Korban Pemerkosaan Dipaksa Lahirkan Janin Tak Diinginkan: Negara Lepas Tangan

Korban Pemerkosaan Dipaksa Lahirkan Janin Tak Diinginkan: Negara Lepas Tangan


Suara.com - ANCAMAN kriminalisasi, tekanan psikologis, mental dan sosial hingga ancaman kesehatan yang berujung pada kematian masih menjadi momok bagi para korban pemerkosaan. Beberapa regulasi yang mengatur aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual pun belum bisa memecahkan masalah tersebut hingga kini.   

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan yang baru diterbitkan Presiden juga menyisakan pekerjaan rumah tersendiri. Diperlukan realisasi konkret dari kementerian dan lembaga terkait selaku pemangku kepentingan untuk menjamin aborsi aman bagi korban perkosaan.

Regulasi yang menjamin aborsi aman bagi perempuan korban kekerasan seksual sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kemudian PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan atau Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. 

Namun, sejak 15 tahun UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berlaku dan Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 itu diterbitkan, Kementerian Kesehatan hingga kini tak kunjung menyiapkan fasilitas kesehatan atau Faskes penyedia layanan aborsi aman. Atas kondisi tersebut akhirnya membuat perempuan termasuk termasuk anak korban kekerasan seksual terpaksa menerima penderitaan panjang karena harus melanjutkan kehamilan tidak diinginkan atau KTD.

Dikriminalisasi

Kisah pilu dialami seorang anak perempuan di Batanghari, Jambi. WA yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini hamil setelah diperkosa kakak kandungnya yang juga masih remaja. 

Kekerasan seksual anak tersebut terungkap setelah ditemukan jasad bayi yang masih berumur 5 bulan di sebuah kebun sawit pada Juni 2018. Kasus yang membuat heboh masyarakat itu diproses oleh kepolisian.    

Pada Juli 2018, hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian memvonis WA bersalah karena melanggar pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak di bawah umur. [SuaraJogja.com / Ema Rohimah]

Pasal itu menyatakan, setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali ada indikasi darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Tata cara aborsi itu di Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi.

Pasal 31 Ayat 1 berbunyi; tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Sedangkan, Pasal 31 Ayat 2 menjelaskan; tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Karena dasar itu, hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian kemudian menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan pelatihan kerja 3 bulan kepada WA. Lembaga bantuan hukum dan sejumlah aktivis yang mendampingi WA tak terima. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi. 

Pada 27 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi Jambi dalam putusannya tetap menyatakan WA bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana aborsi. Namun hakim membebaskan segala tuntutan hukum terhadap WA atas pertimbangan, perbuatan aborsi tersebut dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Jaksa penuntut umum (JPU) yang memiliki pandangan berbeda dengan hakim sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Mereka ngotot WA harus tetap dihukum 6 bulan penjara dan pelatihan kerja 3 bulan karena telah melakukan tindak pidana aborsi sebagaimana tuntutannya. Walakin akhirnya permohonan kasasi JPU tersebut ditolak hakim tunggal MA, Sumardjiatmo pada 25 Juni 2019.

Dipaksa Lanjutkan Kehamilan

Kisah pahit lainnya datang dari Mawar (12) --bukan nama sebenarnya--. Siswi Sekolah Dasar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur itu hamil setelah diperkosa tetangganya, MA (55). Namun ia dipaksa melanjutkan kehamilan tidak diinginkan tersebut karena tak dapat layanan aborsi aman.

Kasus perkosaan ini awalnya terungkap setelah Mawar mengeluhkan sakit pada bagian intim kewanitaannya kepada orang tua. Berdasar hasil pemeriksaan medis, Mawar saat itu dinyatakan hamil dengan kandungan yang diperkirakan sudah memasuki usia enam minggu. 

Ilustrasi kekerasan seksual, pelecehan seksual - (Suara.com/Ema Rohimah)
Ilustrasi kekerasan seksual - (Suara.com/Ema Rohimah)

Mawar mengaku telah diperkosa MA sebanyak tiga kali sejak April 2021. Namun selama itu ia tak berani mengadu karena diancam pelaku. Keluarga akhirnya melaporkan kasus ini ke Polres Jombang pada Juli 2021. 

Orang tua Mawar sempat meminta surat keterangan dari Polres Jombang bahwa anaknya merupakan korban perkosaan. Surat ini dibutuhkan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan layanan aborsi aman di fasilitas kesehatan.

