Suara.com - PRAKTIK peredaran narkotika semakin banyak melibatkan perempuan dan ibu rumah tangga. Fenomena itu bukan sebatas persoalan moral. Tetapi menyimpan kenyataannya yang lebih kompleks dan sistemik.
Peneliti Kebijakan Narkotika dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Girlie L.A Ginting menyebut perempuan yang terlibat dalam peredaran narkotika umumnya menghadapi tekanan struktural serius. Kondisi itu membuat mereka rentan untuk dimanfaatkan oleh jaringan narkotika.
“ICJR telah lama menyoroti tingginya kerentanan perempuan, khususnya dalam konteks keterlibatan mereka dalam jaringan peredaran narkotika,” kata Girlie kepada Suara.com, Selasa, 24 Juni 2025.
Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama Direktur Bea dan Cukai sepanjang April-Juni 2025 menangkap 285 tersangka terkait peredaran narkotika. Di mana 29 di antaranya merupakan perempuan. Keterlibatan perempuan yang semakin meningkat dalam peredaran narkotika itu turut menjadi perhatian BNN.
Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom mengungkap jaringan pengedar narkotika dengan sengaja menjadikan perempuan sebagai kurir karena dinilai relatif tidak menimbulkan kecurigaan petugas.

Dalam satu kasus yang ditemui BNN, para perempuan yang dijadikan kurir bahkan nekat menyembunyikan narkoba di alat kelamin untuk mengelabui petugas. Marthinus menilai itu sebagai bentuk kelicikan para sindikat narkotika dalam memperdaya perempuan.
“Kami sangat prihatin dengan keterlibatan perempuan, khususnya ibu rumah tangga, dalam jaringan narkotika. Sindikat tidak ragu mengeksploitasi perempuan untuk menyelundupkan narkoba lintas wilayah dengan cara-cara yang melanggar norma kesusilaan,” tutur Martinus saat jumpa pers di Kantor Pusat Bea dan Cukai, Jakarta, Senin, 23 Juni 2025.
Saat ini BNN tengah mendalami lebih lanjut terkait fenomena di balik keterlibatan perempuan dalam peredaran narkotika. Salah satunya untuk melihat kedudukan perempuan sebagai pelaku atau korban.
Sementara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyebut perempuan menjadi sasaran sindikat jaringan pengedar narkotika karena kerentanan secara sosial dan ekonomi. Sehingga ia meminta agar proses hukum terhadap pelaku perempuan dalam peredaran narkotika menggunakan pendekatan perspektif gender.
Perempuan yang terjerat peredaran narkoba sudah semestinya tidak diperlakukan semata-mata sebagai pelaku, tetapi juga korban dari sistem yang tidak berpihak.
“Negara harus hadir melindungi mereka yang lemah, bukan malah menghukumnya tanpa keadilan yang berpihak,” ujarnya.
Reformasi Kebijakan
Girlie memberikan pandangan serupa sebagaimana disampaikan Menteri PPPA. Berdasar hasil pemantau ICJR, ia menyebut perempuan yang menjadi kurir narkotika seringkali merupakan korban dari kondisi sosial dan ekonomi. Namun sayangnya, sistem hukum yang berjalan selama ini justru cenderung mengabaikan konteks kerentanan perempuan tersebut dan menghukum mereka secara penuh.
![Sejumlah tersangka kurir pengedar narkotika digiring petugas di Kantor Bea Cukai Makassar, Kompleks Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (21/6/2025) [Suara.com/ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/06/21/83824-narkoba.jpg)
“Sehingga perempuan menghadapi reviktimisasi dari eksploitasi jaringan dan ketidakadilan dalam proses peradilan. Penghukuman tersebut selalu terlegitimasi di bawah jargon usang; perang terhadap narkotika,” jelasnya.
Menurut Girlie reformasi kebijakan narkotika menjadi langkah mendesak yang perlu dengan segera dilakukan pemerintah saat ini. Dekriminalisasi pengguna narkotika, harus menjadi pilar utama dalam perubahan ini, selain juga mengakui kerentanan perempuan sebagai faktor utama dalam keterlibatan mereka. Sehingga sistem hukum itu tidak lagi menghukum korban, melainkan memutus rantai eksploitasi yang terjadi akibat kebijakan yang keras dan tidak efektif.
“Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan,” ujarnya.
Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat (LBHM) Yosua Octavian alias Jojo juga berpendapat demikian. Ia menilai sistem hukum saat ini cenderung menyederhanakan persoalan narkotika ke dalam rumus kaku, mengabaikan konteks sosial dan struktural yang membuat seseorang, terutama perempuan, terjerat sebagai kurir narkotika.
“Menjadi kurir memang punya konsekuensi hukum. Tapi yang keliru, mereka ditangkap, dihukum, dan dianggap selesai. Padahal mereka bisa diposisikan sebagai justice collaborator untuk membongkar jaringan. Namun, saya belum pernah melihat hal itu diterapkan,” kata Yosua kepada Suara.com.
Jojo menyebut keterlibatan perempuan dalam peredaran narkotika kerap berangkat dari relasi yang tidak setara dan tekanan ekonomi yang akut. Banyak dari mereka adalah ibu tunggal atau kepala keluarga yang terpaksa mengambil risiko besar demi memenuhi kebutuhan dasar anak dan keluarga. Ketika tidak punya pilihan lain, mereka menjadi target jaringan narkotika yang menawarkan "bantuan" lalu menjebak mereka ke dalam peran ilegal.
Yosua mencontohkan kasus Merry Utami dan Mary Jane Veloso—dua perempuan yang menurutnya menjadi simbol kegagalan sistem hukum memahami konteks eksploitasi dan perdagangan orang dalam kasus narkotika.
Dalam beberapa kasus bahkan, kata Jojo, tak sedikit dari perempuan yang terlibat dalam peredaran narkotika terpaksa mengikuti permintaan jaringan narkotika karena diancam dibunuh hingga keluarganya dicelakakan.
“Ini lah menjadi pokok persoalannya mengapa perempuan berada dalam pusar peredaran narkotika,” ungkapnya.
Jojo menyebut posisi laki-laki juga bukan serta-merta lebih aman dibanding perempuan. Sebab pada pokoknya hal ini bisa kena kepada semua. Apalagi jika mereka berasal dari ekonomi rendah, pendidikan rendah, dan ketidaktahuan akan hukum.
“Lalu, apa yang disebut keberhasilan penegak hukum ketika menghukum orang-orang seperti itu?” tuturnya.
5 rekomendasi jam tangan perempuan yang mencerminkan aura elegan dan percaya diri ala wanita karier.
"...kemudian menginjak kepala korban dengan tumit hingga akhirnya si nenek meninggal dunia."
Arifah mengatakan sebagian dari perempuan tersebut tidak hanya dijadikan kurir, namun juga terlibat aktif dalam operasional sindikat.
Pemilihan Claresta Taufan sebagai pemeran utama adalah bukti ketajaman mata Reza Rahadian sebagai sutradara.
nonfiksi
Deway, mahasiswa Kalbar di Jogja, belajar menenangkan kecemasan dan menemukan rumah di kota asing.
nonfiksi
Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.
nonfiksi
Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.
nonfiksi
Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.
nonfiksi
Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.
nonfiksi
No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.