Suara.com - Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya memicu protes massal di Bumi Cenderawasih, Indonesia, maupun internasional. Semua bermula dari foto bendera Merah Putih dibuang ke selokan. Tapi ada kejanggalan.
SUARA PEREMPUAN di ujung telepon itu bergetar, saya merasakan kecemasannya. “Halo, iya” katanya, pelan setengah berbisik. Setelahnya dia terdiam. Sayup-sayup, terdengar pula suara pekik massa bersahut-sahutan, “Keluar, pergi dari sini, monyet!”
Saya lantas memulai duluan pembicaraan itu, “Sus, benar teman-teman di asrama Surabaya dikepung?”
“Iya, kami masih tertahan di sini. Sejak sore tadi kami tak dibolehkan keluar,” katanya.
Intonasi suaranya mengecil, “Eee… saya kira sejak pukul 15.20 WIB, tentara masuk depan asrama, disusul Satpol PP, rusaki semua pagar.”
Saya langsung mengajukan pertanyaan utama, “Saya dapat info, ini karena ada bendera Merah Putih dibuang ke got depan asrama?”
“Iya, kami tak bisa keluar dari sore. Tak tahu kami soal itu,” jawabannya tak mengena.
“Apa benar orang asrama yang buang?” kembali saya bertanya.
“Tidak, tidak, tidak tahu itu bendera. Kami tak pernah rusak. Kami baru tahu sewaktu tentara gebrak pintu, bilang bendera dibuang,” katanya.
“Berarti sus dan kawan-kawan bukan yang membuang kah?”
“Tidak. Kami sedang santai di sini sejak siang. Bendera itu ada sejak Kamis kemarin, waktu kami diskusi.”
“Diskusi? Soal apa? Apa bendera itu masih ada waktu diskusi?”
“Diskusi soal New York Agreement. Tidak kami apa-apakan itu bendera, buat apa,” ketusnya.
Teriakan massa masih sayup-sayup terdengar dari sambungan telepon itu. Perempuan itu lagi-lagi terdiam.
“Itu massa dari mana? Apa mereka coba terobos masuk asrama?” kata saya.
“Tidak. Mereka di luar, tak bisa masuk. Dari tadi itu, bilang kami babi, monyet, mau usir kami…”
“Maksud sus, rasis?” saya memotong pembicaraannya.
“Iya, rasis!”
“Baik, saya bikin dulu ini jadi berita,” saya pamit.
”Baik, hormat dari kami,” jawabnya, dan telepon terputus.
Saya menelepon Dorlince Iyowau, Jumat 16 Agustus 19—sehari menjelang perayaan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, sekitar pukul 17.55 WIB.
Dorlince bukan penghuni asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya. Juru Bicara Aliansi Mahasiswa Papua itu hanya sedang berkunjung ke sana.
Selang dua jam, pukul 20.00 WIB, saya kembali menelepon dia.
“Apa masih dikepung sus?”
“Iya. Mereka lempar batu. Ini listrik kami matikan, supaya mereka tak bisa menyasar kami,” jawabnya.
“Apa ada makanan dan stok minum di dalam?”
“Tidak. Kawan-kawan di luar mau ke sini kasih makan dan minum. Masih hitung kekuatan, bisa terobos atau tidak,” kata Dorlince.
Dua mahasiswa, satu di antaranya bernama Arief—Ketua Front Mahasiswa Nasional Surabaya—dan berinisial A mencoba mengantar makanan untuk mahasiswa Papua di asrama, Sabtu dini hari.
Tapi mereka tak berhasil. Keduanya dibawa ke kantor polisi. Sabtu siang, keduanya baru dilepas polisi.
Sore pada hari yang sama, saat perayaan HUT ke-74 Kemerdekaan RI, aparat menerobos masuk asrama.
"Tar… tar… tar…" polisi melepas sedikitnya 20 tembakan gas air mata.
"Semuanya kami imbau menyerahkan diri. Kalau tidak, kami akan masuk dan membawa kalian," teriak satu polisi melalui pelantang suara.
Para pria berseragam lantas berderap, membobol kunci gerbang asrama. Mereka merangsek ke sisi dalam.
Dorlince dan satu mahasiswi lainnya, serta 13 mahasiswa bersembunyi di sebuah kamar. Mereka ditangkapi. Awak media diminta polisi menjauh.
Belasan pelajar Papua itu keluar asrama sembari mengangkat kedua tangannya. Semua digiring masuk ke dalam tiga truk polisi. Diangkut ke Mapolrestabes Surabaya.
