Suara.com - Sejak pertama kali hadir pada 2013, The Conjuring karya James Wan langsung mencetak sejarah sebagai salah satu film horor terbaik dekade ini.
Perpaduan antara ketegangan, atmosfer mencekam, serta kisah nyata pasangan Ed dan Lorraine Warren membuat film ini dicintai banyak orang.
Sekuelnya, The Conjuring 2 (2016), bahkan dianggap lebih matang dengan pengembangan cerita dan adegan horor yang memorable.
Sayangnya, keberhasilan itu justru menciptakan beban besar bagi kelanjutan waralaba ini.
Setelah James Wan tidak lagi menyutradarai, tongkat estafet berpindah ke tangan Michael Chaves.
Meski bukan sutradara yang buruk, film terakhir The Conjuring: Last Rites terasa jauh dari standar tinggi yang dulu menjadi ciri khas.
Hambar, membosankan, bahkan mudah sekali terlupakan.
Plot yang Terasa Datar
Last Rites kembali mengikuti Ed dan Lorraine Warren dalam penyelidikan baru yang seharusnya menutup perjalanan panjang mereka.
Namun, alih-alih menghadirkan kisah yang segar dan menantang, film ini lebih banyak mengulang formula lama.
Saya merasa ceritanya dibangun dengan lambat, tetapi anehnya tidak benar-benar berkembang.
Misteri seputar iblis yang dihadapi pasangan Warren tidak digali dengan mendalam, malah berakhir dengan penyelesaian terburu-buru.
Hasilnya, alih-alih klimaks yang epik, penonton justru disuguhi akhir yang terasa hambar.
Jumpscare yang Bisa Ditebak
Jika ada satu hal yang sangat mengurangi efek horor film ini, maka jawabannya adalah penggunaan jumpscare berulang.
Pintu yang perlahan terbuka lalu tertutup keras, rekaman dengan sosok samar, hingga potongan kamera mendadak yang menampilkan wajah iblis, semua terasa familiar.
Alih-alih menegangkan, banyak momen justru terasa bisa ditebak. Beberapa bahkan membuat saya tertawa karena terlalu klise.
Bagi penggemar horor veteran, pola seperti ini membuat film kehilangan daya kejut yang seharusnya menjadi tulang punggung The Conjuring.
Kehadiran Karakter Lama yang Dipaksakan
Salah satu ciri khas waralaba The Conjuring adalah kehadiran karakter ikonik seperti Annabelle.
Namun, dalam Last Rites, kemunculan boneka berhantu itu terasa dipaksakan.
Annabelle seperti dijadikan "jimat wajib" untuk menghidupkan film, meski perannya tidak lagi relevan.
Alih-alih menambah horor, hal ini justru membuat film terkesan kehabisan ide dan hanya mengandalkan nostalgia.
Bukannya menakutkan, kemunculan Annabelle justru terasa lucu.
Performa Aktor yang Menjadi Penyelamat
Jika ada hal yang masih bisa menyelamatkan film ini, itu adalah akting Vera Farmiga dan Patrick Wilson. Sejak awal, keduanya menjadi jantung emosional seluruh waralaba.
Hubungan mereka sebagai pasangan suami istri sekaligus pemburu setan selalu menghadirkan kedalaman emosional yang membuat penonton peduli pada nasib mereka.
Dalam Last Rites, chemistry mereka masih kuat. Vera Farmiga khususnya, mampu menghadirkan sisi rapuh sekaligus tangguh dari Lorraine Warren.
Kehadiran mereka membuat penonton setidaknya tetap merasa terhubung dengan karakter, meski cerita filmnya tidak sekuat sebelumnya.
Drama Keluarga, Pedang Bermata Dua
Hal menarik lain adalah usaha film ini untuk menambahkan elemen drama keluarga, terutama dengan memberi lebih banyak ruang bagi putri semata wayang Warren, Judy.
Selama ini, Judy jarang dieksplorasi. Last Rites mencoba memberi sentuhan emosional dengan memperlihatkan dinamika keluarga Warren secara lebih dalam.
Namun, tambahan ini juga menjadi pedang bermata dua. Bagi penonton yang datang hanya untuk merasakan horor, bagian ini terasa seperti filler yang memperlambat alur.
Jujur, saya beberapa kali menguap karena ngantuk disuguhi drama keluarga Warren.
Padahal saya mengikuti perjalanan keluarga Warren sejak awal. Namun tetap saja, bagian ini gagal menjadi perpisahan yang manis.
Tanpa James Wan, Hilang Sentuhan Khas
Kritik paling sering terdengar adalah hilangnya sentuhan James Wan, dan saya sangat setuju.
Wan dikenal punya gaya khas dalam membangun suspense, tegang, lambat, tapi meledak di saat yang tepat.
Sutradara barunya, Chaves memang berusaha, tapi hasilnya kurang maksimal.
Film terasa lebih seperti produk horor generik yang aman, tanpa keberanian untuk menawarkan sesuatu yang baru.
Jujur, waralaba ini seharusnya berhenti setelah film ketiga. Dengan Last Rites sebagai penutup, justru semakin mempertegas bahwa The Conjuring sudah kehilangan esensi dan taringnya.
Akhir yang Kurang Berkesan
Sebagai penutup saga panjang, The Conjuring: Last Rites gagal menghadirkan momen pamungkas yang layak dikenang.
Alih-alih klimaks emosional yang kuat atau teror horor yang mengguncang, film ini lebih mirip sebuah epilog sederhana.
Bagi sebagian orang, itu mungkin cukup, setidaknya ada rasa perpisahan dengan karakter yang sudah menemani lebih dari satu dekade.
Namun bagi saya, yang mengikuti perjalanan keluarga Warren, Annabelle dan Valak sejak awal, akhir ini terasa mudah terlupakan.
Last Rites bukan film horor terburuk, tetapi jelas bukan juga penutup yang pantas untuk saga besar ini.
Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.
Hanya penampilan Vera Farmiga dan Patrick Wilson yang menjadi penyelamat, memberi sedikit alasan untuk menonton sampai akhir.
Sebagai waralaba, The Conjuring sudah memberikan dua mahakarya horor modern yang akan selalu dikenang.
Sayangnya, Last Rites hanya menutup dengan catatan biasa-biasa saja. Layak tonton?
Hmmmm, kalau Anda tidak buru-buru ingin tahu akhir dari karier keluarga Warren, tunggu saja sampai dirilis di platform streaming resmi.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Film Wuthering Heights yang dibintangi Margot Robbie dan Jacob Elordi siap tayang pada Februari 2026.
Bring Her Back bukan sekadar film horror biasa, melainkan kisah tentang keluarga, kehilangan, dan cinta yang salah arah.
Meskipun jumlahnya belum sebanyak film Disney atau Ghibli yang wara-wiri, judul-judul ini jadi bukti kalau industri animasi kita juga bisa berkembang dan punya taring!
Rilis trailer, Sony Pictures konfirmasi 28 Years Later: The Bone Temple tayang Januari 2026.
Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.
Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.
Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?
Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.
Efek suaranya minim, mixing audionya berantakan, dan dubbing-nya seperti orang membaca teks sambil menunggu pesanan makanan datang.
Weapons adalah film horor yang berani, cerdas, dan penuh emosi.
Di balik derita para prajurit, terbentang sebuah skandal besar yang berpusat pada program ambisius era KSAD Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman.