Suara.com - Selalu ada kejutan di tikungan terakhir. Begitulah konstelasi politik Indonesia dalam beberapa waktu belakangan.
Setelah dikungkung, ditelikung, dan ditinggalkan sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil membalikkan keadaan.
Sebelumnya, hampir semua partai besar tampak ogah menjalin koalisi dengan PDIP. Mereka meninggalkan partai berlambang banteng itu sendirian di berbagai gelanggang strategis, terutama di Jakarta.
Di ibukota, PDIP berada nyaris kepayahan mengajukan calon kepala daerah. Ini lantaran jumlah kursinya di DPRD tak cukup untuk mencalonkan sendiri. Di sisi lain, Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang pada Pilpres lalu mendukung Prabowo-Gibran, terus menguat.
Setelah PKS, PKB, dan NasDem merapat, koalisi ini berubah menjadi KIM Plus. Untuk Pilkada Jakarta, KIM Plus menjatuhkan pilihan mengusung Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat, yang berpasangan dengan Suswono dari PKS.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri terang-terangan mengakui keterasingan partainya. Pengakuan itu keluar dari mulut Megawati dalam pengumuman calon kepala daerah yang diusung PDIP.
"Saya suka ngomong kepada diri saya sendiri 'kasihan deh PDI Perjuangan, dikungkung, ditelikung, ditinggal sendirian', wah yang lain KIM Plus," kata presiden kelima tersebut.
Putusan MK dan Perlawanan DPR
Tak lama, situasi berbalik. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 60/PUU-XXII/2024 seketika mengubah lanskap politik Indonesia menjelang Pilkada. Putusan itu merupakan hasil gugatan Undang-Undang Pilkada yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, mengubah peta permainan untuk pencalonan kepala daerah.
Pasal 40 ayat 3 Undang-Undang Pilkada, yang mengharuskan calon kepala daerah didukung partai atau gabungan partai dengan 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD, dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Dalam keputusannya, MK memberikan ruang bagi partai tanpa kursi di DPR untuk tetap mencalonkan pasangan kepala daerah, asalkan memenuhi persentase berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Putusan ini menjadi angin segar bagi PDIP, yang semula terisolasi dan berisiko tidak dapat mengusung calon di Jakarta.
Namun, bukan hanya PDIP yang kena imbas. Putusan nomor 70/PUU-XXII/2024 menetapkan syarat usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan oleh KPU.
Putusan ini menutup pintu bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang berencana maju sebagai calon wakil gubernur Jawa Tengah.
Sehari setelah putusan MK dibacakan, pada 21 Agustus, DPR bergerak cepat. Mereka tiba-tiba menyatakan akan merevisi Undang-Undang Pilkada, berupaya mengembalikan ambang batas pencalonan seperti sebelumnya.
Upaya ini tampaknya menjadi pukulan baru bagi PDIP, yang kembali terancam tidak dapat mencalonkan kepala daerahnya secara mandiri di Jakarta jika revisi disahkan.
Namun, gelombang protes pecah. Di berbagai penjuru negeri, masyarakat, aktivis, mahasiswa, hingga akademisi turun ke jalan. Mereka menentang pengesahan revisi UU Pilkada yang akan dilakukan DPR.
Mereka melihat revisi ini sebagai upaya memperkuat dinasti politik keluarga Jokowi. Di tengah tekanan itu, rencana pengesahan revisi UU Pilkada akhirnya batal.
Keputusan DPR dan KPU yang kemudian mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) untuk mengakomodir dua putusan MK, kembali membuka peluang bagi PDIP.
Partai yang semula terpojok kini mendapat kesempatan kedua untuk mencalonkan kepala daerahnya secara mandiri dalam Pilkada serentak di berbagai wilayah.
PDIP Partai Perjuangan
Pengamat politik, sekaligus pendiri lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio menilai isolasi politik yang dialami oleh PDIP tak lepas dari konflik antara Jokowi dengan PDIP.
"Dan sekarang PDIP versus every party semuanya, jadi melawan PDI kan," kata Hendri kepada Suara.com, Selasa (27/8/2024).
Jelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di KPU, sebuah manuver politik terjadi. Presiden Joko Widodo, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengambil langkah mengejutkan.
Alih-alih mendukung pasangan yang telah disepakati oleh partainya, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Jokowi justru mengusung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto.
Langkah ini menggambarkan keretakan dalam kesepakatan yang sudah terjalin antara Jokowi dan PDIP. Hal itu juga membuka babak baru peta politik nasional.
