Senin, 01 Jan 2024
Balita di Gunung Pedang, Makna Merdeka bagi Putra Kartosoewirjo DI/TII Home > Detail

Balita di Gunung Pedang, Makna Merdeka bagi Putra Kartosoewirjo DI/TII

Reza Gunadha | Muhammad Yasir

Selasa, 20 Agustus 2019 | 07:30 WIB

Suara.com - Hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berakhir di ujung bedil sebarisan tentara republik. Pendiri sekaligus imam besar DII/TII itu sudah lama rebah. Belakangan, putranya menyudahi perjuangan ayahanda, memilih kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

SATU RUMAH di Malangbong, Garut, Jawa Barat, tampak lebih besar dari yang lain. Sehelai bendera Merah Putih berkibar di ujung tiang yang tegak berdiri di depan rumah bercat dominan hijau toska.

Matahari tengah terik-teriknya ketika saya berdiri di depan gerbang pintu besi bewarna putih rumah itu, Jumat (16/8/2019), bakda Jumatan, persis pukul 14.15 WIB. Tapi semilir angin musim kemarau yang berembus rasanya cukup untuk menahan keringat yang keluar dari pori-pori saya.

Dari dalam, sang empu rumah, lelaki berusia 63 tahun, dengan langkah berat, pelan-pelan menghampiri saya. Lelaki berbaju koko putih dan celana bahan hitam itu lantas membukakan pintu gerbang, mempersilakan saya masuk.

“Silakan masuk,” katanya, “Parkir mobilnya di dalam saja.”

Lelaki itu Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII dan Imam Negara Islam Indonesia (NII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Perlahan saya dan Sardjono berjalan melewati halaman rumahnya yang cukup luas menuju pintu utama rumah.

Di halaman luas itu terdapat kebun berukuran mini yang di tanami berbagai pepohonan, seperti labu dan singkong. Ada pula kolam ikan berukuran sekitar 4x4 meter.

“Ikan apa itu Pak Haji? Mujair ya?” tanya saya.

“Iya untuk iseng-iseng saja lah itu mah,” jawabnya.

“Yuk silakan masuk.”

“Iya pak, saya izin mau merokok dulu sebentar,” kata saya.

“Ya sudah saya buatkan kopi ya.”

Mulut saya benar-benar sudah asam sejak dalam perjalanan, belum terkena nikotin. Saya lantas membakar sebatang rokok sembari melihat-lihat sekitar rumah.

Sembari merokok, mata saya tertuju pada pintu kayu berwarna cokelat yang menghubungkan rumah ke sebuah warung milik Sardjono.

Pada bagian atas pintu kayu tertempel stiker caleg berwarna putih dengan logo Partai Gerindra lengkap dengan nomor urut angka 6 yang sudah mulai memudar: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Nomor 2 Sardjono”.

Terlihat pula foto Sardjono tengah menjabat tangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada stiker itu, seperti pada umumnya foto-foto caleg saat berkampanye.

 “Itu pas Pemilu tahun 2014,” kata Soerdjono. Saya tak sadar dia sudah kembali.

“Menang Pak?”

“Eleh (kalah), karena enggak punya uang,” katanya, tertawa.

“Kemarin juga kalah,” katanya.

“Oh mencalonkan lagi Pak?”

“Iya tapi di PPP,” kata Sardjono.

“Itu,” kata dia.

Telunjuk Sardjono mengarah ke stiker dirinya saat menjadi Caleg PPP untuk DPR RI Dapil Jawa Barat XI meliputi Garut, Kabupaten Tasik, Kota Tasik yang menempel pada sebuah kaca jendela.

“Saya sih sudah yakin kalah, karena enggak punya uang, tapi enggak apa-apa lah buat pengalaman, ha-ha-ha-ha.”

Hayuk masuk,” sambungnya.

Hidangan tersaji di meja ruang tamu. Sang empu rumah telah menyiapkan semua untuk menyambut kehadiran saya. Buah pepaya, keripiki pisang, dan kue tampak berjejer di meja.

