Senin, 01 Jan 2024
Ancaman Baru Jika Jenderal Polisi Jadi Pimpinan KPK Home > Detail

Ancaman Baru Jika Jenderal Polisi Jadi Pimpinan KPK

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 25 Juli 2024 | 13:03 WIB

Suara.com - PEMILIHAN calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi hanya dagelan, selama lembaga antirasuah itu masih di bawah ketiak presiden. Siapapun figur yang terpilih menjadi pimpinan KPK tak bisa diharapkan bisa bersikap independen dan bebas dari intervensi dalam memberantas korupsi.      

KPK yang independen jadi momok bagi pejabat korup dan politikus hitam. Karenanya, berbagai Upaya mereka lakukan untuk melemahkan komisi. Presiden Joko Widodo dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-undang KPK pada 2019, hingga memilih komisioner KPK periode 2019-2024 yang mudah disetir seperti Firli Bahuri Cs. Revisi UU itu mengubah simpul kelembagaan KPK menjadi rumpun eksekutif yang berada di bawah presiden.  

Tanda-tanda itu terlihat dalam seleksi pimpinan KPK periode 2024-2029. Dari 525 calon yang mendaftar hingga 16 Juli 2024, empat di antaranya perwira tinggi polri. Empat jenderal polisi aktif itu adalah Komjen Setyo Budiyanto yang menjabat sebagai inspektur jenderal Kementerian Pertanian, Komjen Ridwan Zulkarnain Panca Putra Simanjuntak yang kini menduduki posisi sekretaris utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Irjen Djoko Poerwanto selaku Kapolda Kalimantan Tengah, dan Irjen Didik Agung Widjanarko yang kekinian deputi bidang koordinasi dan supervisi KPK.

Selain dari Polri, Kejaksaan juga mengirim lima jaksa untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Mereka di antaranya; Sugeng Purnomo sebagai pelaksana tugas Deputi III Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Andi Herman yang masih aktif jadi Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ketut Sumedana Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Fitroh Rohcahyanto eks Direktur Penuntutan KPK, dan Harli Siregar yang kini menjabat Kapuspenkum Kejaksaan Agung.

Bagi pemerintah dan politikus DPR tentu lebih mudah mengontrol pimpinan KPK dari unsur polisi ketimbang pimpinan KPK dari jalur independen. Pencalonan keempat jenderal aktif itu isyarat kepolisian memasang wakilnya di pimpinan KPK.

Berkaca di era Firli Bahuri, KPK tebang pilih dalam penindakan kasus korupsi. Yang terkait dengan pihak berkuasa bisa dipeti eskan. Misalnya kasus suap politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku yang mandek karena diduga menyeret Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Belakangan kasus ini kembali ditelisik setelah PDI Perjuangan berseberangan jalan dengan Jokowi di Pemilihan Umum Presiden 2024. Maruah KPK runtuh sejak dipimpin jenderal polisi itu. Bahkan Dewan Pengawas mengungkap 93 pegawai melakukan pungutan liar atau pungli di Rutan KPK.

Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan sejak UU direvisi pada 2019 sampai saat ini, penindakan korupsi yang dilakukan KPK mengalami stagnasi ketimbang sebelum direvisi. Pada 2023, dari 48 kasus yang ditangani KPK, hanya 8 melalui operasi tangkap tangan (OTT). OTT selama ini diandalkan KPK untuk menjerat banyak aktor di level atas, seperti Ketua MK, Ketua MA, Menteri, hiingga anggota dan pimpinan DPR. Di era Firli, OTT tidak legi menjadi andalan sehingga wajar jika tren penindakan oleh KPK kian merosot.

Pada 2018, kasus OTT KPK sebanyak 30 kasus, pada 2019 langsung anjlok menjadi 21, 2020 nyungsep menjadi 7 kasus, 2021 ada 6 kasus, 2022 terdapat 10 kasus dan 2023 turun jadi 8 kasus.