Dugaan bahwa Jokowi sedang menjalankan agenda pribadinya semakin diperkuat oleh pandangan Yohanes Sulaiman, seorang dosen ilmu pemerintahan dari Universitas Jenderal Achmad Yani.
Dalam artikel di The Conversation berjudul "Panel Ahli: Revisi UU Pilkada oleh DPR Melanggar Konstitusi, Berisiko Cacat Hukum," Yohanes mengungkapkan bahwa upaya DPR untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tampaknya terkait erat dengan perseteruan antara PDIP dan Jokowi. Menurut Yohanes, 12 partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, adalah alat bagi Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya di tengah ketidakpastian politik ini.
Namun, di tengah isolasi politik yang melingkupi PDIP, ada satu nama yang tetap menonjol: partai berlambang banteng itu sendiri.
Meski terkepung, PDIP akhirnya berhasil keluar dari keterpurukan dan kembali ke panggung politik, meski melalui jalan terjal.
"DNA-nya PDI Perjuangan itu, itu perjuangan," kata Hendri kepada Suara.com, Selasa (27/8/2024).
Hendri menyebut, PDIP memiliki karakter unik yang kerap muncul ke permukaan ketika berada di bawah tekanan politik. Partai ini justru semakin kuat dan berdaya ketika harus menghadapi hampir seluruh partai atau saat terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan.
Namun, saat berada di tampuk kekuasaan dalam satu dekade terakhir, terutama saat hubungannya dengan Presiden Joko Widodo masih harmonis, PDIP terlihat sedikit kikuk, kehilangan kecekatan yang biasanya mereka miliki saat berada di luar pemerintahan.
Meski demikian, sejarah isolasi politik bukan hal baru bagi PDIP. Saat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin sebagai presiden pada periode 2004-2014, PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri memilih tetap berada di luar pemerintahan.
Selama periode itu, partai berlambang banteng ini konsisten menjadi oposisi dari setiap kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY.
Dalam disertasinya yang berjudul "Oposisi dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman PDIP di Era Pemerintahan SBY-JK," Tusmoyo dari Universitas Indonesia menyoroti peran PDIP sebagai oposisi yang efektif.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa oposisi yang kuat, seperti yang dilakukan PDIP, mampu mendorong terciptanya kebijakan yang lebih akuntabel melalui mekanisme check and balance.
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa PDIP memiliki kapasitas untuk berfungsi sebagai oposisi yang efektif, mengkritik kebijakan pemerintah dengan dasar ideologi yang kuat.
Kini, menjelang Pilkada 2024, PDIP kembali menunjukkan kemampuannya untuk keluar dari isolasi politik. Menurut pengamat politik Hendri Satrio, ini tidak lepas dari kemarahan Prabowo Subianto terkait isu revisi Undang-Undang Pilkada.
Setelah gelombang unjuk rasa besar-besaran yang menolak revisi tersebut, beredar kabar bahwa Prabowo memarahi para kadernya di DPR. Ini karena mereka ikut terlibat dalam upaya mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi melalui revisi undang-undang.
Isu tersebut, menurut Hendri, membuka jalan bagi PDIP untuk kembali menata langkah di tengah konstelasi peta politik Indonesia.
Bahkan, dalam pengumuman gelombang ketiga calon kepala daerah PDIP Megawati secara tegas ingin memastikan agar para pihak yang maju lewat PDIP tak hanya sekadar mendompleng.
"Saya pusing. Karena maunya, mau ikut jadi PDIP, atau mau dompleng aja gitu loh. Saya nggak mau lagi. Ya kalau konsisten aja. Ya kalau mau masuk PDIP ya jadi dengan namanya lahir batin tuh ya rohnya, roh PDIP," kata Mega.
"Teror ini merupakan bentuk intimidasi dan juga ancaman terhadap tugas-tugas jurnalisme Jubi," kata Dimnas.
"Sekarang upaya pelemahan demokrasi ini semakin eksplisit dan enggak malu-malu lagi," kata Nenden.
Penyidik Kejaksaan Agung kaget bukan kepalang saat menggeledah rumah mewah Zarof Ricar
"Jadi secara umum memang kami itu sedang galau dan gelisah soal posisi BRIN itu mau di kemanakan," kata sumber Suara.com di lingkungan BRIN.
"Kenapa perempuan masih susah masuk di kabinet, karena persoalan di kabinet ini persoalan politik, sangat erat dengan lobi-lobi politik," kata Kurniawati.
Cerita warga di sekitar proyek hilirisasi nikel yang bertahan hidup dengan risiko kematian.
Sejauh ini, tak ada jaminan ormas keagamaan mampu lebih baik mengelola pertambangan di Indonesia.