Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta
Home > Detail

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Selasa, 30 September 2025 | 15:38 WIB

Suara.com - Sejarah seringkali menyimpan luka di balik tembok bisu. Peristiwa 30 September 1965 tak hanya meninggalkan angka korban dan nama-nama yang hilang, tetapi juga kisah manusia yang terperangkap dalam stigma panjang: tapol. Enam dekade kemudian, kota telah berubah. Namun di Salemba, Bukit Duri, dan Nirbaya, aroma masa lalu masih mengendap.

SAYA memberanikan diri menelusuri jejak-jejak bisu itu, mencoba merangkai kembali kisah-kisah yang tersembunyi.

Senin, 22 September 2025. Langit Jakarta cukup terik saat saya memutari kawasan belakang Lapas Salemba. Bangunan penjara di Jalan Percetakan Negara No. 88, Jakarta Pusat, itu masih berdiri kokoh.

Namun, mencari warga yang tahu soal tapol PKI di sini adalah pekerjaan sulit. Kebanyakan warga asli sudah menjual rumah mereka dan pindah, atau telah meninggal dunia.

Generasi yang ada sekarang adalah pendatang atau keturunan yang tidak lagi menyimpan ingatan kolektif tersebut.

Akhirnya, di depan sebuah pos RW, saya bertemu Roni. Pria berusia 51 tahun ini lahir dan besar di kawasan RT 12/RW 4 Rawa Sari, Cempaka Putih, persis di belakang Lapas Salemba.

"Di sini sekarang kebanyakan pendatang," kata Roni, suaranya sesekali samar ditelan pengumuman dari pengeras suara lapas.

"Kalau mau tahu soal tapol PKI di sini sudah susah. Orang-orang tua yang tahu persis sudah meninggal. Kalaupun masih hidup, sudah banyak yang pindah."

Roni bercerita, pengetahuannya soal tapol PKI hanya berasal dari kakeknya yang dulu bertugas di Lapas Salemba.

"Dari cerita yang didengar Roni dari sang kakek, para tapol yang dicurigai PKI tak memiliki perbedaan dengan masyarakat umumnya. Karena, kata kakeknya, banyak dari tapol yang ditangkap tak memiliki keterkaitan dengan PKI."

Aktivitas para tapol di Lapas Salemba cukup beragam, mulai dari berkebun hingga membuat perabotan.

"Enggak dibayar pakai uang. Warga misalnya minta bikinin kursi, habis itu mereka dikasih rokok atau makanan. Itu, kata Kakek saya mereka sudah senang banget," ujar Roni.

Dia tidak tahu persis berapa lama mereka ditahan, namun beberapa tapol memilih menetap di sekitar Lapas Salemba setelah dibebaskan, bahkan ada yang bekerja menjadi tukang kebun atau pembantu bagi polisi militer.

"Tapi sekarang seperti saya bilang, banyak yang pindah atau meninggal. Kalaupun ada, paling keturunannya."

Setelah tak menemukan informasi lebih lanjut, sekitar pukul 14.30 WIB, saya bergeser ke Lapas Cipinang.

Sayang, di sana saya tidak banyak memperoleh informasi. Pengamanan yang sangat ketat saat digunakan menempatkan tapol PKI menyebabkan tidak ada interaksi dengan warga sekitar.

Bukit Duri Plaza: Bekas Penjara Perempuan yang Terlupakan

SETELAH Ashar, sekitar pukul 15.30 WIB, saya bergeser ke Pusat Ruko Bukit Duri Plaza.

Tiba sekitar pukul 16.00 WIB, saya disambut ruko-ruko yang mulai tutup dan para pedagang yang bergegas merapikan dagangan.

Siapa sangka, kawasan modern ini dulunya merupakan penjara khusus perempuan, Lapas Bukit Duri, yang menjadi saksi bisu perjalanan para tapol perempuan yang dianggap bagian dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Saya memutari hampir seluruh blok pertokoan, mencari warga sepuh yang mungkin mengetahui sejarahnya.

Beberapa orang saya temui, namun banyak di antaranya adalah pendatang. Hari semakin sore, mendung menggantung setelah seharian cuaca cukup terik.

