Ditangkap Hidup, Pulang Mengenaskan: Dugaan Keterlibatan TNI di Balik Kematian Abral Wandikbo
Home > Detail

Ditangkap Hidup, Pulang Mengenaskan: Dugaan Keterlibatan TNI di Balik Kematian Abral Wandikbo

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Kamis, 19 Juni 2025 | 08:24 WIB

Suara.com - KASUS kematian Abral Wandikbo yang diduga dibunuh prajurit Tentara Nasional Indonesia memantik keprihatinan publik. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) bersama Koalisi Masyarakat Sipil bahkan telah mengadukan kasus ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Jumat, 13 Juni 2025.

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut aduan terkait dugaan pelanggaran HAM berat di balik kematian Abral masih dalam tahap analisis.

“Setelah itu kami akan turunkan tim ke lapangan untuk melakukan penyelidikan,” jelas Anis kepada Suara.com, Rabu, 18 Juni 2025.

Abral merupakan warga Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Pemuda berusia 27 tahun itu ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Telinga, hidung, dan mulut hilang—kaki dan betis melepuh, serta kedua tangan terikat borgol plastik pada 23 Maret 2025 lalu.

YKKMP bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keras tindakan tersebut. Mereka menilai ini sebagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan di luar proses hukum atau extrajudicial killing.

Direktur YKKMP Theo Hesegem bersama Koalisi Masyarakat Sipil menduga kuat tindakan keji itu dilakukan anggota TNI yang tengah menjalankan operasi militer di Kampung Yuguru pada 22-25 Maret 2025. Dugaan itu bukan tanpa sebab. Merujuk keterangan saksi-saksi, Theo menyebut tiga hari sebelum ditemukan tewas, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI dan tak pernah kembali.

“Baru pada 25 Maret 2025, Abral ditemukan telah meninggal dunia dalam kondisi yang sangat mengenaskan,” jelas Theo dalam keterangannya dikutip Suara.com, Rabu, 18 Juni 2025.

Sejumlah Mahasiswa Papua saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Sejumlah Mahasiswa Papua saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Sebelum kasus pembunuhan Abral itu terjadi, YKKMP mendapat laporan bahwa aparat TNI turut melakukan perusakan sejumlah rumah warga dan fasilitas publik di Kampung Yuguru. Kesaksian warga menyebut mereka melakukan pembongkaran terhadap sembilan rumah warga dan satu puskesmas untuk mengambil papan, kayu-kayu, dan peralatan lainnya pada rentang tanggal 22-23 Februari 2025.

“Sekolah juga digeledah oleh anggota TNI pada tanggal 24 Februari 2025 hingga peralatan belajar dihamburkan seperti buku-buku, ijazah, surat baptis, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Selain mengadukan Komnas HAM, YKKMP dan Koalisi Masyarakat Sipil juga telah melaporkan peristiwa ini ke Pusat Polisi Militer atau Puspom TNI.

“Aparat TNI di lapangan maupun pimpinan mereka di tingkat komando harus dimintai pertanggungjawaban hukum secara adil dan transparan,” tegas Theo.

TNI Tuding OPM

Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi mengakui aparat TNI yang bertugas di lapangan memang sempat melakukan penangkapan terhadap Abral. Namun ia membantah TNI terlibat dalam pembunuhan tersebut.

“Prajurit TNI tidak akan melakukan kebiadaban seperti itu,” kata Kristomei dalam keterangannya dikutip Suara.com, Rabu, 18 Mei 2025.

Penangkapan, kata Kristomei, saat itu dilakukan oleh anggota TNI di lapangan karena Abral merupakan bagian dari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap III/Ndugama. Operasi penindakan itu menurutnya juga telah dilakukan secara terukur dan profesional.

“Dalam penangkapan tersebut, ditemukan dua pucuk senjata rakitan serta beberapa catatan milik Abral yang isinya identik dengan unggahan di akun Facebook miliknya,” ungkap Kristomei.

