Suara.com - Panji Tengkorak dirilis tak lama setelah film viral dan kontroversial, Merah Putih: One for All.
Rasanya seperti menyantap hidangan lezat setelah disuguhi mi instan yang masih mentah.
Film animasi produksi Falcon ini terlihat sangat lumayan dari segala aspek, mulai dari kualitas visual, teknis hingga plot ceritanya.
Kembali ke Panji Tengkorak, judulnya mungkin tidak asing, karena diangkat dari komik legendaris karya Hans Jaladara.
Jangan membayangkan animasi anak-anak dengan cerita ringan dan karakter-karakter ceria..
Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.
Dari awal, Panji Tengkorak sudah memberikan janji bahwa dia bukan tontonan ringan.
Dan benar saja, pengalaman menontonnya menghadirkan rasa kagum meski tak sepenuhnya sempurna.
Cerita yang Gelap dan Sarat Dendam
Kisah film ini berfokus pada Panji (Denny Sumargo), seorang pendekar yang kehidupannya berantakan setelah kekasih hatinya tewas secara tragis.
Dalam amarah dan keputusasaan, Panji nekat menjual jiwanya kepada ilmu hitam untuk membalaskan dendam.
Setelah dendamnya tuntas, dia tidak bisa bebas. Jiwanya kini terikat dengan kekuatan gelap yang menolak melepaskannya.
Mungkin terdengar seperti aksi balas dendam biasa. Premisnya juga template.
Namun, cerita yang disuguhkan sebenarnya memiliki banyak layer dan kompleks.
Karakter-karakternya menarik. Mereka ada untuk membuat kita mempertanyakan batas antara baik dan jahat.
Awalnya saya merasa bosan, nyaris ngantuk, karena ceritanya seperti tak tahu harus dibawa ke mana.
Masuk ke babak dua, ceritanya mulai seru dengan adegan-adegan pertarungan cukup menegangkan.
Animasinya Mengingatkan pada Avatar, Tapi Tetap Lokal
Secara visual, Panji Tengkorak menampilkan animasi dengan gaya yang cukup khas.
Gaya geraknya dengan serial Avatar: The Legend of Aang atau Ben 10.
Gerakan karakternya terkadang mulus, tetapi di beberapa bagian masih terlihat kaku.
Meski begitu, pertarungan-pertarungan besar yang ditampilkan tetap cukup mengesankan.
Adegan jurus supranatural, ledakan energi, dan duel antar-pendekar menghadirkan sensasi menonton film fantasi Asia, khususnya yang kental dengan mitologi.
Dari sisi eksekusi, film ini sudah menunjukkan usaha maksimal meski masih perlu banyak peningkatan.
Selain Kuwuk, Voice Aktingnya Kurang
Di tengah nuansa cerita yang berat, kehadiran Kuwuk (Candra Mukti) terasa sebagai angin segar.
Dialognya yang sesekali menggunakan bahasa Jawa serta tingkahnya yang jenaka memberikan keseimbangan pada film yang cenderung serius.
Bahkan, banyak penonton menilai bahwa voice acting Kuwuk adalah yang paling baik dibandingkan karakter lain.
Suaranya hidup, ekspresif, dan mampu memberi warna berbeda di sepanjang film.
Voice acting Kuwuk berhasil menutup karakter-karakter lain yang terdengar kurang menjiwai.
Bahkan, saya agak merasa terganggu dengan suara Denny Sumargo yang kadang overact alias berlebihan.
Aghniny Haque juga masih harus banyak belajar menjadi voice actor yang bagus.
Penempatan Sountrack yang Kurang Tepat
Salah satu kelemahan paling mencolok dari film ini adalah pemilihan dan penempatan musik.
Lagu Bunga Terakhir yang digunakan di momen pertarungan besar terasa tidak pas dengan suasana yang sedang dibangun.
Alih-alih memperkuat emosi, justru musik ini merusak intensitas adegan. Penonton yang seharusnya fokus pada ketegangan malah merasa terganggu.
Lagunya bagus, tapi kalau didengarkan terpisah tanpa melihat adegan dalam film.
Ada Adegan yang Hilang, Dialog Terlalu Baku
Film ini sebenarnya berani menampilkan adegan berdarah, tapi ada bagian yang cukup mengecewakan.
Salah satunya adalah adegan "pembantaian desa" yang sebelumnya ditampilkan dalam trailer.
Sayangnya, dalam film versi lengkap, adegan itu tidak ditunjukkan sepenuhnya, melainkan hanya lewat narasi.
Hal ini membuat momen yang seharusnya kuat terasa kurang berdampak.
Selain itu, dialog film ini juga terdengar terlalu kaku. Banyak percakapan yang menggunakan bahasa baku seperti dalam sinetron kolosal.
Meskipun mungkin dimaksudkan untuk menjaga nuansa klasik, bagi sebagian penonton modern, gaya bahasa ini justru terasa canggung.
Worth It Ditonton Meski Penuh Cacat
Meski kekurangannya cukup nyata, Panji Tengkorak tetap layak diapresiasi.
Film ini menjadi bukti bahwa animasi Indonesia bisa berani tampil berbeda dan menyajikan sesuatu yang lebih dewasa.
Jika dibandingkan dengan karya animasi lokal lain yang sempat muncul dalam beberapa tahun terakhir, Panji Tengkorak jelas memiliki kualitas lebih baik.
Film ini menunjukkan arah baru yang bisa membawa industri animasi Indonesia ke level lebih tinggi, asalkan terus mendapat dukungan penonton.
Memang, masih ada banyak PR yang harus diperbaiki, mulai dari voice acting, animasi yang belum konsisten, hingga musik yang tidak sinkron dengan adegan.
Namun, terlepas dari itu semua, film ini tetap worth it untuk ditonton, terutama oleh mereka yang ingin melihat perkembangan animasi tanah air.
Panji Tengkorak membuktikan bahwa animasi Indonesia tidak melulu harus ringan atau lucu.
Kalau kamu penasaran seperti apa kualitas animasi 2D buatan lokal, nonton saja. Nggak akan menyesal, kok.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Didukung langsung oleh Wapres Gibran, film Panji Tengkorak hadir dengan visual memukau, cerita epik, dan nostalgia komik legendaris karya Hans Jaladara.
Next mencoba mengeksplorasi konsep precognition atau kemampuan melihat masa depan, namun dengan batasan waktu yang unik,
Siapa Dia siap mengajak penonton bernostalgia sekaligus merasakan pengalaman sinematik yang baru.
Penonton diajak untuk menebak siapa pembunuhnya, sambil menikmati dialog-dialog cerdas dan akting memukau dari para pemeran utamanya.
Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.
Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.
Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang
Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.
Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?
Film Afterburn adalah karya aksi pasca-apokaliptik yang gagal total karena cerita tidak logis, naskah yang lemah, dan eksekusi yang membosankan.
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.