Penyidik Tidak Loyal

Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo mengungkapkan banyak penyidik KPK masih berafiliasi dengan pihak luar. Ketika memimpin lembaga antirasuah itu, ia menemukan sejumlah penyidik lebih pantuh kepada Kapolri, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kejaksaan.     

Selain itu hubungan KPK dan Polri beberapa kali memanas. Khususnya ketika KPK mengungkap dugaan korupsi yang menyeret nama petinggi Polri.  Atau lebih dikenal dengan kasus Cicak Vs Buaya yang sampai terjadi dalam tiga jilid. Pertama di era pimpinan KPK

Bibit dan Chandra Hamzah, terkait penyadapan Susno Duaji yang ketika itu menjabat sebagai Kabareskrim. Kedua era kepemimpinan Abraham Samad, KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo. Ketiga di awal pemerintahan Jokowi, KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi rekening gendut. Saat itu, Budi menjadi kandidat tunggal Kapolri.

Persoalan integritas pimpinan KPK dari Polri juga menorehkan noda hitam. Teranyar dugaan korupsi Filri Bahuri saat masih aktif menjabat Ketua KPK. Purnawirawan jenderal polisi bintang tiga itu menjadi tersangka korupsi atas dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Sedangkan pimpinan dari Kejaksaan Agung juga menorehkan catatan hitam di KPK. Terdapat nama Antasari Azhar yang menjadi tersangka pembunuhan saat menjadi pimpinan KPK. Antasari disebut terlibat dalam pembunuhan berencana Direktur Utama PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada 2009. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan itu dinyatakan bersalah dan divonis 19 tahun penjara -- sebagai otak pembunuhan. Antasari bebas pada 2016 setelah mendapatkan grasi dari Jokowi.

Infografis rekam jejak kasus yang melibatkan penyidik dari unsur polisi dan jaksa di KPK. [Suara.com/Rochmat]
Infografis rekam jejak kasus yang melibatkan penyidik dari unsur polisi dan jaksa di KPK. [Suara.com/Rochmat]

Selain itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak sempat menjadi sorotan karena dugaan berkomunikasi dengan pihak berperkara korupsi. Komunikasi dilakukan mantan jaksa ini dengan Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite--pihak yang pernah diperiksa KPK dalam kasus korupsi tunjangan kinerja di lingkungan Dirjen Minerba.

Dalam kasus ini, Dewas KPK memutuskan Tanak tak terbukti bersalah. Namun, anggota Dewas KPK Albertina Ho memberikan dissenting opinion atau pandangan berbeda yang meyakini Tanak berkomunikasi dengan Idris Sihite.

Harus datang dengan Tuhan

Eks Wakil Ketua KPK, Saut Sitomurang berpendapat, calon pimpinan KPK yang berasal dari Polri dan Kejaksaan lebih berisiko terlibat konflik kepentingan dibanding dengan calon pimpinan KPK dari jalur independen, seperti akademisi atau kelompok masyarakat sipil. Hal itu berdasarkan pengalamannya saat memimpin KPK bersama Agus Rahardjo periode 2015-2019.

"Risikonya apa? Kalau Anda memberantas korupsi, itu kan Anda harus adil, Anda harus jujur, Anda harus benar, Anda enggak boleh takut siapapun," kata Saut kepada Suara.com, Selasa (23/7/2024).

Saut membenarkan, banyak penyidik KPK yang masih berafiliasi dengan instansi asalnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Setidaknya tampak di era dirinya jadi pimpinan Lembaga pemberantasan korupsi. Bahkan sampai sekarang masih banyak yang belum terungkap.

Karena itu, menurutnya, harus dipastikan terhadap calon pimpinan KPK yang berasal dari Polri dan Kejaksaan mendaftar atas panggilan diri sendiri bukan berdasarkan perintah atasan institusi asal.

"Kalau Anda mau jadi ketua KPK, Anda harus datang ke KPK itu antara Anda dengan Tuhan Anda saja, enggak boleh dengan orang lain.  Apalagi Anda diremote (dikendalikan) dipegang-pegang buntutnya," tegasnya.

