal itu pula yang menjadi salah satu alasan pelarangan ekspor pada era Megawati.
Di sisi lain kerusakan lingkungan terus terjadi. Dalam laporan Indonesian Conference of Maritime (Incoma) Universitas Pendidikan Indonesia menyebutkan bahwa penambangan pasir laut menyebabkan kerusakan fisik pada terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove.
Beberapa pulau di Kepulauan Riau seperti Karimun dan Pulau Lingga telah mengalami kerusakan yang parah. Hal ini disebabkan karena abrasi dan perubahan topografi perairan laut.
“Bahkan berdampak pada hilangnya habitat ikan dan biota laut lainnya,” kata Susan.
Susan mengungkapkan beberapa contoh dampak lingkungan yang paling nyata akibat pertambangan pasir laut lainnya dapat dilihat di Perairan Spermonde Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan.
Dari laporan Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde, dampak yang dirasakan oleh masyarakat Pulau Kodingareng adalah aktivitas penambangan telah membuat air laut menjadi keruh. Hal ini menyebabkan nelayan kecil pendapatannya menurun.
Selain itu, ketinggian dan arus ombak di sekitar perairan Copong Lompo berubah drastis. Semenjak adanya aktivitas tambang pasir laut, ombak semakin meninggi. Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitaran satu meter tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter.
“Nelayan Kodingareng kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jedah, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan di perairan tersebut,” ujarnya.
Susan menyampaikan perubahan arus ombak di sekitaran perairan Copong Lompo telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut.
Penambangan pasir di mana pun membahayakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Korea Selatan, terdapat peningkatan erosi pantai usai adanya penambangan pasir laut. Lalu, berkurangnya ikan dan penurunan kualitas air laut. Jika dikonversi ke dalam uang, biaya yang harus Korsel keluarkan akibat penambahan adalah 24,3 juta m3 pasir laut dari ZEE laut Korsel.
Susan mengatakan jika tetap dilanjutkan dan dimasifkan implementasinya, maka pulau-pulau kecil juga akan berpotensi untuk tenggelam dan bahkan hilang. Pengerukan pasir laut akan mempercepat potensi bencana tersebut.
Berdasarkan catatan Walhi, saat ini sudah ada beberapa desa di pesisir Demak, Jawa Tengah yang tenggelam. Misalnya, Desa Tambaksari yang tenggelam sejak 1997. Kemudian, Desa Rejosari Senik pada 2000, Desa Bedono pada 2005 dan Desa Mondoliko yang mulai tenggelam pada 2010.
Dalam lingkup yang lebih luas lagi, terdapat 12.857 desa tepi laut dan 71.074 desa bukan tepi laut yang terancam tenggelam.
Komitmen Jokowi dipertanyakan
Komitmen Presiden Jokowi terhadap lingkungan patut dipertanyakan. Ditambah dengan adanya kebijakan ekspor pasir ini.
Susan sangsi dengan dalih pemerintah mengekspor hasil sedimentasi untuk memulihkan ekosistem laut yang terdampak sedimentasi.
Dia menjelaskan dalam PP No. 26 Tahun 2023 disebutkan bahwa hasil sedimentasi yang dimanfaatkan ada dia jenis, yaitu pasir laut dan lumpur. Akan tetapi, jika dianalisis dari jumlah kata, kata “pasir laut” disebutkan 25 kali, sedangkan “lumpur” hanya empat kali.
“Ini menandakan bahwa intensitas pembahasan di PP tersebut hanya mengarah pada pemanfaatan atau eksploitasi pasir laut,” kata Susan.
Jumlah kata “pemanfaatan” disebutkan 55 kali, sedangkan kata “perlindungan” hanya disebutkan dua kali, dan kata “mulih” hanya disebutkan satu kali.
“Ini membuktikan bahwa intensitas pembahasan dalam PP No. 26 Tahun 2023 hanya berfokus pada pemanfaatan atau eksploitasi pasir laut, akan tetapi dibungkus dengan dalih perlindungan atau pemulihan ekosistem laut,” terangnya.
Peneliti Hukum Internasional Hikmahanto Juwana kepada Suara.com mengatakan pemerintah Indonesia harus berhati-hati atas kebijakan yang diambil ini. Selain kerusakan lingkungan, kebijakan ini juga bisa memengaruhi citra Indonesia di mata dunia.
Kebijakan ekspor pasir mungkin membuat relasi Indonesia dan Singapura mendekat, tetapi dalam waktu bersamaan Indonesia akan dicap tidak mempunyai komitmen atas lingkungan hidup.
“Di mata negara lain, kita seolah-olah tidak memperhatikan lingkungan, lebih memperhatikan masalah keuntungan ekonomi,” kata Hikmahanto.
Berdasarkan kajian dari berbagai sumber, penambangan pasir laut dapat meningkatkan laju emisi karbon hingga 1,7 kilo ton karbon dioksida per kilometer persegi. Hal ini jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Indonesia telah berkomitmen mengatasi perubahan iklim sejak Konferensi Para Pihak lintas negara (COP) ke-15 pada tahun 2009 dengan janji Intended Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen (dengan upaya sendiri) dan sebesar 41 persen (jika menerima bantuan internasional) pada 2020.
Kemudian, pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan dokumen First NDC tahun 2016 dengan target penurunan emisi GRK 29 persen dengan upaya sendiri (CM1) dan sampai dengan 41 persen dengan bantuan internasional (CM2).
Dokumen NDC tersebut terus dimutakhirkan. Terbaru, dokumen Enhanced NDC (ENDC) diperbarui dengan peningkatan target penurunan emisi 31,89 persen untuk CM1 dan 43,2 persen untuk CM2.
Kontributor : Rosmanah Ningsih
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.