"Kami minta keterangan lebih lanjut," kata seorang anggota kepolisian di asrama.
Foto Tanpa Metadata
SEMUA PELAJAR Papua yang dibawa polisi dari asrama itu kekinian telah dibebaskan. Mereka memutuskan untuk menenangkan diri.
Namun, insiden itu terlanjur memicu kemarahan warga di Papua. Kericuhan pecah di sejumlah daerah, seperti di Sorong, Manokwari, Fakfak, Timika, Abepura dan lainnya. Beberapa fasilitas umum termasuk kantor DPRD dirusak massa.
Sejumlah personel TNI diperiksa secara internal terkait perlakuan mereka kepada mahasiswa asrama. Polisi juga mengusut sejumlah orang yang diduga menyebar ujaran kebencian saat pengepungan.
Namun, soal foto bendera Merah Putih yang ditemukan terbuang di got, tak banyak menjadi sorotan.
Foto bendera Merah Putih yang dibuang di got itu kali pertama beredar melalui grup WhatsApp, sehingga memicu pengepungan. Soal siapa yang buang bendera, masih jadi misteri.
"Kondisi bendera itu kami tahu dari grup WhatsApp. Saya tidak melihat dengan mata sendiri. Tapi yang semua yang melihat pasti emosi," kata perangkat RW setempat yang tak mau disebutkan namanya.
Foto itu lantas diunggah oleh sejumlah media massa dengan kredit ”dok” alias dokumentasi. Ada pula yang memberi kredit ”istimewa” seperti Eramuslim.com atau liputanindonesia.co.id.
Saya mencoba menelusuri peredaran foto itu melalui peramban Google. Foto tiang bendera bengkok di dalam got itu kali pertama diunggah oleh liputanindonesia.co.id, tanggal 16 Agustus 2019.
Setelah dicek, foto yang beredar tersebut ternyata tidak memiliki metadata atau data informasi tentang spesifikasi kamera, lokasi dan waktunya.
Artinya, sebelum foto itu disebar, metadatanya telah dihapus.
“Era digital saat ini, manipulasi gambar atau foto bisa dilakukan melalui banyak cara dan dari berbagai sumber,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Setiap gambar, foto, atau video yang beredar di dunia maya harus divalidasi kebenarannya. “Termasuk foto tiang bendera yang bengkok di dalam got di area asrama itu.”
“Untuk melacak siapa yang memproduksi foto kasus bendera yang memicu insiden asrama Papua di Surabaya itu, dilihat dari metadatanya,” kata Damar.
Namun, yang menjadi masalah, metadata foto tersebut telah dihapus oleh si pemilik awal sebelum diedarkan.
Sementara di lain sisi, tidak semua orang tahu cara untuk menghapus metadata. Yang bisa menghapusnya adalah orang-orang menguasai teknologi informasi.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa metadata foto itu dihapus?” kata saya kepada Damar.
“Berati maksud dari penyebaran foto itu bukan untuk mengungkap fakta dari peristiwa itu, tetapi ada maksud lain, yaitu untuk memprovokasi,” tegasnya.
Skenario Perusakan Bendera?
"ANDA PENGKHIANAT, Anda mendanai gerakan separatisme ini," teriak orang-orang kepada perempuan bertubuh kecil yang berdiri di antara massa aksi, bulan Desember 2018.
Orang-orang yang sama melempari perempuan dan massa aksi itu memakai batu. Dia terpaksa bersembunyi setelahnya.
Perempuan yang dituduh pengkhianat itu adalah Veronica Koman. Dia pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Veronica bersama sekelompok pengacara menuntut secara perdata Polri karena menyerbu dan mengambilalih kantor pusat KNPB pada malam tahun baru 2019.
Ketika mahasiswa Papua di Surabaya menjadi korban persekusi, Veronica ada sebagai pendamping sekaligus pembela mereka.
“Mahasiswa di asrama ini tak tahu menahu soal bendera yang ada di got itu,” tukasnya, sengit.
“Jadi, apa kata polisi, kenapa mahasiswa dalam asrama itu dibawa?” kata saya.
“Ya, bahkan mereka juga enggak tahu, kenapa mereka ditangkap oleh aparat dan digelandang secara paksa ke kantor polisi.”
Intimidasi dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya bukan kali ini terjadi, kata Veronica. Awal Desember 2018, pejabat dan aparat sempat mengusir lebih dari 100 mahasiswa Papua.
