Senin, 01 Jan 2024
Yang Tersisa dari Jakarta, Akhir Proyek Ibu Kota Negara Post Kolonial Home > Detail

Yang Tersisa dari Jakarta, Akhir Proyek Ibu Kota Negara Post Kolonial

Reza Gunadha | Muhammad Yasir

Selasa, 03 September 2019 | 08:10 WIB

Suara.com - Memindahkan ibu kota negara tak semudah pindah rumah. Rencana itu sendiri mendapat reaksi beragam dari publik. Ada yang setuju dan tidak. Di lain sisi, ada pula yang menilainya semata-mata bermuatan politis.

SABTU MASIH PAGI, sekitar pukul 07.45 WIB, ketika saya tiba di rumah besar berkonsep arsitektur khas Betawi.

Rumah di bilangan Jalan Taufiqurrahman No 3, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat itu didominasi material kayu dan batu bata.

Sejumlah pohon memenuhi pekarangan rumah tersebut. Bagi saya, halaman yang rimbun itu lebih mirip sebagai hutan kota di tengah-tengah pemukiman warga.

Seorang lelaki sibuk menyirami ‘hutan kota’ miliknya. Beberapa kali saya mengucapkan salam, namun sepertinya pria tersebut terlalu khusyuk, hingga baru mendengar setelah saya tiga kali mengucapkan salam.

“Permisi… permisi… permisi…” ucap saya.

Lelaki itu hanya melihat, memperhatikan saya.

Penasaran, saya langsung bilang, “Saya Yasir dari Suara.com.”

 “Oh iya, iya,” jawabnya.

Buset! Setelah menjawab, dia lantas kembali melanjutkan keasyikannya, menyirami tanaman.

Tak lama, seorang  perempuan menghampiri saya yang berdiri di depan pagar rumah. Dia lantas membukakan pintu gerbang dan mempersilakan saya masuk.

Sementara pria itu masih sibuk menyirami tanaman.

Kirain enggak jadi,” kata pria tersebut.

Celetukannya bukan tanpa alasan. Malam sebelumnya, kami membuat janji bertemu pukul 07.00 WIB, sementara saya baru tiba sekitar pukul 07.45 WIB.

“Jadi dong bung,” ucap saya, tersenyum malu karena telat datang.

Akhirnya lelaki itu menyudahi menyiram tanaman, pergi ke beranda, dan meminta saya menunggu di ruang taman. Ruangan itu nyaman, dilengkapi meja serta kursi berbahan kayu.

Lelaki itu sendiri masuk ke dalam rumah. Perempuan yang membukakan gerbang tadi kembali datang. Kali ini membawakan air minum untuk saya.

Air mineral dan teh tubruk dibawakan dalam teko kaleng khas zaman dulu, lengkap dengan cangkir yang juga terbuat dari kaleng.

“Silakan ini diminum,” kata perempuan itu.

Tak lama, lelaki yang hendak saya temui keluar dari dalam. Dia tampak baru saja selesai mandi. Si empu rumah santai, mengenakan kaus bergambar band rok legendaris asal Inggris Led Zeppelin.

Kami duduk saling berhadapan di sebuah kursi dan meja berbahan kayu. Percakapan antara kami dimulai, bukan menyoal musik, tapi sejarah Jakarta sebagai ibu kota negara.

Lelaki itu adalah JJ Rizal: sejarawan, penulis, sekaligus pendiri kantor penerbitan Komunitas Bambu.

Apa pentingnya Jakarta?

“BUNG, BAGAIMANA sih sejarahnya hingga akhirnya Jakarta dipilih sebagai ibu kota?” tanya saya.

“Perjalanan Jakarta akhirnya dipilih jadi ibu kota itu panjang,” jawabnya.

JJ Rizal bercerita, sejak awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dibentuk panitia agung pemilihan ibu kota. Panitia itu diketahui langsung oleh Soekarno.

Panitia itu menggodok usulan sejumlah kota calon ibu kota republik: Bandung, Malang, Surabaya, dan Jakarta.

