Jejak Hitam Pimpinan KPK dari Polisi dan Jaksa

Jejak Hitam Pimpinan KPK dari Polisi dan Jaksa


Suara.com - Usai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditolak habis-habisan oleh publik, pemilihan pimpinan KPK seolah hanya akan jadi formalitas. Dalam regulasi terbaru, lembaga antirasuah kini masuk rumpun lembaga eksekutif. KPK kini berada di bawah ketiak presiden. 

Sulit berharap orang yang terpilih menjadi pimpinan KPK akan independen dan bebas dari intervensi dalam memberantas korupsi. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 lalu hanya sedikit dari banyak siasat menggembosi kewenangan dan muruah lembaga antirasuah yang jadi musuh bersama pejabat dan politikus korup. 

Upaya mengikis kewenangan KPK itu terlihat pada pemilihan komisioner KPK periode 2019-2024. Presiden dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat memilih komisioner yang mudah disetir seperti Firli Bahuri Cs.  

Siasat serupa juga mulai terlihat dalam seleksi pimpinan KPK periode 2024-2029. Hingga 15 Juli 2024, dari 525 calon yang mendaftar, empat di antaranya perwira tinggi polri. Empat jenderal polisi aktif itu adalah Komjen Setyo Budiyanto, Komjen RZ Panca Putra Simanjuntak, Irjen Djoko Purwanto, dan Irjen Didik Agung Widjanarko.    

Selain jenderal polisi aktif, Kejaksaan juga mengirim lima jaksa untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Mereka di antaranya, Sugeng Purnomo, Andi Herman, Ketut Sumedana, Harli Siregar, dan Fitroh Rohcahyanto.  

Selama ini sejumlah pimpinan dan penyidik KPK dari unsur polisi dan jaksa tersangkut kasus pelanggaran etik dan pidana. Suara.com mendokumentasikan jejak hitam skandal yang menyeret nama-nama pimpinan KPK di bawah ini. 

Infografis rekam jejak kasus yang melibatkan penyidik dari unsur polisi dan jaksa di KPK. [Suara.com/Rochmat]
Infografis rekam jejak kasus yang melibatkan penyidik dari unsur polisi dan jaksa di KPK. [Suara.com/Rochmat]

Firli Bahuri

Firli Bahuri beberapa kali terjerat kasus dugaan pelanggaran etik dan pidana selama menjabat sebagai Ketua KPK. Kasus mutakhir, Firli tersangkut kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Di kasus ini dia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, Firli beberapa kali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan sampai menjadi Ketua KPK. 

  • Kasus Penggunaan Helikopter

Firli menggunakan helikopter saat perjalanan dari Palembang menuju Baturaja. Tindakannya itu melanggar tata tertib yang berlaku di KPK. Dia dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis.

  • Pertemuan dengan Tuan Guru Bajang

Pada 2018, Firli dilaporkan buntut dari pertemuannya dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, M. Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang. Padahal, ketika itu KPK sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. 

  • Menjemput Saksi

Pada 2018, Firli dilaporkan karena menjemput Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar. Ketika itu dia menjemput Bahrullah di lobby dan membawa ke ruangannya. Padahal Bahrullah saat itu dipanggil sebagai saksi untuk pemeriksaan perkara. 

  • Kasus Dugaan Pembocoran Dokumen Penyelidikan

Pada Maret 2023, Firli dilaporkan ke Dewan KPK terkait dugaan membocorkan dokumen penyelidikan kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tapi dalam kasus ini Dewas tidak menemukan bukti yang cukup memproses sidang etik Firli. 

Cukilan Buku Merah

Kasus perusakan Buku Merah yang berisi bukti aliran dana penyuapan importir daging sapi, Basuki Hariman ke Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Selain Patrialis, dalam buku tersebut tercatat sejumlah aliran dana ke sejumlah pejabat tinggi negara, petinggi Polri, termasuk Jenderal Tito Karnavian yang kala itu menjabat Kapolri.