Kawasan Pertokoan di Bukit Duri. Lokasi ini disebut-sebut pernah berdiri lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus perempuan yang menampung tahanan-tahanan politik Orde Baru usai meletusnya G30S. [Suara.com/Yaumal]
Kawasan Pertokoan di Bukit Duri. Lokasi ini disebut-sebut pernah berdiri lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus perempuan yang menampung tahanan-tahanan politik Orde Baru usai meletusnya G30S. [Suara.com/Yaumal]

Saya kembali berkeliling dan akhirnya bertemu Iin, seorang perempuan berusia 83 tahun.

Saat itu, ia sedang berbenah merapikan gerobak kopinya, sebuah kontainer berukuran 2x1,5x2 meter, persis di pintu masuk kendaraan ke Plaza Bukit Duri.

"Sudah berubah jauh," kata Iin, yang lahir pada 1 Januari 1942 dan masih menetap di kawasan Bukit Duri hingga kini.

Meski sudah sepuh, Iin masih sehat dan bugar, ingatannya pun masih kuat. Obrolan kami berlangsung sekitar 30 menit.

Gerobaknya berada persis di samping pintu masuk kompleks ruko yang dulunya adalah gerbang masuk ke Lapas Bukit Duri.

Iin bercerita, tidak banyak interaksi antara warga dengan penghuni lapas. Bangunan Lapas Bukit Duri dikelilingi tembok tinggi dan kawat berduri.

Ia masih ingat betul, beberapa waktu setelah G30S PKI meletus, lapas itu tiba-tiba didatangi truk-truk yang mengangkut perempuan.

“Beberapa perempuan yang dibawa, datang dengan keadaan luka-luka.”

“Kalau ingat itu saya ngeri. Ada yang telinganya hilang, ada yang masih berdarah, ada yang bekas sayatan di tangannya. Pokoknya ngeri deh,” kenangnya.

Kengerian itu tak berhenti di sana. Beberapa tahun berselang, santer terdengar kabar adanya tahanan yang bunuh diri.

"Hampir setiap hari selalu ada," ujarnya.

Menurutnya yang paling tragis, ada tahanan yang mengakhiri hidup bukan menggunakan tali, melainkan pakaian dalam seperti beha dan celana dalam.

"Bergelantungan, ada yang menggunakan celana dalam, ada juga yang menggunakan beha. Warga kan ngintip dari atas pohon, kelihatan ada bergelantung di pohon di dalam,” tutur Iin.

Inrehab Nirbaya: Jejak Jenderal dan Tokoh Bangsa

SELASA, 23 September. Saya melanjutkan penelusuran di Kelurahan Pinang Ranti, Jakarta Timur, sekitar pukul 11.00 WIB.

Tujuan saya mencari lokasi bekas Instalasi Rehabilitasi Nirbaya, atau yang dulu dikenal sebagai Inrehab Nirbaya.

Bermodal informasi seadanya, saya memasuki sebuah jalan di samping Terminal Bus Transjakarta.

Saya memutari kawasan itu dari ujung ke ujung.

Sempat menemui istri ketua RT setempat yang saya kira akan memiliki informasi, namun ia sama sekali tidak tahu, bahkan tegas menyebut tidak pernah dengar soal tapol PKI di sana.

Ia pendatang dari Sumatera Utara yang baru menempati kawasan itu sekitar tahun 2000-an.

Saya sempat ragu, apakah ini benar lokasi bekas Inrehab Nirbaya.

Namun, keraguan saya sirna ketika secara tiba-tiba saya menemukan plang bertuliskan 'Jalan Nirbaya V.'

Bagi saya, itu adalah sebuah pertanda. Saya terus memasuki jalanan di antara rumah-rumah, hingga menemukan jalan yang belum saya lewati.

Di sebuah balai RT, saya menemui sekitar enam warga yang sedang bermain catur.

Saya menyapa dan memperkenalkan diri, lalu menunggu seorang pria paling tua yang tengah sibuk dengan ponselnya. Saya yakin dia tahu soal Inrehab Nirbaya.

Tebakan saya benar. Pria bernama Suwondo, berusia 79 tahun, sudah bermukim di kawasan itu sejak 1970-an.

"Seingat saya ini masih kebun semua, belum seramai sekarang,” katanya.

