Suara.com - SEKJEN Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto akan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam penyusunan nota pembelaannya. Dia pun mengklaim bakal menjadi orang pertama di Indonesia sebagai terdakwa yang menggunakan AI untuk membela dirinya di pengadilan.
Hasto saat ini menjadi terdakwa kasus perintangan penyidikan korupsi Harun Masiku dan pemberian suap. Langkahnya menggunakan AI dalam menyusun nota pembelaan atau pledoi disampaikan Hasto lewat suratnya yang dibacakan politisi PDIP, Guntur Romli. Hasto mengaku telah mempelajari penggunaan AI.
"Sehingga akan menjadi pledoi pertama di Indonesia yang memadukan antara AI dengan fakta-fakta persidangan, falsafah hukum, nilai-nilai yang diperjuangkan sesuai dengan morality of law," tulis Hasto dalam suratnya yang dibacakan Guntur di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis 19 Juni 2025.
Lantas apakah langka Hasto yang menggunakan bantuan AI dalam menyusun nota pembelaannya dibolehkan dalam sistem peradilan Indonesia?
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa pledoi merupakan argumen yang disusun untuk melawan tuntutan jaksa penuntut umum--yang didasarkan pada fakta persidangan. Argumen dalam pledoi dihasilkan dari analisis fakta dan pendapat pada persidangan yang kemudian menjadi substansi dari pembelaan.
"Maka terdakwa boleh mengutip pendapat siapa saja termasuk pendapat dan analisa dari AI. Etikanya sama dengan etika penulisan ilmiah, yaitu tetap mencantumkan sumber data atau footnote," kata Fickar saat dihubungi Suara.com, Kamis 19 Juni 2025.
Menurutnya tidak ada yang salah dari penggunaan AI dalam penyusunan nota pembelaan terdakwa. Penggunaanya tidak jauh berbeda dengan google seacrh sepanjang mencantumkan sumber data.
"Toh penilaian untuk diterima atau ditolak argumennya, sepenuhnya mutlak merupakan kewenangan hakim yang diputus berdasarkan fakta persidangan dan keyakinannya," kata Fickar.
Oleh karena itu, menurutnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. AI baginya dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk mempertajam analisa fakta-fakta persidangan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho. AI dalam penyusunan nota pembelaan dipandang sebagai alat bantu. Terpenting sumber dari teori yang digunakan sebagai argumen pembelaan harus jelas rujukannya.
"Tapi sejauh mana kebenarannya, itu nanti akan diuji oleh jaksa maupun hakim," kata Hibnu kepada Suara.com, Jumat 19 Juni 2025.
Regulasi penggunaan AI
Kendati AI dapat digunakan sebagai alat bantu, pemerintah harus tetap membuat aturan soal penggunaannya. Karena dalam proses peradilan terdapat banyak dokumen yang masuk dalam kategori rahasia negara.
"Makanya harus ada aturannya; dalam hal apa AI bisa digunakan? Dan dalam hal apa tidak boleh digunakan?" tuturnya.
Sejauh ini, kata Hibnu, regulasi penggunaan AI baru sebatas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Dalam peraturan menteri itu baru mengatur soal kewajiban setiap pelaku usaha dan penyelenggara sistem elektronik memuat kebijakan internal perihal data dan etika AI. Kemudian, Surat Edaran (SE) Menkominfo No. 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
Hibnu pun berharap agar regulasi soal penggunaan AI diatur dalam bentuk undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pentingnya regulasi yang mengatur penggunaan AI dalam sistem peradilan juga dikemukakan oleh Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUKPIKI), Zico Junius Fernando.
Berdasarkan pandanganya yang dimuat di Hukumonline.com pada 12 Maret lalu, ia mengemukan sejumlah potensi kerentanan penggunaan AI dalam sistem peradilan, khususnya dalam pengambilan keputusan oleh hakim dalam persidangan. Dia mengingatkan bahwa AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.
"AI tidak memiliki kesadaran moral atau empati, yang merupakan elemen penting dalam pengambilan keputusan hukum," tulisnya sebagaimana dikutip Suara.com, Jumat 20 Juni 2025.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu ini menuturkan, dalam hukum Indonesia terdapat prinsip summum ius, summa iniuria. Artinya penerapan hukum yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan keadilan, justru mengakibatkan ketidakadilan yang lebih besar.
AI dalam melakukan analisisnya menggunakan data-data yang dimiliki. Hal ini sangat berpotensi bias dalam pengambilan kesimpulannya. Sehingga saat digunakan hakim dalam memutus perkara, pertimbangan dan hukuman yang dijatuhkan juga akan bias. Keputusan yang bias bertentangan dengan asas equality before the law atau kedudukan yang sama di depan hukum dan prinsip audi alteram partem atau setiap pihak harus didengar.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah keamanan data. Dalam proses persidangan terdapat banyak dokumen yang termasuk dalam kategori rahasia negara. Sementara dalam penggunaan AI harus memberikan data-data penting untuk dilakukan analisis.
Jika AI tidak memiliki sistem keamanan yang kuat, kebocoran dan penyalahgunaan data serta informasi sangat berpotensi terjadi. Dampaknya bisa merusak integritas sistem hukum di Indonesia.
Zico menegaskan AI harus dipandang sebagai alat bantu. Analisis hukumnya tidak bisa serta merta diterima begitu saja. Pertimbangan dan keputusan akhir harus tetap berdasarkan pandangan hakim.
Karenanya Zico menegaskan perlunya regulasi penggunaan AI. Regulasi itu harus mencakup standar etika, batasan wewenang AI, serta mekanisme akuntabilitas jika terjadi kesalahan dalam sistem AI.
Tak kalah penting, kapasitas sumber daya manusia dalam sistem peradilan Indonesia juga harus ditingkatkan sehingga memahami penggunaan AI secara bijak dan bertanggung jawab.
"...menurut saya pikirannya tidak logis karena tidak ada upaya paksa di dalam penyelidikan."
"Kami berharap supaya yang bersangkutan (Nadiem) bisa hadir dan memenuhi panggilan penyidik untuk dilakukan pemeriksaan."
Pak Hasto pernah ngeluh juga ada yang make-make ini nih apa namanya, menggunakan nama saya...."
Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.
Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.
"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.
Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.
Tiga hari sebelum ditemukan tewas, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI dan tak pernah kembali.
"Bahasa yang diungkapkan Fadli Zon itu bahasa feodalisme paternalistik sekali. Tidak ada sensitif hak asasi manusia," ujar Romo Sandyawan.