Anggota kepanitiaan itu berdebat sengit. Sebab, semua kota yang diusulkan sebagai ibu kota RI adalah peninggalan kolonial.

Bandung, Malang, Surabaya, dan Jakarta dinilai bertolak belakang dengan ide negara Indonesia yang baru merdeka dan bernapas Nasionalistik.

“Mucullah ide misalnya Temanggung dan Magelang, tempat yang baru dan belum terbangun jadi kota,” kata dia.

Tapi, dalam perjalanannya, panitia agung itu mentok, tak bisa mengusulkan daerah baru menjadi ibu kota. Akhirnya, Jakarta tetap menjadi pusat pemerintahan atau bisa disebut sebagai ibu kota, meski belum resmi.

Tahun 1946, ibu kota akhirnya dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta untuk sementara, akibat diduduki tentara Belanda.

Dua tahun kemudian, Yogyakarta pun diobok-obok Belanda dalam agresi militer ke-II. Akhirnya, pusat pemerintahan dan ibu kota dipindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat.

“Ketika itu, Republik Indonesia masih orok, enggak punya tentara, jadi harus pindah ke pedalaman untuk menyelamatkan diri,” kata Rizal.

“Itu artinya bagaimana bung?”

“Ya, kepindahan-kepindahan ibu kota itu lebih banyak disebabkan oleh peristiwa perang, revolusi. Sifatnya bukan meninggalkan Jakarta untuk selama-lamanya sebagai ibu kota. Jadi lebih kepada penyelamatan,” ujarnya.

Setelah Soekarno – Hatta bebas dari pengasingan, Menteri Kemakmuran RI Sjafruddin Prawiranegara membubarkan PDRI pada 13 Juli 1949, dan Yogyakarta kembali menjadi ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sampai akhirnya, pada 17 Agustus 1949,RIS dibubarkan dan Jakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia secara de facto. Selanjutnya, 28 Agustus 1961, Jakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia secara de jure.

“Bukankah panitia agung pemilihan ibu kota bilang tidak mau memilih kota kolonial? Kenapa Jakarta dipilih?” tanya saya.

“Yang harus dimengerti, dalam pidato Bung Karno bilang: Nasionalisme kita itu bukan nasionalisme sempit, nasionalisme kita itu tumbuh di taman sari internasionalisme,” kata JJ Rizal mengutip pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Menurut JJ Rizal, nilai Nasionalisme bagi Bung Karno bukan berarti pula harus memusuhi warisan kolonial, yakni dengan menolak gedung-gedung dan arsitektur ruang peninggalan penjajah.

Bung Karno justru mengajarkan bahwa bangsa Indonesia yang baru saja merdeka, harus berangkat dari apa yang dimiliki.

“Yang Indonesia punya itu adalah nasionalisme, antitesis dari kolonialisme. Sebuah bangsa hidup dan punya identitas dari sejarah, sebuah ibu kota itu penting sekali. Pertanyaannya ibu kota seperti apa?” kata Rizal berteka-teki.

Ia lantas menjawab, “Sebuah ibu kota itu sifatnya ‘archipelagic state’. Dia harus punya sejarah panjang tentang pertumbuhan nasionalisme. Enggak ada kota-kota lain di Indonesia yang punya latar sejarah sekuat Jakarta tentang pergerakan kebangsaan.”

Budi Oetomo pada 20 Mei 1908 lahir di Jakarta. Sumpah Pemuda tahun 1928 dideklarasikan di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pun di Jakarta.

“Jadi buat Bung Karno, Jakarta itu punya modal kultural historis yang sangat kuat sebagai simbol wajah mukanya Indonesia, wajah mukanya nasionalisme. Ini kota juang buat Bung Karno,” tegasnya.

“Jakarta kota post-kolonial, bentuk perlawanan terhadap warisan kolonial, begitu?” tanya saya.

“Kita harus menerima kota kolonial ini, tapi bagaimana kota kolonial ini mencerminkan sifat nasionalisme, nah itulah yang dilakukan Bung karno. Dia sebagai arsitek dia kerjakan. Dia gunakan kemampuan sebagai arsitek untuk mengubah wajah kota kolonial menjadi wajah kota nasional.”

Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Monumen Selamat Datang buatan Henk Ngantung (Gubernur Jakarta era Bung Karno) yang kekinian dikenal sebagai Bundaran HI, kawasan Semanggi, kesemuanya adalah proyek poros baru ide Bung Karno.

 “Sehingga kota Batavia pelan-pelan berubah dari kota kolonial menjadi Jakarta kota nasional,” tuturnya.

Pengorbanan Betawi, akankah terulang?

PROYEK PEMBANGUNAN selalu menimbulkan permasalahan bagi penduduk setempat. Hal itu juga dialami oleh orang Betawi sebagai warga ibu kota Jakarta.

Menurut Rizal, dalam perjalanan panjang pembangunan Jakarta, orang Betawi merupakan pihak yang paling banyak berkorban.

Hampir seluruh tanah milik orang Betawi diambli alih dengan beraneka cara, mulai dari yang halus hingga cara kekerasan. Mereka dan kebudayaannya kekinian terpinggirkan atas nama pembangunan.

“Kebudayan itu dasarnya tanah. Jadi, ketika tanahnya hilang, kebudayaannya hilang, habis,” kata Rizal.

“Hilangnya tanah, bisa berimbas pada hilangnya produk-produk kebudayaan, begitu?” tanya saya.

“Nah, jadi kalau orang menangisi Lenong, menangisi Tanjidor, kebudayaan berumah dengan konsep arsitektural ruang pohon dan kebun yang lebih besar dari rumah itu hilang, disebabkan oleh apa? Tidak adanya perlindungan terhadap hak dasar budaya dari orang Betawi.”

JJ Rizal khawatir, apa yang dialami oleh orang Betawi akan terulang di Kalimantan Timur sebagai lokasi yang ditunjuk sebagai ibu kota baru.

Apalagi, kekinian penduduk Kalimantan Timur telah mengalami persoalan diforestasi dan tambang.

“Itu akan menjadi persolan-persolan yang tidak ada dalam diskusi-diskusi tentang pindah ibu kota. Apa yang dialami orang Betawi, mereka kehilangan kampung akhirnya kehilangan budaya, dan mereka terpinggirkan,” kata dia.

“Ya untung orang Betawi punya ketahanan budaya yang sangat kuat, karena Jakarta dalam periode panjang, teruji sebagai kosmopolit. Tapi bayangkan bagaimana dengan orang di Kalimantan Timur?”

Nalar yang putus

RIZAL TAK HABIS PIKIR, kalau pemindahan ibu kota ke Kaltim dengan alasan Jakarta terlampau terbebani masalah padat penduduk dan lainnya. Baginya, alasan-alasan itu tak cukup masuk akal.

Kalau masalah-malasah itu dimiliki Jakarta dalam kurun waktu yang panjang, adalah benar. Hanya, menurut Rizal, permasalahan di Jakarta akibat tata ruang yang diacak-acak hingga menggilanya urbanisasi, bukanlah soal tanpa solusi.

Solusinya tidak serta merta memindahkan ibu kota. Sebab, beragam persoalannya itu belum tentu terhapus setelah Jakarta tak lagi menyandang titel ibu kota.

“Pertanyaannya, kenapa alternatif yang lain tidak ada dan dibicarakan?” kata Rizal.

“Kalau ini ide besar, ide nasional, masalah besar, dan Jakarta adalah kota yang langsung dikreasi oleh Bung Karno, Founding Father RI, simbol identitas nasional, harusnya dipikir lebih serius dong,” sesalnya.

Ia meminta hasil kajian pemerintah dibuka kepada publik, agar bisa dibahas bersama. Misalnya, tak menutup kemungkinan hanya organ-organ kementerian yang dipindah ke Kaltim.

Bagi Rizal, usul seperti itu lebih masuk akal, dibandingkan harus memindahkan ibu kota negara.

