Suara.com - Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan pada 26 Juli 2024. Dalam regulasi ini turut mengatur soal aborsi aman bagi korban perkosaan.
Aborsi aman bagi korban perkosaan sebenarnya telah diatur dalam sejumlah regulasi. Beberapa di antaranya pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2016.
Meski sudah memiliki sejumlah payung hukum, korban pemeroksaan seringkali harus melalui jalan kusut hanya untuk mendapatkan aborsi aman, seperti diamanatkan Undang-Undang. Mengapa demikian?
***
Melati harusnya hanya perlu memikirkan pelajaran dan bermain dengan teman sebaya di usianya yang baru 12 tahun. Namun, hidup membawanya melewati jalan kusut penuh kebuntuan hanya demi mendapatkan keadilan atas tubuhnya.
Saat itu, ia masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Tapi, ia harus dihadapkan fakta pelik yang tak pernah ada di dalam bayangannya. Ia hamil.
Melati jelas tidak pernah siap menerima kenyataan tubuhnya direnggut secara paksa. Melati diperkosa. Pelakunya ialah tetengannya sendiri. Ia seorang pria berusia 56 tahun.
Melati dimanipulasi. Ia diming-imingi uang lelaki tua itu hingga akhirnya diperkosa. Melati menolak diam.
Bersama orang tuanya ia memberanikan diri melaporkan kejadian ini ke Polres Jombang. Namun, bukan keadilan yang Melati dapatkan. Mereka justru mendapatkan kekecewaan.
"Kami tidak ada pengalaman sehingga tidak bisa memberikan rekomendasi," ujar petugas polisi.
Kalimat itu seperti palu yang meremukkan harapan untuk mendapatkan keadilan. Seolah menolak 'kalah', Melati mengayunkan langkahnya ke Women Crisis Center Jombang.
Secercah harapan muncul. WCC Jombang menyambut Melati dan orang tuanya dengan baik. Namun, jalan menuju keadilan itu tidak mudah.
Usia kehamilan Melati hampir mencapai batas. Di tahun 2021, batas kehamilan yang diatur maksimal masih enam minggu. Mencari tenaga kesehatan dengan perspektif yang berpihak pada korban di daerah tersebut bukanlah perkara mudah.
Dari satu puskesmas ke puskesmas lain mereka datangi. Namun mereka hanya menemui jalan buntu. Semuanya enggan memberikan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Bahkan, puskesmas di tempat tinggal Melati pun ogah buat membantu.
Secercah harapan kembali muncul ketika seorang dokter mitra WCC Jombang bersedia merespons. Melati dan pendampingnya dirujuk ke RS Dr. Soetomo.
Mereka berharap agar keinginan Melati dan keluarganya akan didengar. Namun, semua itu harus kembali menemui jalan buntu.
Mereka diminta mendapatkan rekomendasi dari Polres yang menyatakan bahwa Melati adalah korban pemerkosaan.
Mereka harus membuktikan bahwa seorang anak yang dijebak dengan tipu daya dan diiming-imingi uang jajan tidak bersalah atas apa yang menimpanya. Pertanyaan menyakitkan pun muncul: apakah ini benar pemerkosaan atau suka sama suka?
Kekecewaan yang mereka rasakan semakin mendalam ketika RS Dr. Soetomo menyampaikan hasil pemeriksaan.
"Janinnya sehat," kata mereka.
Tubuh Melati yang bongsor dianggap sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja, sehat, dan tidak perlu dilakukan aborsi. Padahal, keinginan Melati sederhana: Ia hanya ingin kembali ke sekolah dan bermain lagi dengan teman-temannya.
"Mereka khawatir, ketika dipenuhi hak atas abrosi aman dikhawatirkan ada kegaduhan di masyarakat," ujar Pendamping Melati dari WCC Jombang, Anna Abdillah.
Korban Menunggu Ketidakpastian
Waktu berselang. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan pada 26 Juli 2024.
Salah satu beleidnya mengatur soal aborsi aman bagi korban pemerkosaan. Namun, hingga kini korban pemerkosaan masih sulit untuk mendapatkan aborsi aman.
Padahal Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan telah mengamatkan untuk menunjuk faskes yang dapat melayani aborsi aman.
Kurangnya fasilitas untuk aborsi aman berdampak serius pada korban perkosaan. Komnas Perempuan mencatat, dari 2018 hingga 2023, ada 103 korban perkosaan yang hamil, hampir semuanya tidak bisa mengakses aborsi aman. Akibatnya, mereka terpaksa menjalani aborsi tidak aman yang mengancam nyawa.
Kehamilan akibat perkosaan berisiko tinggi, terutama bagi korban anak yang secara fisik dan mental belum siap hamil, melahirkan, apalagi merawat bayi. ICJR mencatat, pada Januari-Maret 2024, terdapat 12 korban anak yang hamil akibat perkosaan.
Kondisi ini juga berdampak pada perkembangan bayi yang dikandung, karena kehadirannya berasal dari kekerasan seksual. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi , mengakui belum ada fasilitas aborsi aman untuk korban perkosaan.
"Saat ini belum ditunjuk karena masih belum ditetapkan di peraturan menteri kesehatan ," kata Nadia kepada Suara.com pada Selasa (13/8/2024).
Nadia menyebut, saat ini Kemenkes sedang menyusun Permenkes terkait teknis pelaksanaan, rujukan faskes, dan pelatihan tenaga kesehatan untuk aborsi aman. Namun, Nadia tidak menjelaskan kendala yang dialami sejak 2009, ketika aturan aborsi untuk korban perkosaan mulai berlaku.
Sebelumnya, Kemenkes menjanjikan aturan teknis dan faskes aborsi aman tersedia pada 2023, tetapi hingga kini belum terealisasi.
"Ditunggu saja," ujar Nadia.
Tak Ada Keberpihakan Kepolisian Pada Korban
Persoalan ketersedian aborsi aman bagi korban perkosaan bukan hanya pada ketersediaan layanan, tetapi juga terkait proses di kepolisian. Dalam Pasal 118 huruf b PP 28 tahun 2024 disebutkan untuk melakukan aborsi aman bagi korban perkosaan harus dibuktikan dengan keterangan penyidik yang menunjukkannya terjadinya dugaan kekerasan seksual.
Kewenangan kepolisian untuk memberikan surat keterangan bagi korban untuk mengakses layanan aborsi aman, sebelumnya sudah termuat dalam PP Nomor 61 tahun 2014 dan Permenkes Nomor 3 tahun 2016.
Namun pada praktiknya, menurut peneliti ICJR, Bahaluddin Surya, polisi belum memiliki prosedur yang jelas di internalnya untuk dijadikan dasar mengeluarkan surat keterangan bagi korban. Hal itu menurutnya juga tak bisa dipisahkan dari Kemenkes yang belum menunjuk faskes yang dapat dijadikan rujukan.
"Tapi sampai ini belum ada fasilitas kesehatan yang ditunjukkan oleh Kemenkes. Nah, sebenarnya sampai saat ini enggak ada. Dan kepolisian juga bingung juga kan mau merujuk kemana," kata Surya saat berbincang dengan Suara.com di Kantor ICJR, Jakarta pada Selasa (13/8/2024).
Bunyi pasal Pasal 118 huruf b PP Nomor 28 tahun 2024 juga dipersoalkan ICJR, karena membatasi pihak yang dapat memberikan surat rekomendasi aborsi bagi korban. Pada Permenkes Nomor 3 tahun 2016, kewenangannya itu sebelumnya dapat diberikan oleh penyidik, psikolog, dan/atau ahli lainnya.
Karenanya ICJR mendesak, agar Kewenangan untuk memberikan keterangan dugaan aborsi perlu dipertimbangkan untuk tidak hanya diberikan kepada kepolisian, namun juga lembaga pendamping korban.
Persoalan lainnya, perspektif kepolisian yang harus berorientasi kepada korban. Dalam proses penyelidikan hingga penyidikan di kepolisian setidaknya membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal itu tentunya akan berdampak terhadap penerbitan surat rekomendasi keterangan dari kepolisian.
Bersamaan dengan itu korban harus berlomba dengan usia kandungannya, karena batasan sesuai pada Pasal 463 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) dan Pasal 60 UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan aborsi aman hanya dapat dilakukan sampai usia kehamilan 14 minggu.
Kasus itu seperti yang dialami oleh Melati di tahun 2021. Pihak kepolisian setempat menolak permohonan aborsi korban, pada usia kehamilannya belum sampai pada usia 8 minggu.
Oleh karenanya ICJR mendesak agar Polri memiliki terobosan baru agar tidak menghambat proses aborsi aman bagi korban perkosaan. Polri dapat merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS dalam membuat prosedur pemberian rekomendasi aborsi aman bagi korban perkosaan. Hal itu juga berlaku dalam proses pemberian kontrasepsi darurat kepada korban perkosaan untuk mencegah kehamilan terjadi.
Perdebatan di Kalangan Dokter
Ikatan Dokter Indonesia atau IDI minta dilibatkan dalam proses penyusun Permenkes terkait teknis pelaksanaan, faskes yang jadi rujukan, dan pelatihan bagi tenaga kesehatan terkait aborsi aman bagi korban perkosaan. Hal itu disampaikan Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi Pengurus Besar IDI, Ari Kusuma. Menurutnya pembahasan aborsi aman bukan hanya perkara medis, tapi juga persoalan sosial.
"Jadi maka itu perlu adanya regulasi yang jelas. Siapa yang berkenan, fasilitasnya juga standar. Bahkan ini diperlukan adalah kolaborasi semua pihak. Ini penting sekali, kolaborasi semua pihak, Artinya bukan hanya IDI saja mungkin yang lain juga," kata Ari kepada Suara.com, Kamis (15/8/2024).
Keterlibatan IDI sebagai organisasi profesi dokter, menurutnya, dapat memberikan masukan kepada Kemenkes soal peraturan yang akan diterbitkan. Apalagi, dia tak menampik, di antara pada dokter masih terdapat perdebatan dari sisi norma agama, sosial, dan sumpah dokter soal aborsi.
"Di mana sumpah dokter ini menyatakan bahwa, 'saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari pembuahan. Ini penting sekali, (masih terkait sumpah ) 'dan saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan. ini penting juga ya," jelas Ari.
Soal usia kehamilan terkait aborsi aman, turut menjadi sorotan IDI. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP atau KUHP yang baru disebutkan korban perkosaan atau kedaruratan medis, usia kandungan yang dapat diaborsi sampai dengan 14 minggu.
Sementara berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI pada 205 membolehkan aborsi dalam kondisi kedaruratan dan bagi korban perkosaan, usia kandungan sampai dengan 40 hari.
Ari lantas mempertanyakan hal tersebut. Menurutnya semakin tua usia kandungan untuk diaborsi semakin besar potensi dampak gangguan terhadap kesehatan pasien.
"Risiko pendarahan, risiko masalah-masalah lain, infeksi segala macam akan makin besar. Dan yang kedua kita harus ingat juga, bahwa kondisi ibu yang mengalami kehamilan di atas 3 bulan, itu pasti akan beda dengan kondisi mental para ibu-ibu yang hamil-hamil muda," katanya.
"Jadi sangat berisiko. Jadi ini juga yang membuat teman-teman dokter adanya suatu perbedaan dalam hal pandangan-pandangan mereka," sambungnya.
Di sisi lain, IDI juga berharap mendapatkan perlindungan hukum bagi para dokter yang ditugaskan untuk memberikan layanan aborsi aman bagi korban perkosaan. Mengingat potensi hukum yang dapat menjerat para dokter. Hal itu menurutnya terjadi dalam beberapa kasus.
"Karena niat baik, menolong, tapi tetap dianggap melanggar. Ya, walaupun itu mungkin karena Izin tempatnya tidak pas, wewenangnya belum ada. Atau memang ada tidak melakukan yang safe abortion," jelasnya.
Atas hal itu, Ari berharap IDI dilibatkan dan juga dari pihak penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan guna memberikan perlindungan kepada mereka yang berprofesi sebagai dokter.
Koordinasi Semua Pihak
Komnas Perempuan turut mengamini pentingnya koordinasi antar semua pihak dalam ketersedian layanan aborsi aman bagi korban perkosaan. Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati menyebut Polri, Kemenkes, dokter, pihak faskes atau rumah sakit yang didalamnya terdapat tim pertimbangan yang sudah harus memiliki pemahaman yang sama yakni berorientasi kepada korban.
Retty membayangkan saat korban perkosaan akan mengakses aborsi aman, kepolisian, dokter, dan faskes sudah saling berkoordinasi dan terhubung satu sama lain. Sehingga korban tidak lagi 'diping-pong' ke sana ke mari.
"Koordinasi ini seharusnya sudah ada. Mestinya itu sama sudah ada di UU TPKS. Tapi tidak clear gitu. Tapi sebetulnya yang diperlukan itu koordinasi. Koordinasi itu kan kata-kata yang sangat indah ya," kata Retty saat ditemui Suara.com di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta.
Hal pentingnya lainnya, adalah pendampingan bagi korban yang akan mengakses layanan aborsi aman. Menurutnya pendampingan saat korban akan memilih, memutuskan aborsi hingga setelahnya, harus terlaksana dengan baik. Pendampingan itu secara psikologis dan kesehatan fisik dari para dokter serta psikolog.
Pendampingan itu juga harus tetap berjalan, kata Retty, saat korban memutuskan tidak melakukan aborsi. Ditegaskannya, apapun pilihan korban harus tetap dihargai dan dijamin. Korban harus tetap mendapatkan pendampingan dari dokter dan psikolog selama masa kehamilan hingga melahirkan. Kemudian pemerintah juga harus turut memfasilitasi ketika korban memutuskan untuk tidak merawat anak yang dilahirkan.
Selain itu, pembiayaan aborsi atau proses kehamilan hingga melahirkan harus dipastikan tidak ditanggung oleh korban. Menurut Retty, pemerintah harus hadir dalam situasi tersebut, sehingga korban tidak secara terus menerus dibebani.
Stigma yang Menghantui
Sulitnya negara menyediakan layanan aborsi aman bagi korban perkosaan juta tak bisa dipisahkan dari stigma masyarakat. Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI Maria Ulfa menilai, stigma negatif itu disebabkan pandangan patriarki yang masih ada di tengah kehidupan masyarakat terhadap korban perkosaan.
Dalam pandangan patriarki soal perkosaan tak jarang menyalahkan perempuan sebagai korban. Menyalahkannya dengan mempertanyakan busana yang dikenakakannya hingga menuduh korban memiliki perilaku yang dianggap 'nakal.' Pada situasi tersebut korban perkosaan akan semakin disalahkan ketika dirinya memilih untuk aborsi.
"Kalau misalnya dia punya suami, suaminya juga menyalahkan dia. Bahkan dia bisa diceraikan sepihak, misalnya. Itu kan situasi yang patriarki seperti itu budayanya," kata Maria saat dihubungi Suara.com.
Maria mengamini, dalam Islam aborsi dilarang atau diharamkan. Namun dijelaskan dapat dilakukan dalam situasi darurat, yakni kedaruratan medis dan korban perkosaan. KUPI memandang kehamilan bagi korban perkosaan adalah situasi darurat, baik bagi bayi yang dikandung dan perempuan yang mengandung.
"Nah dalam konteks pemerkosaan ini, kan jelas sekali bahwa yang berbahaya kan ke ibunya," kata Maria.
Dijelaskan korban mengalami perkosaan yang setiap orang tidak menginginkannya. Kondisi tersebut adalan keadaan yang berat, sehingga membuat korban sangat berpotensi mengalami depresi hingga bahkan berpikiran untuk mengakhiri hidupnya. Menurutnya keadaan itulah yang menjadikan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dalam berada dalam posisi yang beresiko.
"Lalu dalam kondisi psikologi seperti itu, dia hamil pula gitu, makin bebankan, makin berat. Dan melihat itu, dari hasil kajian, cukup banyak penelitian yang memang bahayanya itu lebih berat bagi perempuan, sehingga kemudian atas dasarnya itu, kepentingan KUPI adalah menyelamatkan nyawa perempuan (korban perkosaan)," papar Maria.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.