“Ayo dimakan,” ucapnya.

Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII Sekar Maridjan Kartosoewirjo dirumahnya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Adit]
Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII Sekar Maridjan Kartosoewirjo dirumahnya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Adit]

Balita di Palagan Gunung Pedang

“DREDET... DREDET… DREDET..” peluru dari senapan bren pasukan TNI memecah kesunyian yang biasanya bergelayut di belantara hutan Gunung Pedang, Garut, Jabar, April 1962.

Sebarisan pasukan TNI yang sudah menghabiskan satu magazine bergerak ke belakang, mengisi peluru. Satu barisan lain maju ke hadapan, kembali memuntahkan peluru ke banyak penjuru.

Orang-orang yang berlarian menyalamatkan diri tak menjadi sasaran. TNI khusyuk menembaki kamp di tengah, tempat gerilyawan DI/TII melawan, agar terpecah.

Sebanyak 500 orang gerilyawan DI/TII pada palagan Gunung Pedang yang dipimpin langsung Kartosoewirjo berhamburan.

Sang imam memerintahkan anak buahnya untuk segera mengungsikan anak-anak dan kaum ibu dari medan perang yang kacau balau.

”Selamatkan mereka. Anak-anakku... anak-anakku juga, minta mereka menyingkir,” perintah Kartosuwirjo dari balik persembunyian yang hampir bobol.

Para gerilyawan kaget, karena tak menyangka pasukan TNI berhasil menemukan dan mencapai tempat persembunyian mereka.

Sementara desing peluru senapan bren TNI tak kunjung berhenti, ”Ratatatat... ratatatat... ratatatat.”

Satu balita berusia 5 tahun ada di palagan itu. Dialah Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo. Bersama empat dari lima saudara kandung, Sardjono erat-erat digandeng ibunya, Dewi Siti Kalsum. Mereka sudah sejak lama mengikuti jejak sang ayah, menyingkir ke pedalaman hutan demi menghindari TNI.

Mata bocah 5 tahun itu menampakkan kebingungan. Ia selalu mengikuti apa yang disuruh sang ibu. Ketika TNI semakin merangsek maju, Sardjono bersama dua kakak perempuannya, Kartika dan Komalasari, dilarikan oleh sang ibu.

Sang ayah dan dua kakak laki-laki Sardjono berada tak lebih dari selemparan batu dari mereka. Namun, peluru memisahkan jarak mereka, tak mungkin mereka bersatu.

“Kita berpisah di sini. Insya Allah, kita akan bertemu kembali dalam keadaan hidup,” kata Kartosoewirjo kepada Siti Kalsum, cepat-cepat.

Kartosoewirjo dilarikan para pengikutnya bersama dua kakak laki-laki Sardjono, yakni Tahmid Basuki Rahmat dan Dodo Mohammad Darda.

Rombongan Siti Kalsum yang dikawal sisa-sisa pasukan DI/TII tetap diburu TNI. Mereka tak berhasil keluar dari Gunung Pedang.

“Umi, anak-anak imam… anak-anak imam harus selamat, umi,” kata komandan pengamanan kepada Siti Kalsum.

”Kita tak mungkin bisa melawan kalau ada anak-anak, umi. Ingat kata imam. Langkah kita sulit,” kata komandan pelindung mereka.

Siti Kalsum tak punya pilihan. Dia lantas menyerahkan Sardjono, Kartika, dan Komalasari kepada perempuan pengasuh mereka.

Bersama sedikit pasukan, anak balita bersama dua kakak dan pengasuhnya turun gunung. Tapi, mereka tak benar-benar keluar dari hutan itu.

***

DUA BULAN BERLALU, Juni 1962, satu pesawat milik TNI berputar-putar rendah di langit atas Gunung Pedang, Garut.

Dari perut pesawat itu digelontorkan kertas-kertas berisi pesan: Imam Kalian, SM Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kalsum sudah tertangkap! Dibawa pasukan Kodam Siliwangi ke Cipanas!