“Jadi yang dipindah hanya kementerian?” kata saya.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

“Iya. Misalnya, Kementerian Perikanan dan Kelautan dipindah ke Maluku, sebagai jantung maritim. Kementeriaan Pariwisata ke Bali atau Toba. Kementerian Pertanian ke Kendeng, Rembang, Jawa Tengah agar masalah petani terselesaikan.”

Contohnya lagi, Rizal mengusulkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipindah ke Pulau Kalimantan, untuk menyelesaikan kebakaran hutan.

Kementerian PPN/Bappenas dipindahakan ke Wamena, agar Indonesia tidak terus dilihat dari Jakarta, tapi melihat Indonesia dari kaca mata rakyat Papua.

“Sekarang semua teknologi memungkinkan. Rapat bisa pakai konferensi video. Kantornya diubah menjadi ruang hijau, ruang biru menjadi museum, ruang publik. Tukar guling saja dengan daerah Jakarta yang kebanjiran. Jadi dipulihkan tata ruang Jakarta.”

Pada akhirnya, bagi JJ Rizal, tidak ada pijakan rasional kalau ibu kota dipindah dari Jakarta. Ia justru menduga, di balik rencana pemindahan ibu kota negara, terlampau disesaki muatan politis.

“Ini cuma untuk ambisi politik, enggak ada yang lain, enggak bisa dinalar. Nalar kita enggak akan nyampe,” tukasnya.

Lu mau debat kayak apa pun, nalarnya itu enggak nyampe. Bagi gue, pindah ibu kota itu nalar yang putus, nalar yang mati. Enggak ada satu pun yang bisa dinalar alasan pemindahan ibu kota.”

Sehari sebelumnya di Kampus UI

ANUGRAH PRADA bersama dua sohibnya, Dhika Januar dan Fajri sedang meriung, duduk melingkar di kantin Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Petang belum lagi senja ketika saya menghampiri ketiga pemuda yang masih berusia 19 tahun itu, Kamis 29 Agustus pekan lalu. Mereka semuanya adalah mahasiswa jurusan Sastra Jepang.

“Gimana nih bro, soal rencana pemerintah yang mau memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur?” tanya saya.

“Kalau saya sih setuju aja, Jakarta sudah terlalu padat,” celetuk Anugrah.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

Sehari sebelum perayaan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, Jumat 16 Agustus, Presiden Jokowi dalam pidato di hadapan anggota MPR dan DPR menyatakan kehendaknya untuk memindahkan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Penjaman Paser Utara dan Kutai Kartanegara.

Anugrah tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia adalah anak perantau di Jakarta, sejak 2009. Ibu dan ayahnya berasal dari Aceh serta Manado. Mereka tinggal di Otista, Jakarta Timur.

Sejak menjadi mahasiswa UI, Anugrah sehari-hari memakai sepeda motor sebagai kendaraan berangkat ke kampus.

Jarak dari kediaman Anugrah menuju kampus hanya 10 kilometer. Tapi, untuk cepat-cepat tiba di kampus bukan hal mudah baginya.

Tak jarang dia harus bersabar menahan pedal rem sepeda motornya dan menarik gas perlahan menembus kemacetan kendaraan yang begitu padat antara Pasar Minggu – Depok, ataupun sebaliknya, ketika dirinya hendak pulang kuliah.

Sebab, rute perjalanan Anugrah adalah akses utama bagi warga Bogor, Depok dan sekitarnya yang hendak berangkat atau pulang kerja dari Jakarta. Dia harus bersaing dengan ribuan orang untuk dulu-duluan menapaki setiap jengkal aspal.

Bagi Anugrah, rencana Jokowi memindahkan ibu kota setidaknya bisa mengurangi banyak masalah akut Jakarta: kemacetan, kepadatan penduduk, banjir, dan lainnya.

“Tapi ya kalau tidak lagi jadi DKI, cuma kota pusat ekonomi, bakal terus-terusan ramai juga Jakarta. Macet juga,” tukasnya.

Anugrah mengakui setuju terhadap rencana pemerintah, yang memilih Pulau Kalimantan sebagai lokasi ibu kota baru.