Buku merah tersebut diduga dirusak oleh penyidik KPK dari unsur kepolisian, yaitu Roland Ronaldy dan Harun yang kemudian mendapat sanksi dari lembaga antirasuah tersebut.

Stepanus Robin Pattuju

Nama Stepanus Robin Pattuju sempat menggegerkan publik. Penyidik KPK dari unsur Polri ini menjadi sorotan saat menerima suap dari sejumlah kepala daerah dan tokoh politik yang berkasus dengan lembaga antirasuah tersebut.

Robin dan rekannya, pengacara Maskur Husain, menerima Rp 1,695 miliar dari Wali Kota Tanjung Balai, M Syahrial. Ia juga menerima Rp 3,099 miliar dan 36.000 dolar AS dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado, Rp 507,39 juta dari Wali Kota Cimahi, Ajay M Priatna, Rp 525 juta dari Direktur PT Tenjojaya, Usman Effendi, serta Rp 5,197 miliar dari mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.

Brotoseno

Juni 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada eks penyidik KPK Brotoseno. Penyidik dari unsur kepolisian itu terbukti menerima suap dari Harris Arthur Hedar selaku pengacara Jawa Pos Group sebesar Rp1,9 miliar. Selain menerima uang Rp1,9 miliar, Brotoseno juga menerima lima tiket pesawat Batik Air kelas Bisnis senilai Rp10 juta. 

Pemberian suap tersebut untuk menunda pemeriksaan terhadap pemilik Jawa Pos Dahlan Iskan. Dahlan Iskan yang juga mantan Menteri BUMN sempat diperiksa dalam kasus korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat. Kasus ini ditangani oleh Brotoseno sebagai penyidik.

Johanis Tanak

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pernah menjadi perhatian publik karena diduga berkomunikasi dengan pihak terkait kasus korupsi. Komunikasi tersebut dilakukan oleh mantan jaksa ini dengan Muhammad Idris Froyoto Sihite, Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, yang sebelumnya diperiksa oleh KPK dalam kasus korupsi tunjangan kinerja di lingkungan Dirjen Minerba.

Meskipun Dewan Pengawas KPK memutuskan bahwa Tanak tidak terbukti bersalah dalam kasus ini, anggota Dewas KPK Albertina Ho menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yang percaya bahwa Tanak memang berkomunikasi dengan Idris Sihite.

Cicak vs Buaya Jilid I

Istilah "cicak versus buaya" pertama kali diucapkan oleh Susno Duadji, yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim, sebagai respon terhadap penyadapan KPK terhadap dirinya. Konflik ini memuncak ketika dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, ditangkap oleh Bareskrim dengan tuduhan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.

Bibit dan Chandra ditahan polisi selama beberapa minggu. Presiden SBY akhirnya angkat bicara, mengakui adanya masalah antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, dan meminta polisi serta kejaksaan untuk tidak membawa kasus tersebut ke pengadilan.

Cicak vs Buaya jilid 2

Tragedi "cicak vs buaya" terulang saat KPK dipimpin Abraham Samad, terkait kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Kasus ini memicu puluhan anggota Brimob mengepung Gedung KPK untuk menangkap penyidik KPK, Komisaris Polisi Novel Baswedan, yang ikut menyidik kasus tersebut.

Namun, penangkapan Novel tidak terkait dengan kasus SIM. Aktivis kemudian membentuk pagar betis di gedung KPK, mendesak Presiden SBY turun tangan. SBY meminta KPK dan Polri memberikan penjelasan yang jujur dan jelas untuk mencegah terulangnya kasus "cicak vs buaya" jilid 2.

Cicak vs Buaya jilid 3

Kisruh antara KPK dan Polri terulang pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada awal 2015, dikenal sebagai Cicak vs Buaya jilid 3. KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi rekening gendut, meski Budi saat itu menjadi calon Kapolri.

Polri kemudian menangkap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Presiden Jokowi segera memanggil Ketua KPK dan Wakapolri, meminta agar proses hukum berjalan objektif dan sesuai aturan. Kisruh ini berakhir setelah status tersangka Budi Gunawan dicabut dalam sidang praperadilan di PN Jaksel.