Suara.com - Aroma anyir air dalam gorong-gorong depan Hotel Mandarin, Jakarta, tiga belas tahun silam, menjadi saksi bisu lahirnya mitos politik kontemporer Indonesia: populisme Jokowi.
Publik tertegun menyaksikan aksi Joko Widodo yang tanpa ragu melesak masuk ke dalam gelapnya gorong-gorong.
Kala itu, di tengah dahaga publik akan sosok pemimpin yang "berbeda", aksi tersebut panen pujian. Ia dipandang sebagai simbol keberanian, gaya baru dalam melihat masalah dari titik nadir—dari bawah.
Dari gorong-gorong ibu kota, Jokowi memulai narasi tentang pemimpin yang bersedia mengotori tangannya demi rakyat.
Namun kini, setelah satu dekade berlalu, momen itu oleh sebagian besar publik justru dikenang sebagai fajar dari politik simbol. Era di mana kedekatan emosional lebih mudah dibangun lewat kekuatan citra ketimbang kedalaman kebijakan.
Bertahun-tahun kemudian, cerita itu diuji: seberapa jauh sebuah simbol bisa bertahan ketika keputusan-keputusan politik justru terasa semakin berjarak dari tanah yang ia pijak?
![Infografis membaca kembali populisme Jokowi. [Suara.com/Aldi]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/12/30/46069-infografis-populisme-jokowi.jpg)
Mantra Bernama Blusukan
Jokowi adalah orang pertama yang memopulerkan istilah blusukan dalam dunia politik, yang lalu diserap masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Tapi, blusukan bukan sekadar kata. Ia adalah mantra yang menghipnotis telinga masyarakat.
Tak sekadar merujuk pada kunjungan kerja seremonial, blusukan adalah cara Jokowi "mendekatkan kekuasaan" kepada mereka yang terpinggirkan.
Ia datang tanpa jarak, melihat dari dekat, dan menyapa langsung warga yang ditemuinya di lapangan dengan bahasa yang membumi.
Sejak masih menjabat Wali Kota Solo, Jokowi kerap terlihat menyusuri lorong pasar tradisional yang becek, berdiri di lorong sempit permukiman, atau berbincang singkat dengan pedagang kecil.
Pola ini berlanjut saat ia menakhodai DKI Jakarta. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, blusukan menjadi penanda gaya kepemimpinannya: sederhana, kasual, dan seolah tanpa sekat.
Salah satu fragmen yang paling membekas terjadi pada Rabu siang, 26 Desember 2012. Di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), jantung Jakarta yang mentereng, Jokowi meninjau saluran air yang disinyalir menjadi biang keladi banjir.
Kamera-kamera merekam dengan rakus saat ia mendekat ke mulut gorong-gorong, memperhatikan aliran yang tersumbat dengan saksama.
Jokowi, yang saat itu mengenakan seragam biru KORPRI, berdiri di tepi saluran sempit, sesekali menunduk untuk memahami persoalan dari jarak yang amat dekat.
Dari momen itulah citra Jokowi sebagai pemimpin 'merakyat' mengeras menjadi beton persepsi, meskipun daerah tersebut tetap dihampiri banjir pada tahun-tahun berikutnya.
Bagi sebagian orang, itu adalah refleksi keberanian. Namun bagi sebagian lain, aksi tersebut adalah simbol yang terlalu kuat, bahkan cenderung berlebihan hingga dianggap lebih dekat dengan seni pencitraan politik.
'Populisme Kanan' Jokowi
Gorong-gorong di jantung Jakarta itu nyatanya lebih dari sekadar drainase. Ia adalah panggung tempat Jokowi menjelma menjadi simbol tentang bagaimana seorang pemimpin ingin dilihat.
Dari sana, langkahnya tak terbendung menuju Istana pada Pilpres 2014, membawa narasi 'tukang mebel' yang nyaris sempurna untuk sosiologi politik Indonesia.
Lahir dari keluarga sederhana di Solo pada 21 Juni 1961, identitas sebagai orang biasa ini dipelihara dengan apik sebagai antitesis elite lama.
Namun, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir melihat ada sisi lain dari pesona ini.
Dia menilai populisme Jokowi lebih condong ke arah populisme kanan—pendekatan yang menonjolkan kebijakan dan simbol menguntungkan rakyat secara kasat mata,tapi minim kritik mendalam.
Populisme jenis ini, menurutnya, efektif membangun popularitas. Di lain sisi, berisiko menutupi agenda politik yang lebih substansial jika tidak diimbangi kontrol masyarakat sipil.
Populisme yang melekat pada Jokowi sejak awal juga sarat pencitraan, Qodir mengingatkan. Publik, menurutnya, terlalu cepat menggantungkan harapan pada simbol-simbol kedekatan dengan rakyat.