Senada dengan Saut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya mengatakan, calon pimpinan KPK dari Polri dan Kejaksaan sarat dengan konflik kepentingan. Misalnya ketika KPK mengusut kasus korupsi yang melibatkan petinggi di Kepolisian atau Kejaksaan. Mengingat sesuai Pasal 11 a Undang-undang KPK Tahun 2019, KPK berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi yang menyeret aparat penegak hukum seperti Jaksa dan Polisi.

"Artinya kalau misalnya ada konflik kepentingan maka kewenangan KPK untuk menindak aparat penegak hukum itu pasti akan terganggu," kata Dikcy.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, sejumlah masalah yang pernah terjadi antara KPK dan Polri. Contohnya, kasus 'Buku Merah' pada 2018 silam. Kasus Buku Merah mencuat ke publik, lantaran berisi bukti aliran dana penyuapan importir daging sapi Basuki Hariman ke Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Selain Patrialis, dalam buku itu tercatat sejumlah aliran dana ke sejumlah pejabat tinggi negara, petinggi Polri, termasuk Jenderal Tito Karnavian yang kala itu menjabat Kapolri. Namun buku merah tersebut diduga dirusak oleh penyidik KPK dari unsur kepolisian, yaitu Roland Ronaldy dan Harun -- kemudian mereka dijatuhi sanksi dari KPK.

Meski pada kasus 'Buku Merah' konflik kepentingan terjadi di level penyidik, tapi tak menutup kemungkinan terjadi pada level komisioner KPK, ketika yang terpilih berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan.

"Jadi untuk menghentikan praktek-praktek loyalitas ganda di KPK, memang sebaiknya unsur Kepolisian dan Kejaksaan itu dijauhkan dari KPK," ujarnya.

Jangan Berikan Karpet Merah

Memang tidak ada aturan yang melarang polisi dan jaksa ikut seleksi calon pimpinan KPK. Begitu pula sebaliknya, kata peneliti  Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, tidak ada kewajiban bagi panitia seleksi atau pansel untuk memberikan perlakukan istimewa kepada aparat penegak hukum.

"Itu harus dihilangkan dari pikiran Pansel seakan-akan KPK itu harus ada polisi dan jaksa, itu tidak benar. KPK itu bukan sekber, bukan sekretariat bersama antara Kepolisian dan Kejaksaan," kata Zaenur kepada Suara.com.

Menurut dia, Pansel dalam proses seleksi tidak boleh menggunakan sistem kouta dalam kompisisi pimpinan KPK. Tidak ada urgensi untuk memberikan kursi kepada Kejaksaan Agung maupun Polri. Justru keberadaan pimpinan berlatar belakang polisi dan jaksa menjadi hambatan dalam kerja-kerja KPK. Mengingat sejarah kelam konflik antara KPK dengan Polri dan Kejaksaan dalam penindakan kasus korupsi.

Zaenur mengingatkan, sejarah dibentuknya KPK pada 2023. Ketika itu Kejaksaan Agung dan Polri dinilai tidak efektif melakukan pemberantasan korupsi. Kedua lembaga penegak hukum itu dianggap belum terbebas dari perkara korupsi.

Meski menolak unsur kepolisian dan kejaksaan menjadi pimpinan KPK, tapi Zaenur mengingatkan, Pansel juga tidak boleh diskriminatif. Catatan pentingnya, polisi dan jaksa yang mendaftar calon pimpinan KPK harus dipastikan datang atas nama pribadi, bukan pesan titipan institusi asal.

Untuk mengantisipasi pimpinan KPK sarat konflik kepentingan dan problematik, Pansel diharapkan belajar dari proses seleksi sebelumnya yang meloloskan Firli Bahuri.  Rekam jejak harus menjadi perhatian penting bagi Pansel, khususnya calon yang berasal dari aparat penegak hukum.