Inrehab Nirbaya dulunya menjadi lokasi penahanan pihak-pihak yang dicurigai terafiliasi PKI, namun bedanya, di sini yang ditahan adalah para jenderal TNI dan beberapa menteri era Presiden Soekarno.

Plang Jalan Nirbaya yang berada di Kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Sejumlah literatur menyebut di kawasan ini pernah berdiri bangunan Inrehab Nirbaya yang menjadi tempat tahanan Tapol Orde Baru. [Suara.com/Yaumal]
Plang Jalan Nirbaya yang berada di Kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur. Sejumlah literatur menyebut di kawasan ini pernah berdiri bangunan Inrehab Nirbaya yang menjadi tempat tahanan Tapol Orde Baru. [Suara.com/Yaumal]

Beberapa nama seperti Laksamana Udara Omar Dani (Mantan Menteri Panglima Angkatan Udara), Mayjen Pranoto Reksosamodra (Plt Harian Menteri Panglima Angkatan Darat), Astrawinata (bekas Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sukarno), Soemardjo (bekas Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan) pernah merasakan ditahan di tempat tersebut.

Selain itu, ada juga tokoh-tokoh yang ditahan karena Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, seperti Hariman Siregar dan Mochtar Lubis.

Sisa bangunan Inrehab Nirbaya sudah tidak ada lagi, kini telah berubah menjadi kawasan pemukiman. Yang tersisa hanya nama 'Nirbaya' yang diabadikan sebagai penunjuk sejumlah jalan.

Suwondo mengingat Inrehab Nirbaya terdiri dari sejumlah paviliun dengan bangunan beton permanen yang dikelilingi pagar beton tinggi, terbagi dalam blok-blok seperti Amal, Ikhlas, Bakti, Rela, dan Nusa.

Selama mendekam di sana, para tapol beraktivitas seperti biasa, namun tidak boleh meninggalkan Inrehab Nirbaya. Dalam beberapa kesempatan, mereka berinteraksi dengan warga.

"Kalau sore, biasanya mereka main bola sama warga. Kan dulu ada lapangan. Kadang juga main bulu tangkis di dalam," kata Suwondo.

Warga juga beberapa kali diizinkan masuk.

"Saya lupa sama siapa saja. Tapi dulu sering ngobrol. Kalau sama Hariman ngobrolnya palingan bola, karena dia suka bola. Saya juga kalau lagi main bola sering jadi wasitnya,” ujar Suwondo mengenang.

Waktu sudah mulai sore, sekitar pukul 14.12 WIB, saya pamit. Masih ada lokasi lain yang harus saya datangi.


Terkait

Sejarah G30S/PKI di Mata Berbagai Generasi: Gen Z Merinding Lihat Adegan Penyiksaan Jenderal
Selasa, 30 September 2025 | 13:00 WIB

Sejarah G30S/PKI di Mata Berbagai Generasi: Gen Z Merinding Lihat Adegan Penyiksaan Jenderal

G30S/PKI Lintas Generasi: Kisah Trauma, Pelajaran Penting, dan Monumen Pengingat yang Tak Lekang Waktu

Pelajar SMA Bicara soal G30S/PKI: Sejarah yang Penuh Teka-teki dan Propaganda
Selasa, 30 September 2025 | 08:13 WIB

Pelajar SMA Bicara soal G30S/PKI: Sejarah yang Penuh Teka-teki dan Propaganda

Pada era digital, Gen Z memandang peristiwa G30S/PKI bukan sekadar catatan sejarah.

Mengapa Polisi Sukitman Lolos dari Maut G30S PKI hingga Jadi Saksi Kunci?
Senin, 22 September 2025 | 18:33 WIB

Mengapa Polisi Sukitman Lolos dari Maut G30S PKI hingga Jadi Saksi Kunci?

Sukitman tak seharusnya ditawan pasukan Cakrabirawa hingga mau dieksekusi di Lubang Buaya. Namun mengapa polisi ini lolos dari Maut G30S PKI dan malah jadi saksi kunci?

Terbaru
Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang
nonfiksi

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang

Sabtu, 27 September 2025 | 08:00 WIB

Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini nonfiksi

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini

Sabtu, 20 September 2025 | 09:00 WIB

Film Afterburn adalah karya aksi pasca-apokaliptik yang gagal total karena cerita tidak logis, naskah yang lemah, dan eksekusi yang membosankan.

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat! nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.