Foto Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kalsum terpampang dalam selebaran pesan yang dijatuhkan dari pesawat milik TNI.

Ada dua pesan yang disebut ditulis oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo untuk pasukan DI/TII yang masih berada di hutan Gunung Pedang, Garut.

“Pertama, saya minta hentikan tembak-menembak. Kedua, kembali kepangkuan Republik Indonesia,” demikian dua pesan sang imam dalam selebaran TNI itu.

Pada bagian bawah selebaran tertulis: “Segera menghubungi pos-pos TNI terdekat dengan membawa perkakas perang dan dokumen-dokumen— Ttd Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie.”

Satu selebaran mendarat tepat di sekitar persembunyian pengasuh putra dan putri sang imam. Pikiran si pengasuh membuncah.

Tapi akhirnya ia memutuskan, Sardjono, Kartika, dan Komalasari harus turun gunung, menemui ayah dan ibunya yang sudah ditahan. Biarlah mereka sanak-beranak tetap bersama, meski berstatus tak lagi orang bebas.

Sisa pasukan DI/TII berembuk, mengatur cara agar ketiga anak itu berhasil sampai tujuan. Mereka khawatir, ketiganya dieksekusi mati oleh pasukan TNI di lereng gunung.

Akhirnya disepakati, satu anak imam harus dibawa oleh seorang perempuan. Mereka harus diakui sebagai anak kandung pengasuhnya masing-masing.

Maka, turun gununglah Sardjono, Kartika, dan Komalasari didampingi oleh pengasuhnya sendiri-sendiri. Mereka turun gunung gunung melewati beberapa pos penjagaan TNI yang telah mengepung pasukan DI/TII di sekeliling hutan. 

Pada pos penjagaan pertama, masing-masing pengasuh mengakui Sardjono, Kartika, dan Komalasari adalah anak mereka.

Pos penjagaan satu berhasil mereka lewati. Para Pengasuh kembali menuruni hutan Gunung Pedang, Garut menuju pos penjagaan selanjutnya di Tambakbaya, Garut.

Sesampai di pos Tambakbaya, pangasuh akhirnya mengakui kepada pasukan TNI anak-anak yang mereka bawa merupakan putra dan putri sang Imam DI/TII Kartosoewirjo.

“Kenapa tadi ibu bilang sebelumnya katanya anak?” tanya petugas jaga.

“Takut ditembak, kalau tahu anak imam. Jadi kami lindungi dengan mengaku anak. Tugas kami melindungi anak-anak ini walau dengan darah,” kata si pengasuh.

Mengetahui ketiga anak yang dibawa pengasuh tersebut adalah darah daging gembong DI/TII, komandan pasukan TNI yang berjaga di Pos Tambakbaya langsung membuat pesta perayaan.

Hidangan mewah disajikan, hiburan wayang golek digelar untuk merayakan tertangkapnya anak sang Imam DI/TII.

Sardjono si balita senang dengan perayaan yang dibuat para tentara. Dia pikir, itu adalah pesta untuk merayakan dirinya yang sudah bersunat.

”Dalam pikiran saya waktu itu, perayaan di pos kayak pesta sunatan. Saya sudah pasti senang, ada banyak sate ati, bekakak ayam (ayam bakar) juga ada,” kata Sarjdono, mengenang peristiwa 57 tahun silam.

***

TIGA HARI SARDJONO, Kartika, dan Komalasari serta pengasuh-pengasuh mereka diinapkan di pos TNI Tambakbaya.

Mereka kemudian diajak menuruni hutan menuju Ciumbuleuit, Bandung, untuk menemui sang ibu Dewi Siti Kalsum atas perintah Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie.

Sardjono, Kartika, dan Komalasari akhirnya tiba di Ciumbuleuit. Di sana mereka bertemu Dewi Siti Kalsum. Namun, sang ayah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tidak ada  di sana.

Imam DI/TII itu sedang dalam masa pengobatan akibat terkena tembakan saat bergerilya di hutan. Penyakit diabetes yang diderita Kartosoewirjo,membuat sang imam harus mendapatkan pengobatan khusus agar luka tembaknya lekas mengering.