Selain dinilai relatif aman dari potensi bencana, posisi Pulau Kalimantan yang berada di tengah-tengah Indonesia itu diharapkan dapat berdampak terhadap pembanguan infrastruktur lebih merata,sehingga tidak Jawa-sentris.

Namun, bagi Anugrah, perlu kebijaksaan dari pemerintah dalam membangun ibu kota baru di Pulau Kalimantan.

Sebab, sebagai paru-paru dunia, dia khawatir justru terjadi deforestasi di Kalimantan Timur akibat proyek pembangunan ibu kota baru.

“Kalimantan sebagai paru-paru kedua bumi setelah Amazon. Takutnya, dengan ada pembangunan ibu kota baru, akan berdampak terhadap lingkungan.”

Anak Ibu Kota Krisis Identitas?

JAKARTA SEBENARNYA tak selalu jadi ibu kota resmi Republik Indonesia. Ketika Belanda datang kembali ke Indonesia setelah Nazi Jerman dan Jepang kalah, tahun 1946, ibu kota pernah dipindahkan ke Yogyakarta.

Jakarta kala itu diduduki pasukan sekutu dan Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA) yang merupakan organisasi semi militer Belanda.

Kemudian, pada 19 Desember 1948, agresi II militer Belanda membuat Yogyakarta terguncang. Presiden dan Wakil Presiden Sukarno – Hatta, beserta sejumlah pejabat tinggi RI ditangkap dan diasingkan ke Bangka.

Akhirnya, Menteri Kemakmuran RI Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.

“Jadi, kalaupun ibu kota pindah ke Kaltim, sejarah Jakarta sebagai ibu kota RI tak mudah dilupakan. Seperti Jogja, akan terus dikenang sebagai ibu kota,” kata Anugrah.

Ada jutaan nostalgia yang tertinggal di Jakarta. ”Akan tetap dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat,” tuturnya.

Anugrah bukan asal omong atau klaim. Ia mencontohkan Jepang. Awalnya, ibu kota negara Jepang adalah Kyoto. Lebih dari satu milenium setelah didirkan pada tahun 794 Masehi, Kyoto dikenal luas sebagai ibu kota kekaisaran.

Tapi semua berubah ketika era Restorasi Meiji atau Revolusi Meiji tahun 1868. Pada zaman Edo itu, kekaisaran Jepang berpindah dari Kyoto ke Edo atau yang kekinian dikenal sebagai Tokyo.

“Tapi Kyoto tetap dipandang sebagai ibu kota lama. Edo atau Tokyo lebih ke pusat pemerintahan, kalau Kyoto pusat spiritual dan kultur.”

Pemindahan ibu kota ke Kaltim juga tak lantas menggeser identitas penduduk Jakarta, terutama kaum milenial sebagai bocah metropolitan.

Baginya kultur hingga gaya hidup anak muda Jakarta yeng telah terbangun sebagai anak ibu kota yang tinggal di pusat perekonomian, akan terus melekat.

“Istilahnya, walaupun Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota, kita sebagai anak muda yang tinggal di Jakarta hanya kehilangan titel anak ibu kota saja. Tapi kultur tetap saja sebagai anak metropolitan.”

“Betul, kebanggaan tinggal di Jakarta bagi para perantau juga nanti pasti akan tetap ada,” timpal Dhika Januar.

Dhika yakin hakulyakin, Jakarta nantinya masih memunyai daya tarik bagi warga berbagai daerah untuk mengadu nasib.

Image Jakarta sebagai kota maju itu tidak mudah dihilangkan. Jakarta maju itu sendiri kan karena memang sudah lama menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian, makanya ada image Jakarta itu lebih maju dan terdidik.”

Begitu pula sebaliknya, menurut Dhika, meskipun Kaltim nanti ibu kota, kultur masyarakat di sana tak lantas sama seperti Jakarta.

“Tak mudah. Ketika ibu kota pindah ke sana, masyarakat Kaltim tak langsung seperti Jakarta. Butuh proses yang panjang.”

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu