Suara.com - KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki kasus dugaan korupsi kuota haji pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kasus korupsi ini berkaitan dengan penentuan kuota jamaah pada penyelenggaraan haji 2024.
Ketua KPK Setyo Budiyanto pada Sabtu, 21 Juni lalu, menyatakan dugaan korupsi haji itu bukan hanya terjadi pada periode 2024. Tetapi juga terjadi pada tahun tahun sebelumnya.
Guna mendalami kasus ini KPK sudah memeriksa sejumlah saksi. Selain itu, KPK juga juga bakal memanggil menag era Presiden Joko Widodo yang karib disapa Gus Yaqut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan pemeriksaan terhadap Yaqut tergantung perkembangan proses penyelidikan.
Dia memastikan, setiap pihak yang mengetahui perkara tersebut akan dipanggil KPK untuk dimintai keterangannya. Karena masih dalam proses penyelidikan, KPK belum bisa menjelaskan secara detail kronologi perkara dan pihak-pihak yang telah diperiksa.
Termutakhir, KPK mengonfirmasi pemeriksaan terhadap Ustaz Khalid Basalamah. Budi menyebut Khalid Basalamah didalami pengetahuannya terkait kasus ini.
"Dia menyampaikan informasi dan pengetahuannya sehingga sangat membantu penyelidik," kata Budi pada Senin, 23 Juni 2025.
Naiknya perkara ini ke tahap penyelidikan mendapatkan perhatian dari DPR RI. Wakil Ketua Komisi III DPR Abdul Wachid mendukung langkah penyelidikan KPK.
Menurut dia, langkah KPK sudah tepat. Hal itu sesuai dengan rekomendasi Panitia Khusus atau Pansus Haji yang sempat dibentuk DPR pada 2024. Salah satunya tindak lanjut aparat penegak hukum.
Dukungan yang sama juga disampaikan Partai Keadilan Bangsa atau PKB. Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB, Iman Sukri menyebut upaya penyelidikan KPK harus dipandang sebagai bagian dari peningkatan kualitas penyelenggaraan haji kedepannya.
Pada 4 Juli 2024, DPR membentuk Panitia Khusus atau Pansus untuk mengevaluasi pelaksanaan ibadah haji 1445 Hijriah. Pansus dibentuk untuk merespons berbagai persoalan penyelenggaraan haji. Salah satu yang disoroti DPR adalah soal penyelewengan pembagian kuota haji yang diduga diperjualbelikan.
Pada pelaksanaan haji 2024, awalnya disepakati jumlah jamaah yang akan berangkat ke tanah suci sebanyak 221 ribu orang. Lalu Indonesia mendapatkan kuota tambahan sebanyak 20 ribu dari pemerintah Arab Saudi. Sehingga total jamaah yang akan di berangkatkan mencapai 241 ribu orang. Dari jumlah kuota itu kemudian disepakati pembagiannya, 221.720 jamaah haji reguler dan 19.280 jemaah haji khusus.
Pembagian itu merujuk pada Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh yang mengatur pembagian kuota haji reguler sebanyak 92 persen dan 8 persen haji khusus.
Namun, saat rapat kerja antara DPR dan Kementerian Agama pada 13 Maret 2024, terungkap adanya perubahan kuota jemaah. Kementerian Agama secara sepihak, tanpa berkonsultasi dengan DPR mengubah pembagian kuota.
Kuota awal 241.000 dibagi 92 persen menjadi 213.320 jemaah reguler, dan 8 persen atau 27.680 jemaah khusus. Sementara kuota tambahan 20 ribu dibagi menjadi 10 ribu untuk jemaah khusus dan 10 ribu untuk jamaah reguler.
Keputusan sepihak itu dinilai menyalahi kesepakatan bersama, serta Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH Tahun 1445H/2024M. Terlebih dinilai tidak memprioritaskan jamaah reguler yang sudah menunggu belasan hingga puluhan tahun.
Di tengah perubahan kuota haji, berembus isu soal jual beli kuota haji, sebagaimana diungkapkan Luluk Nur Hamidah sebagai anggota komisi VIII DPR. Dia mengatakan, kuota haji diperjual belikan guna mempercepat keberangkatan menuju tanah suci. Dari berbagai persoalan itu terbentuklah Pansus Haji 2024.
Penyelewengan Berulang
Perkara korupsi pada pelaksanaan ibadah haji sebenarnya bukan kasus yang baru. Mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al yang menjabat selama 2001-2004 divonis hukuman lima tahun penjara karena terbukti bersalah korupsi Dana Abadi Utama dan dana penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 4,5 miliar.
Dia disebut menggunakan dana itu untuk berbagai kepentingan. Seperti membiayai perjalanan anggota Komisi VI DPR, ongkos haji atau umrah sejumlah tokoh masyarakat, membiayai perjalanan hakim agama Mahkamah Agung, serta memberikan sumbangan yang tidak sesuai dengan peruntukkan.
Kasus selanjutnya korupsi dana penyelenggaraan haji dan dana operasional menteri (DOM) yang menjerat Menteri Agama periode 2009-2014, Suryadharma Ali. Awalnya, Suryadharma divonis penjara 6 tahun di pengadilan tingkat pertama. Kemudian diperberat menjadi 10 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam perkara ini, Suryadharma terbukti bersalah karena curang dalam pengangkatan panitia penyelenggaraan haji di Arab Saudi. Dan dia juga memanfaatkan kuota haji yang tersisa untuk orang-orang yang dipilihnya sehingga berangkat ke tanah suci secara gratis.
Selain itu, dia juga menggunakan dana operasional menteri di luar peruntukkan, seperti berobat anaknya serta keperluan wisata. Total uang yang diselewengkan sebesar Rp 1,8 miliar.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito menjelaskan mengapa penyelenggaraan haji di Indonesia rawan terjadi tindak pidana korupsi. Dia menyebut penyelenggaraan haji merupakan isu yang strategis di Indonesia. Hal itu disebabkan alokasi yang terbatas.
"Semakin terbatas, semakin mempunyai alokasi yang tinggi untuk korupsi. Jadi sesuatu yang nilainya strategis, dan terbatas itu pasti rentan," kata Lakso kepada Suara.com, Senin, 23 Juni 2025.
Sebagai negara muslim terbesar di Indonesia, melaksanakan ibadah haji menjadi salah satu kebutuhan masyarakat. Namun, tingginya tingkat permintaan itu dibarengi dengan keterbatasan kuota.
Minat masyarakat tinggi, tapi kuota terbatas membuat keberangkatan ke tanah suci menjadi sesuatu yang "langka" untuk didapatkan. Hal ini membuat penyelenggaraan haji rentan mengalami intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Kerentanan itu menjadi pintu masuk tindak korupsi.
Oleh karena itu, IM57+ Institute mengingatkan Badan Penyelenggara Haji yang akan menjadi pelaksana ibadah haji untuk pertama kalinya pada 2026--setelah terbentuk menggantikan Kementerian Agama-- agar mengedepankan akuntabilitas dan transparansi dalam dua hal.
Pertama, akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana haji. Merujuk pada laporan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), hingga akhir 2024 total dana kelolaan mencapai Rp 171,65 triliun. Mengingat jumlahnya yang fantastis, Lakso menyebut dana itu sangat rentan untuk dikorupsi.
"Kita sudah punya kasus Jiwasraya, kita sudah punya kasus Asabri (dua perkara korupsi dari dana yang dihimpun). Semua yang bentuknya adalah penghimpunan dana, itu potensial untuk korupsi," ujar Lakso.
Kedua akuntabilitas dan transparansi dalam penentuan kuota dan penunjukkan vendor penyelenggaraan haji. Penentuan kuota haji harus dilakukan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara penunjukkan vendor penyelenggara haji harus dipastikan lepas dari konflik kepentingan.
Di sisi lain, kasus korupsi kuota haji yang tengah diusut KPK, IM57+ Institute mengingatkan agar penyelidikannya dilakukan secara independen.
"Termasuk membongkar sindikasi sampai pada tahap penerima manfaat atau beneficial owner, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan menyeluruh," tandasnya.
KPK sudah menetapkan satu orang tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi di MPR, tapi identitasnya masih rahasia.
KPK periksa Ndat Natanael & Nurdin Zainal terkait dugaan korupsi pengadaan LNG Pertamina 2011-2021. Pertamina rugi USD 124 juta akibat pembelian LNG.
Budi belum mau mengungkapkan jumlah dan siapa pihak yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pada perkara ini.
Jokowi batal maju calon ketum PSI dapat dimaknai sebagai bentuk restu kepada Kaesang.
Ini menjadi tanggung jawab Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan OJK, khususnya meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Akar dari persoalan utama BUMN Karya adalah beban proyek-proyek yang secara finansial tidak layak, tetapi tetap dipaksakan melalui penugasan pemerintah.
Transfer pemain di liga-liga top Eropa, seperti Premier League atau Serie A Italia, bukanlah sekadar urusan jual beli antar klub.
Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.
AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.
Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.