"Karena kami meyakini bahwa kandidat dari unsur Kepolisian maupun Kejaksaan pasti memiliki catatan etik atau punya latar belakang catatan kinerja di instansi asalnya," kata Diky.

Misalnya, pada proses seleksi Capim KPK 2019, kelompok masyarakat sipil telah mengingatkan sejumlah catatan pelanggaran kode etik Firli Bahuri. Firli diketahui beberapa kali terjerat dugaan pelanggara etik, salah satunya saat menjabat deputi penindakan KPK. Saat itu Firli diduga menemui mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) pada 12-13 Mei 2018.

Firli tak boleh bertemu dengan TGB karena KPK saat itu melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Pemprov NTB, yakni terkait kepemilikan saham PT Newmont. Hal itu sesuai dengan aturan yang berlaku di internal -- melarang insan KPK bertemu dengan pihak yang berperkara. Namun pada perjalanannya, masukan dari masyarakat sipil tidak didengarkan Pansel, hingga akhirnya Firli memimpin hingga tersandung kasus korupsi.

Terbaru
Tunjangan DPR Fantastis! Bisa Bangun Rumah Buat 14 Ribu Keluarga Miskin
polemik

Tunjangan DPR Fantastis! Bisa Bangun Rumah Buat 14 Ribu Keluarga Miskin

Rabu, 16 Oktober 2024 | 16:06 WIB

"Setiap hari ada sekitar 15 sampai 20 keluhan dari anggota. Rata-rata berkaitan dengan bocoran rumah," kata Indra.

Relasi Kuasa dan Modus Hapus Dosa di Balik Kekerasan Seksual Pemilik Panti Asuhan Darussalam An'Nur polemik

Relasi Kuasa dan Modus Hapus Dosa di Balik Kekerasan Seksual Pemilik Panti Asuhan Darussalam An'Nur

Selasa, 15 Oktober 2024 | 12:28 WIB

Ketimpangan kekuasaan di panti asuhan lebih besar dari lingkungan pendidikan formal.

Tumbuh dengan Privilege: Mampukah Anggota DPR Muda Suarakan Persoalan Gen-Z? polemik

Tumbuh dengan Privilege: Mampukah Anggota DPR Muda Suarakan Persoalan Gen-Z?

Senin, 14 Oktober 2024 | 14:30 WIB

Keterwakilan anak muda di DPR, jumlahnya mengalami penurunan dalam enam kali pemilu terakhir.

Mimpi Buruk Proyek Geothermal: Keteguhan Warga Poco Leok Jaga Tanah dan Adat polemik

Mimpi Buruk Proyek Geothermal: Keteguhan Warga Poco Leok Jaga Tanah dan Adat

Senin, 14 Oktober 2024 | 11:30 WIB

"Kami tidak mengizinkan tanah kami dijual," tegas Agustinus.

Menguji Janji Cagub-Cawagub Jakarta Atasi Masalah Lingkungan polemik

Menguji Janji Cagub-Cawagub Jakarta Atasi Masalah Lingkungan

Kamis, 10 Oktober 2024 | 16:37 WIB

Deretan kasus tadi, hanya sedikit dari masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta. Lantas, mampukah para Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur menjawab persoalan itu?

Tragedi Poco Leok: Tindakan Brutal Aparat Berulang di Proyek Ambisius Negara polemik

Tragedi Poco Leok: Tindakan Brutal Aparat Berulang di Proyek Ambisius Negara

Kamis, 10 Oktober 2024 | 14:51 WIB

"Pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka," ungkap Herry.

Kabinet Gendut Prabowo: Mimpi Buruk Birokrasi dan Pemborosan Anggaran polemik

Kabinet Gendut Prabowo: Mimpi Buruk Birokrasi dan Pemborosan Anggaran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 12:25 WIB

"Bisa juga menghasilkan konflik kewenangan yang tidak perlu di antara para pejabat birokrasi pada kementerian/lembaga," ujar Wahyudi.