Ketiganya melepas kangen dengan Siti Kalsum. Tapi tak ada tangisan.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tiba di Ciumbuleuit setelah luka tembaknya sedikit membaik. Dia bersama sang isteri Dwi Siti Kalsum dan kelima anaknya berkumpul untuk kali pertama setelah sempat terpisah.

Namun, momen berkumpulnya keluarga Imam DI/TII itu tak berselang lama. Sekitar pertengahan Agustus 1962, Kartosoewirjo harus kembali berpisah dengan keluarganya.

Kartosoewirjo diangkut ke Jakarta guna menjalani persidangan di Mahkamah Darurat Perang atas tuduhan memimpin dan mengatur penyerangan, hendak merobohkan pemerintahan RI yang sah, dan membunuh presiden.

“Bapak ke kota, ke Jakarta, mau diadili. Kita terima saja, namanya sudah takdir Allah,” kata Siti Kalsum kepada anak-anaknya.

Mereka baru kembali bertemu pada perjamuan terakhir SM Kartosoewirjo, sesaat menjelang ditembak mati.

Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII Sekar Maridjan Kartosoewirjo dirumahnya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Adit]
Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu pendiri DI/TII Sekar Maridjan Kartosoewirjo dirumahnya, Malangbong, Garut, Jawa Barat, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Adit]

Di-bully Anak PKI

DEWI SITI KALSUM merupakan anak amtenar. Semasa kecil, dari urusan mandi hingga makan selalu dilayani oleh pengasuh dan pembantu.

Tapi, tahun 1964 menjadi titik balik kehidupan putri tuan tanah tersebut. Setelah sang suami, SM Kartosoewirjo dieksekusi mati, Dewi seorang diri mengurusi keenam anaknya yang masih kecil-kecil.

Dia sempat berpindah-pindah tempat tinggal, hingga akhirnya bersama keenam anaknya: Tahmid Basuki Rahmat, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, Danti, dan Sardjono menetap di Malangbong, Garut.

Siti Kalsum perlahan mulai membiasakan diri hidup mandiri. Sebagai kepala keluarga yang harus menghidupi keenam anaknya, ia belajar berkebun bersama penduduk lain.

Berkebun singkong, pisang, jagung, kelapa dan lainnya menjadi bekal Dwi Siti Kalsum untuk menghidupi anak-anaknya.

Istri sang imam bukanlah wanita yang suka bicara atau kerap berbagi cerita kepada anak-anaknya tentang bagaimana perasaannya ketika itu.

Bayangkan saja, bagaimana perasaan perempuan yang sedari kecil biasa hidup enak namun harus berjibaku mengurusi anak-anaknya.

“Cuma ibu itu orangnya tabah. Dia bisa tersenyum dalam suka maupun duka, walaupun hatinya menangis,” kata Sardjono meneruskan nostalgia mengenai masa kecil dan remajanya.

Sardjono ikut membantu ibu di kebun. Tapi tak berarti dia putus sekolah. Sardjono tetap mengenyam pendidikan di salah satu sekolah dasar di Garut.

Menyandang nama belakang sang ayah, Sardjono kecil kerap disindir sebagai anak gerombolan DI/TII.  Perlakuan tidak enak itu  justru bukan dari teman-teman, tapi warga saat ia berjalan ke sekolah.

 “Tah eta anak gerombolan, tah eta anak gerombolan,” bisik Sardjono kepada saya, menirukan cemoohan terhadapnya dulu.

Tapi, selepas tahun 1965 ketika Bung Karno dilengserkan dan Soeharto bersama Orde Baru-nya berkuasa, cemoohan terhadap Sardjono ikut hilang.

Ternyata, orang-orang yang kerap menyidir dirinya sebagai anak gerombolan DI/TII tidak lain merupakan anak-anak simpatisan PKI—musuh bebuyutan DI/TII.

“Setelah 1965 itu hilang. Ternyata yang mencemooh saya itu, bapak-bapaknya PKI. Jadi, waktu Orba berkuasa, mereka tak berani lagi.”

‘Tak Mungkin Khilafah’

DUA KALI SARDJONO mencoba peruntungan lewat kontestasi politik, tapi selalu gagal. Tahun 2014, di mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI Dapil XI Jabar lewat Partai Gerindra.

Semua berawal dari persamuhannnya dengan petinggi Gerindra, Fadli Zon. Tapi, tahun 2014 itu dia gagal.

Pemilu 2019, Sardjono kembali mencoba menjadi caleg. Kali ini dari PPP, tapi hasilnya sama saja, dia kalah.

“Masuk partai politik itu strategi untuk melanjutkan cita-cita perjuangan politik Kartosoewirjo, agar Indonesia bisa menjadi Negara Islam Indonesia?” kata saya penasaran.

“Tidak, tidak mungkin partai-partai itu mau mengusung beban seberat itu. Roboh partainya,” kata Sardjono.

“Lagi pula, cita-cita NII yang mau dicapai bapak dulu tidak sama dengan kondisi saat ini. Waktu bapak mau mendirikan NII kan karena kekosongan kekuasaan di Jabar, akibat perjanjian Renville. Wilayah, pasukan militer, sipil DI/TII waktu itu jelas jumlahnya.”

“Jadi, kalau ada yang ingin mendirikan NII saat ini, bagaimana menurut anda?” cecar saya.

“Ya, kalau ada yang mau begitu, tidak lain adalah bughat atau gerombolan pemberontak,” tegasnya.

Sardjono mengakui sudah tiga kali bertemu dengan orang-orang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.

“Saya juga sebenarnya pernah ikut HTI, tiga kali pertemuan, saya pikir ini organisasi apaan? Ingin mendirikan khilafah sedangkan mereka ini ormas.”

“Kalau menurut saya ini enggak mudeng ini, enggak nyambung gitu.”

Bagi Sardjono, sistem khilafah tak mungkin ditegakkan di Indonesia. “Apalagi orang-orangnya seperti HTI itu tak punya cukup nyali.”

Pada tanggal 19 Juli 2017,pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mencabut status badan hukum ormas HTI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017.

Pencabutan tersebut dilakukan sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

“Baru Jokowi mengeluarkan selembar kertas buat membubarkan. Belum keluar tank baja, belum Kopassus, sudah bubar itu HTI. Penakut artinya itu HTI he-he-he-he,”candanya.

Mantan anggota Harokah Islam Indonesia, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Negara Islam Indonesia (NII) membacakan ikrar setia pada Pancasila. (Suara.com/Arga)
Mantan anggota Harokah Islam Indonesia, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Negara Islam Indonesia (NII) membacakan ikrar setia pada Pancasila. (Suara.com/Arga)

Ikrar Setia Tanpa Sang Istri Tahu

Selasa 13 Agustus 2019, Sardjono memimpin 13 rekannya berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, di lantai 6 Gedung Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Ketiga belas orang itu adalah mantan anggota Harokah Islam, eks DII/TII, dan eks NII anak buah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Semua bermula ketika salah satu pejabat di Deputi VI Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemkopolhukam mengajak Sardjono untuk membarui ikrar setia NKRI dan Pancasila beberapa hari menjelang peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan RI.

Sardjono secara spontan langsung menyetujuinya. Memang, dalam benak pikiran Sardjono, dirinya sudah merasa setia kepada NKRI dan Pancasila.

Dia lantas menghubungi anak buahnya yang berada di Banten dan mengajak lima orang perwakilan dari sana ke Jakarta.

Sisanya, sebanyak enam orang merupakan perwakilan dari Garut yang dibawa oleh Aceng Mi'raj Mujahidin Sibaweh, putra Imam DI/TII terakhir H Yudi Muhammad Aulia sekaligus cucu KH Yusuf Taujiri dan Profesor Anwar Musaddad, pendiri DI/TII.