Pertimbangan orang tua Mawar saat itu ingin menggugurkan kandungan anaknya karena faktor kesehatan dan mental anaknya yang masih berusia 12 tahun. Namun, permohonan tersebut ditolak pihak kepolisian.

"Akhirnya mau nggak mau korban dan keluarganya dipaksa untuk memilih melanjutkan kehamilannya," kata Novita Sari Novelis eks staf Women's Crisis Center (WCC) Jombang selaku pendamping Mawar kepada Suara.com, Kamis (15/8/2024).

Pihak kepolisian saat itu berdalih tidak memberikan izin Mawar melakukan aborsi karena usai kandungannya telah lebih dari 40 hari. Sehingga berdasar hasil rapat bersama Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Jombang dan RSUD Dr Soetomo tindakan aborsi tersebut tidak bisa dilakukan karena terbentur aturan dan juga dikhawatirkan akan mengakibatkan pendarahan. 

Padahal, kata Novita, usai kehamilan korban kekerasan seksual kerap melampaui batas aturan 40 hari tersebut akibat tidak adanya petunjuk yang jelas dari pemerintah terkait fasilitas kesehatan mana saja yang menyediakan layanan aborsi aman. Selain juga karena persoalan buruknya koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait yang acap kali membuat korban 'dipingpong' saat meminta petunjuk. 

Atas kerumitan masalah tersebut, Novita yang kini selaku Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Korban Kekerasan Seksual itu mendorong pemerintah tidak setengah-setengah dalam menjamin hak-hak para korban perkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi aman. Selain didesak segera menujuk fasilitas kesehatan, ia juga meminta para petugas medis dan aparat penegak hukum yang menangani perkara kekerasan seksual mendapat pemahaman yang lebih berperspektif kepada korban. 

"Jadi korban tidak merasa dilempar atau dikecewakan dalam artian menjadi korban kembali atas situasi negara yang belum beres ini," ujar Novita. 

Budaya Patriarki

Kehamilan akibat kekerasan seksual kerap dipandang sebagai aib. Dalam beberapa kasus korban bahkan dipaksa menikah dengan pelaku atas dalih demi menjaga 'kehormatan' keluarga. 

Anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor menilai hal tersebut menunjukkan masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat. Selain kasus korban kekerasan seksual yang dipaksa menikah dengan pelaku, banyak juga korban kekerasan seksual yang hamil justru dikeluarkan dari sekolah hingga diusir atau dikucilkan dari lingkungan masyarakat. 

"Situasi itu karena budaya patriarki," kata Maria kepada Suara.com baru-baru ini.

Stigma buruk terhadap tindakan aborsi, kata Maria, juga masih melekat di masyarakat. Padahal aborsi tersebut merupakan salah satu tindakan medis yang bisa dilakukan atas pengecualian karena kedaruratan medis dan korban kekerasan seksual sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Sementara, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkap sejak 2018 hingga 2023 pihaknya telah menerima 103 laporan korban perkosaan berakibat kehamilan. Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman. 

Padahal menurut Yentriyani, layanan aborsi aman merupakan kebutuhan nyata para korban kekerasan seksual. Layanan ini dimaksudkan untuk mengurangi ancaman gangguan kesehatan mental pada korban akibat tekanan dari adanya kehamilan tidak diinginkan. Selain untuk mencegah dampak psikologis anak yang dikandung dalam situasi penolakan dan tekanan pada korban.

Ketika layanan tersebut tidak tersedia, lanjut Yentriyani, korban berisiko menempuh praktik aborsi tidak aman yang bisa berakibat fatal pada dirinya. Baik secara medis ataupun hukum. Kondisi ini yang kemudian menjadikan korban kekerasan seksual semakin terpuruk seperti yang dialami WA di Jambi. 

Di sisi lain pemaksaan kehamilan akibat ketidaktersediaan layanan aborsi aman seperti yang dialami Mawar di Jombang menurutnya dapat dimaknai sebagai tindak penyiksaan terhadap korban. Sebab korban akan mengalami penderitaan yang luar biasa secara fisik dan psikis.

"Jaminan hukum untuk layanan aborsi aman bagi korban tindak pidana kekerasan seksual diharapkan pula dapat menurunkan angka kematian ibu atau AKI akibat aborsi," ujar Yentriyani. 

Yentriyani menambahkan, Data Sensus 2020 menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) masih di 189 per 100.000 kelahiran hidup, jauh dari target 70 per 100.000 kelahiran hidup dalam rencana pembangunan berkelanjutan. Pada 2020, World Health Organization (WHO) memprediksi aborsi tidak aman berkontribusi sebanyak 4,7 persen - 13,2 persen terhadap AKI.