Suara.com - Ada satu hal yang saya pelajari setelah menonton Afterburn.
Terkadang film tidak perlu menampilkan ledakan spektakuler untuk membuat kepala penontonnya meledak. Cukup hancurkan logika cerita, karena efeknya sama.
Film garapan J. J. Perry ini berusaha menyuguhkan petualangan pasca-apokaliptik yang penuh aksi.
Namun, hasilnya malah terasa seperti menonton pameran cosplay Mad Max yang kehabisan dana, ditutup dengan cerita yang ditulis terburu-buru.
Premisnya sebenarnya cukup menggoda. Sepuluh tahun setelah badai matahari menghancurkan belahan timur bumi, teknologi ambruk, dan manusia kembali ke zaman batu versi Mad Max.
Jake (Dave Bautista) ditugaskan untuk mencuri lukisan Mona Lisa untuk seorang "King Arthur" modern (Samuel L. Jackson).
Dalam misinya, dia dibantu Drea (Olga Kurylenko), yang entah kenapa selalu membuat mereka terjebak bahaya.
Konsepnya terdengar seperti kombinasi Indiana Jones dan Death Race, tapi hasilnya sungguh mengecewakan.
Dunia Pasca-Apokaliptik yang Aneh
Yang pertama kali bikin alis terangkat adalah dunia yang ditampilkan. Semua katanya hancur, tapi yang kita lihat hanyalah gurun abu-abu.
Beberapa reruntuhan yang sepertinya dibangun di halaman belakang studio, dan CGI yang membuat efek ledakan seperti dikerjakan oleh amatiran.
Warna seolah lenyap sejak badai matahari datang. Mungkin sinematografer-nya mengira dunia kelabu sama dengan sinematik, padahal membosankan.
Dan soal worldbuilding? Lupakan. Film ini tak repot-repot menjelaskan bagaimana Mona Lisa masih utuh dan entah mengapa berada di reruntuhan Asia, atau bagaimana ekonomi, logistik, dan gravitasi bekerja di dunia ini.
Semua hanya disampaikan lewat dialog setara naskah sandiwara yang dibuat anak sekolahan. Tidak ditunjukkan, hanya diklaim.
Seolah-olah penonton akan percaya begitu saja karena, ada Dave Bautista sebagai penyelamat film ini.
Naskah yang Loyo dan Aksi yang Tak Membakar
Empat penulis menulis naskahnya, dua di antaranya debut. Dan kelihatan sekali, alurnya berantakan.
Ceritanya melompat-lompat tanpa transisi, karakter membuat keputusan absurd dan tidak logis. Adegan menegangkan terasa hambar karena semuanya bisa ditebak.
Adegan aksinya pun, yang seharusnya menjadi penyelamat, malah kurang greget.
Koreografi pertarungannya sesekali memang rapi, tapi semuanya dikubur oleh CGI asap dan ledakan yang datang lima detik lebih lambat dari aktornya.
Bahkan luka tembaknya lebih mirip coretan makeup cosplay murah daripada darah sungguhan.
Nama Besar Tak Bisa Menyelamatkan Film Ini
Dave Bautista satu-satunya yang terlihat masih peduli pada film ini, meskipun naskahnya menjerumuskannya menjadi pahlawan bisu dengan trauma masa lalu yang mainstream.
Samuel L. Jackson, di sisi lain, tampak seperti muncul langsung dari ruang tunggunya, duduk di kursi, membaca dialog, lalu pergi minum kopi.
Pemain lain seperti Olga Kurylenko dan Daniel Bernhardt? Sayang sekali, bakat mereka dikunci di lemari bersama dengan logika cerita.
Yang paling ironis, justru nama besar mereka-lah yang membuat Afterburn masih punya alasan untuk ditonton.
Bukan karena penampilan mereka bagus, tapi karena kehadiran mereka seperti berusaha meyakinkan kita bahwa film ini layak ditonton.
Seolah-olah kita menonton karena, "masa sih film dengan Bautista dan Jackson jelek?"
Hanya Film Medioker dari Segala Sisi
Saya tidak akan ragu menyebut Afterburn film medioker, karena itu adalah deskripsi paling akurat.
Tidak ada yang benar-benar buruk hingga lucu, tapi juga tidak ada yang cukup baik untuk diingat. Semua berjalan begitu datar. Bahkan dialognya pun menyedihkan.
Dan yang paling mencengangkan, film ini ternyata menelan hampir 60 juta dolar, nyaris 1 triliun rupiah. Entah dana itu lari ke mana, mungkin untuk bayaran Bautista dan Jackson.
Afterburn sebenarnya bukan film terburuk tahun ini. Tidak jelek sih, tapi juga tidak cukup bagus untuk dinikmati.
Lebih tepatnya berada di zona abu-abu yang membosankan, tempat film-film terlupakan berkumpul, menunggu dilupakan selamanya.
Satu-satunya alasan menontonnya mungkin kalau Anda penggemar berat Bautista, atau sedang mencari sesuatu yang bisa ditonton karena kehabisan tontonan bagus.
Kalau Afterburn ingin membakar semangat penonton, yang terjadi justru kebalikannya. Penontonlah yang terbakar, waktu dan uangnya.
Jadi, lebih baik simpan uang Anda untuk film yang jauh lebih layak ditonton.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Indonesia tampil memukau di Busan Film Festival 2025 dengan deretan artis dan film berkualitas, membuktikan perfilman Tanah Air siap bersaing di kancah global.
Prime Video mengumumkan proyek film The Summer I Turned Pretty.
Film Anaconda terbaru dibintangi Jack Black dan Paul Rudd.
Belum usai, Jenny Han pastikan masih ada bab penting dalam perjalanan Belly yang hanya bisa terungkap di layar lebar.
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.
Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.
Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.
Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.
Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.
Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?
Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.