“Mereka langsung setuju dan menerima untuk diajak sumpah ikrar setia NKRI dan Pancasila?” tanya saya.

“Yang saya bawa itu lima orang dari ring Banten, yang selebihnya dibawa Aceng Miraj dari Garut, saya enggak tahu.”

“Kalau yang ring saya di Banten, dia itu apa saja yang saya bawa, apa yang saya katakan dia ikut, Sami'na Wa Atho'na, enggak ada pertanyaan lagi.”

“Kalau anak buah yang sudah jadi, ya begitu. Sebab tahu kalau ada masalah, pasti saya yang akan paling berat.”

Selasa 13 Agustus 2019 pagi, Sardjono berangkat ke Jakarta untuk berikrar setia kepada NKRI dan Pancasila tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya. Sardjono hanya berpamitan hendak ke Jakarta untuk menemui Menkopolhukam Wiranto.

“Apa yang mau dibicarakan dengan Wiranto? Kata istri saya.”

“Ya enggak tahu orang belum ketemu,” jawab Sardjono ketika itu kepada istrinya.

Padahal dia sudah mengetahui hendak mengambil ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila.

“Apa respons keluarga saat mereka tahu?” tanya saya.

“Biasalah isteri saya komentar, kok tahu-tahu ada di televisi?”, kata Sardjono sembari berkelakar, “Namanya juga takdir, ha-ha-ha-ha.”

Tak ada yang haru saat membaca ikrar itu. Sebab, Sardjono merasa dirinya sudah setia kepada negara, jauh sebelum berucap ikrar.

“Tidak ada merasa haru?” tanya saya.

“Waduh itu mah action aja biar terlihat bagus di gambar. Pan saya mah memang sudah setia sama NKRI dan Pancasila, apa masalahnya he-he.”

“Dengan  berikrar itu apa Anda merasa mengkhianati cita cita SM Kartosoewirjo?”

“Ya enggak lah, dia juga pesan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Artinya kembali ke pangkuan Pancasila.”

“Menghentikan tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia itu kan artinya juga setia kepada Pancasila,” kata Sardjono kembali mengingat pesan terkahir Kartosoewirjo dalam selebaran yang disebar dari pesawat TNI saat dirinya di hutan Gunung Pedang.

Bagi Sardjono, SM Kartosoewirjo sejatinya juga mencintai NKRI meski berbeda jalan. “Buktinya, dia dulu tak mau berkompromi dengan penjajah Belanda.”

Tahun 1946, Kartosoewirjo aktif sebagai wakil Masyumi daerah Priangan, konsisten dengan sikap politiknya yang nonkooperatif pada kaum penjajah.

Kartosoewirjo menolak perjanjian Linggarjati dan Renville yang mengasilkan pembagiaan wilayah kekuasaan antara Indonesia dan Belanda, yang dikenal dengan perbatasan garis Van Mook.

Ketika itu, Jawa Barat merupakan wilayah yang tidak masuk ke dalam wilayah kekuasaan Indonesia.

Kartosoewirjo dan laskar Hizbullah yang dibentuknya menolak meninggalkan Jawa Barat untuk hijrah ke Yogyakarta, inilah yang menjadi pangkal silang pendapat dengan para pembesar republik.

Sang imam justru memilih bersama laskar Hizbullah bergerilya dari Cirebon, Cicalengka, dan Blubur-Garut, dan membentuk Tentara Islam Indonesia.

Kekinian, setelah 57 tahun setelah sang ayah dieksekusi mati, cita-cita sang imam mendirikan NII dibiarkannya menjadi kisah klasik.

“Cita-cita itu biarkan saja. Kita enggak bisa direalisasikan. Emang cita-cita negara Islam bisa sekarang? Ya enggak bisa, wong negara sudah ada.”

Terbaru
30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis
polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji? polemik

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji?

Jum'at, 13 September 2024 | 09:54 WIB

Pada prosesnya nanti, KPK harus mengusut pihak yang memberikan dan memastikan maksud pemberian dugaan gratifikasi itu.