"Orang tidak sadar bahwa populisme itu memang amat lekat dengan pencitraan diri," kata Qodir kepada Suara.com, Senin (29/12/2025).
Ajaibnya, "topeng" populisme ini bekerja dengan efektivitas yang mengerikan. Berbagai lembaga survei seperti LSI, SMRC, hingga Indikator Politik Indonesia mencatat citra positif yang konsisten sepanjang masa jabatannya.
Mengambil data dari Survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2024, tingkat kepuasan publik masih berada di angka 75 persen.
Rinciannya, 15,04 persen sangat puas dan 59,92 persen cukup puas. Hanya segelintir yang berani menyatakan tidak puas.
Jika ditarik secara historis, survei Indikator juga mencatat dinamika kepuasan publik sejak awal masa pemerintahan Jokowi. Pada Januari 2015, tingkat kepuasan publik berada di angka 64 persen, seiring berakhirnya fase awal pemerintahan.
Angka tersebut kemudian mengalami kenaikan dan fluktuasi dalam beberapa tahun berikutnya, hingga mencapai 82 persen pada Juli 2024, menjadi salah satu titik tertinggi sepanjang masa jabatannya.
Meskipun, menjelang akhir periode kedua, terjadi koreksi persepsi publik. Pada September 2024, tingkat kepuasan turun menjadi 75 persen, walau masih berada pada level mayoritas.
Angka-angka ini menjadi perisai yang kokoh bagi Jokowi hingga penghujung kekuasaannya. Meski diwarnai fluktuasi, dukungan mayoritas ini seolah memvalidasi bahwa gaya politik simbolis tetap menjadi komoditas mahal di Indonesia.
Tapi lagi-lagi Qodir kembali memberi peringatan keras, angka tinggi tak selalu linear dengan kualitas demokrasi.
Menurutnya, populisme ini cenderung dangkal dan berfungsi layaknya penutup agenda politik yang sesungguhnya.
Berbeda dengan populisme kiri yang bersifat kritis dan berupaya terus mengoreksi kekuasaan.
"Permukaan itu cenderung seperti topeng. Menutupi apa yang menjadi agenda sesungguhnya," ujarnya.
![Dosen Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir. [Suara.com/Lili Handayani]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2018/02/28/16897-dosen-sosial-dan-ilmu-politik-universitas-muhammadiyah-yogyakarta-zuly-qodir.jpg)
Retaknya Narasi di Ujung Jalan
Selama bertahun-tahun, tirai kesederhanaan menutup rapat sisi lain kekuasaan yang jarang tersentuh sorotan kamera.
Di balik angka kepuasan yang menjulang, catatan kritis dari kelompok masyarakat sipil justru menumpuk seperti sampah yang menyumbat gorong-gorong.
Demokrasi yang terasa kian prosedural, ruang sipil yang menyempit, hingga luka pelanggaran HAM yang dibiarkan menganga.
Pada titik inilah, warisan politik Jokowi mulai dibaca bukan semata melalui angka survei, melainkan dari daftar panjang kritik.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merangkum sedikitnya 29 catatan pelanggaran selama dua periode kepemimpinan Jokowi.
Daftar itu menjadi noda bagi narasi populisme yang ia bangun: mulai dari penguatan aparat keamanan, hingga praktik pembangunan yang menggilas hak-hak warga lokal.
Di sini, populisme bertransformasi menjadi selubung bagi kriminalisasi kritik dan pelemahan oposisi sipil.
Kritik tersebut menyoroti paradoks utama kepemimpinan Jokowi, yakni ketika dukungan publik tetap mayoritas, berjalan beriringan dengan melemahnya kualitas demokrasi substantif.
Partisipasi warga memang tetap tinggi dalam pemilu, tetapi ruang kritik dan kontrol terhadap kekuasaan semakin terbatas dan dilemahkan.
"Sekarang itu ya kelihatannya yang disukai adalah populisme yang kanan, pokoknya ini membantu masyarakat, walaupun permukaan, hanya sebentar, kita dukung. Habis itu kecewa kita," tutur Qodir.
![Ilustrasi populisme Jokowi. [Suara.com/Aldie]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/12/30/72329-ilustrasi-populisme-jokowi.jpg)
Politik populis pasca-Jokowi
Sederet kritik dan catatan pelanggaran itu menandai retaknya topeng populisme yang selama ini melekat pada kepemimpinan Jokowi selama dua periode kepemimpinannya menjadi orang nomor 1 di Indonesia.
Gaya pencitraan yang dulu efektif mengonsolidasikan dukungan publik, kini justru perlu dibaca ulang, dikritisi sebagai strategi politik yang tak lagi cukup menjawab persoalan struktural.