“Jadi, bagi kawan-kawan mahasiswa Papua di Surabaya, insiden di asrama itu belum ada apa-apanya kalau dibandingkan kejadian-kejadian sebelumnya,” tutur Veronica.
Secara umum, Veronica menegaskan penyerangan terhadap mahasiswa Papua semakin intensif dalam kurun waktu dua tahun belakangan.
“Hampir setiap bulan terjadi, di daerah yang berbeda-beda. Seperti penyerangan asrama mahasiswa asal Papua di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Semarang, Bali, Sulawesi, Maluku dan Ternate. Aparat TNI dan Polri terlibat dalam mengintimidasi, mempersekusi mahasiswa tersebut.”
Bagi Veronica, kasus intimidasi dan persekusi terhadap mahasiswa Papua yang paling parah terjadi di Ternate.
“Mereka dipukuli, ditendang, dibentak-bentak, dicaci maki, disebut monyet, bahkan sampai dibotakin. Para mahasiswa itu jemur, dipaksa untuk memasang bendera. Mereka diperlakukan bak teroris.”
Tapi, semua intimidasi terhadap mahasiswa Papua itu belum sebanding dengan penderitaan warga di Nduga, Papua.
“Ribuan warga Papua di Nduga mengungsi ke hutan-hutan setelah insiden beberapa waktu lalu itu. Banyak juga yang tewas dalam kontak senjata antara OPM dan TNI Polri,” Veronica menjelaskan.
Veronica menilai, aparat kepolisian juga diskriminatif. Sebab, warga yang terlibat dalam kerusuhan di beberapa daerah Papua setelah insiden Surabaya, lebih cepat penanganannya.
Dia memberi contoh, pelaku kerusuhan di Manokwari, dan Timika, yang pada hari itu juga ditangkap polisi.
“Tapi pelaku intimidasi dan persekusi mahasiswa Papua di Surabaya belum ada satu pun yang ditahan. Padahal di video, jelas kelihatan pelakunya.”
Hal dasar yang tak bisa diterima mahasiswa Papua dalam kasus Surabaya adalah, mereka tak diperlakukan manusiawi.
“Mereka diperlakukan seperti teroris, padahal polisi yang menggunakan senjata lengkap berompi itu hanya menangkap anak-anak mahasiswa yang sudah kelaparan selama 2 hari.”
Sakit Hati ke Media Massa
VERONICA MENGAKUI mendapat banyak kesaksian dari belasan mahasiswa itu. Mereka, kata Veronica, dipaksa turun dengan merayap dan jongkok dari lantai dua hingga ke luar asrama.
“Saya dengar mereka dibentak-bentak, dicaci maki, disebut monyet, dicaci dengan kata-kata kotor oleh aparat,” ungkapnya.
Belum lagi media-media massa yang mayoritas mengambil sudut pemberitaan merugikan mahasiswa Papua.
“Mereka disudutkan media. Padahal mereka korban, tapi pernyataannya banyak dipelintir. Akhirnya, mereka kini tak mau diwawancarai oleh media massa Indonesia,” ungkapnya.
Benar-benar sakit hati, begitulah kata Veronica perihal perasaan mahasiswa Papua di Surabaya terhadap pemberitaan media massa Indonesia.
“Sakit hati anak-anak itu. Mereka kecewa omongannya banyak dipelintir. Seperti berita Kumparan yang menyebut ’Mahasiswa Papua Patahkan Tiang Bendera’ yang bagi mereka berita itu memutarbalikkan fakta.”
Sakit hati mahasiswa Papua di Surabaya juga ditujukan kepada pemerintah setempat.
“Mereka merasa selalu ditipu, seperti pertemuan Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, yang makan-makan dengan mahasiswa Papua, mereka merasa dijebak.”
Veronica menjelaskan, undangan Pemkot Surabaya kepada mahasiswa Papua adalah terkait peluang beasiswa.
“Tapi ternyata, hanya untuk panggung wali kota di hadapan media. Mahasiswa Papua yang makan-makan dengan Risma itu juga sudah mengklarifikasi ke rekan-rekannya, bahwa mereka dijebak,”tegasnya.
Luka perasaan mahasiswa Papua tersebut sebenarnya sudah bertumpuk-tumpuk, kata Veronica. Bahkan, sudah terjadi sejak tahun 1961, ketika Indonesia memasukkan Papua sebagai bagian dari negara.
“Termasuk Jokowi waktu kampanye menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM kerusuhan di Paniai, yang sampai sekarang tidak ada aksinya. Jadi solusi menurut mereka untuk mengakhiri rasialisme yang terjadi ini adalah referendum.”
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.