Pertanyaannya lantas, apakah model populisme semacam itu masih relevan di tengah lanskap politik yang kian ditentukan oleh media sosial?
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Wawan Mas'udi, menilai relevansi gaya kepemimpinan populis, termasuk pencitraan langsung ala blusukan -- sangat bergantung pada konteks.
"Relevan atau tidak relevan ya tergantung konteksnya, konteks politik di masing-masing tempat," kata Wawan.
Ia menyebut, di sejumlah daerah, model pemimpin yang hadir langsung di tengah masyarakat masih menemukan momentumnya. Terutama ketika publik merindukan kehadiran negara dalam situasi krisis.
![Pakar politik sekaligus Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas'udi memberi keterangan pada wartawan. [Hiskia Andika Weadcaksana / Suarajogja.id]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/05/21/56034-wawan-masudi.jpg)
Menurut Wawan, dalam situasi tertentu seperti bencana alam atau krisis sosial, publik tetap menuntut kehadiran negara secara nyata. Hal itu menunjukkan bahwa populisme berbasis kedekatan emosional belum sepenuhnya ditinggalkan.
Namun, pada level nasional, strategi semacam itu tak bisa lagi berdiri sendiri tanpa substansi kebijakan yang menjawab persoalan mendasar.
Apalagi, Wawan menegaskan, tantangan utama Indonesia bukan semata soal citra kepemimpinan. Melainkan kesenjangan ekonomi dan ketimpangan distribusi sumber daya publik.
Oleh sebab itu, populisme yang dibutuhkan ke depan adalah populisme yang mendorong ideologi kesejahteraan secara lebih merata, bukan sekadar simbol keberpihakan di permukaan.
"Masalah mendasar di Indonesia itu soal kesenjangan ekonomi dan ketidakmerataan distribusi sumber daya publik," ucapnya.
Ia menilai, populisme semacam itu harus diarahkan pada perubahan struktur ekonomi politik yang lebih adil. Termasuk dengan memastikan sumber daya tidak terakumulasi pada segelintir elite.
Untuk mewujudkannya, Wawan bilang peran partai politik dalam hal ini menjadi krusial.
Ia berujar, seharusnya partai politik kembali memainkan fungsi ideologis, merumuskan narasi yang kuat dan menerjemahkannya dalam kebijakan nyata.
"Artinya, kalau kita ingin mendorong populisme, ya populisme yang mendorong ideologi-ideologi kesejahteraan.”
Pada akhirnya, kritik terhadap populisme dan pencitraan bukan semata soal siapa yang pernah berkuasa. Lebih dari itu ada standar kepemimpinan yang perlu dirawat ke depan.
Publik boleh saja terpesona oleh simbol, kedekatan, dan narasi keberpihakan. Namun demokrasi yang matang menuntut lebih dari sekadar citra namun konsistensi.
Pertanyaannya bukan lagi mungkin atau tidak, melainkan apakah publik bersedia menunggu, memilih, dan mengawal pemimpin yang sanggup menanggung konsekuensi antara janji dan perbuatan.
Di titik itulah, demokrasi tak lagi berhenti di prosedur, tetapi mulai menemukan maknanya.
Ijazah tersebut diperlihatkan di hadapan para tersangka dan kuasa hukum mereka.
Momen Jokowi masuk gorong-gorong (26/12/2012) viral lagi, simbol gaya kepemimpinan turun langsung yang memicu nostalgia dan refleksi politik.
Jokowi bahkan siap hadir di persidangan untuk menunjukkan ijazah aslinya dari SD hingga S1
Institusi Polri dinilai menjadi beban bagi Presiden Prabowo Subianto akibat politisasi berlebihan di era Jokowi
KPK kala itu menaksir kerugian negara mencapai angka fantastis: Rp2,7 triliun.
polemik
Kemungkinan besar UMP Aceh tetap menggunakan angka tahun 2025.
polemik
Jakarta darurat lahan makam. Dengan rata-rata 100 jenazah per hari, 69 dari 80 TPU telah penuh
nonfiksi
Warga Gampong Kubu, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, Aceh, kesulitan air bersih. Mereka bingung untuk BAB. Air lumpur pun dikonsumsi.
polemik
Sinar kebintangan Ridwan Kamil benar-benar sirna, terjerat pusaran korupsi BJB, dihantam isu perselingkuhan, hingga kini menghadapi gugatan cerai dari Atalia Praratya
polemik
Permintaan tempat duduk yang berujung makian.
polemik
Beberapa pakar hukum menilai Perpol 10/2025 yang izinkan polisi aktif jabat di pos sipil sebagai pembangkangan konstitusi, hingga pemerintah menerbitkan PP