Kristomei juga mengklaim keterlibatan Abral dalam kelompok OPM sangat jelas. Salah satunya ia merujuk bukti foto seseorang tengah memegang senjata jenis M-16 A2 yang disebut merupakan Abral.

Dalam pemeriksaan awal, Kristomei mengatakan Abral juga sempat bersedia bekerja sama untuk menunjukkan lokasi honai atau rumah tradisional Papua di Kampung Kwit, yang menurut informasinya menyimpan dua pucuk senjata organik. Namun di tengah perjalanan Abral disebut melarikan diri lalu melompat ke arah jurang.

“Saat itu aparat TNI tidak melanjutkan upaya pengejaran dan memastikan kondisi yang bersangkutan dikarenakan faktor keamanan yang memiliki resiko tinggi bagi keselamatan pasukan apabila melanjutkan gerakan,” katanya.

Kristomei lantas mencurigai bahwa Abral bisa saja dibunuh oleh kelompok OPM karena berencana membocorkan informasi penting kepada aparat. Namun, tudingan malah diarahkan kepada TNI hanya karena yang terakhir berinteraksi dengan korban.

Sejumlah Mahasiswa Papua saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Sejumlah Mahasiswa Papua saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Tudingan pelanggaran HAM seperti ini selalu dilakukan oleh OPM,” ujarnya.

Lepas Tanggung Jawab

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai penjelasan Kristomei mengenai kematian Abral tersebut sebagai bentuk lepas tanggung jawab. Padahal fakta menunjukkan bahwa sebelum ditemukan tewas, korban dalam tahanan TNI yang seharusnya dapat menjamin keselamatannya.

“Mengatakan bahwa Abral melarikan diri lalu ditemukan dalam kondisi tak bernyawa dan termutilasi di bagian wajah adalah pernyataan yang tidak bertanggung jawab,” tutur Usman kepada Suara.com.

Karena itu Usman mendesak TNI secara terbuka menjelaskan kasus ini kepada publik. Khususnya kepada keluarga korban yang saat ini mencari keadilan atas pembunuhan Abral. Apalagi saat penangkapan dilakukan mereka sempat menjanjikan akan mengembalikan Abral dalam kondisi hidup.

“Seharusnya TNI melakukan investigasi mengusut bagaimana Abral terbunuh bukan malah membuat statemen yang tidak sensitif terhadap keluarga korban,” ujarnya.

Pernyataan TNI terkait pengakuan Abral, kata Usman, juga sangat janggal. Sebab menurut keterangan pihak keluarga Abral tidak bisa berbahasa Indonesia. Terlebih ketika dilakukan penangkapan dan pemeriksaan, Abral juga tidak mendapatkan pendampingan hukum dari pengacara atau penerjemah.

“Lalu dengan cara apa TNI menginterogasinya?” ujar Usman.

Sementara anggota Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Muhammad Yahya Ihyaroza menilai pernyataan TNI terkait kematian Abral sebagai bentuk pemutarbalikan fakta.

Yahya juga mengkritisi cara TNI dalam menetapkan identitas target operasi hanya berdasarkan bukti visual yang meragukan. Ia merujuk pada kasus Abral, yang disebut TNI sebagai anggota OPM hanya karena adanya foto memegang senjata laras panjang di media sosial.

“Itu pun fotonya tidak jelas. Tapi karena dia orang Papua, berkulit hitam dan berambut keriting, langsung dianggap sebagai separatis. Ini pendekatan yang rasis,” jelas Yahya kepada Suara.com.

Yahya lantas menyinggung pola yang sama dalam sejumlah kasus kekerasan sebelumnya, seperti kasus mutilasi di Timika tahun 2022 yang melibatkan enam anggota TNI. Kala itu, TNI menyatakan keempat korban adalah anggota OPM. Namun, hasil investigasi KontraS membuktikan sebaliknya.

“Satu korban adalah lulusan Universitas Cenderawasih, satu kepala desa, dan dua lainnya PNS. Mereka tak punya kaitan dengan gerakan separatis. Kami lampirkan semua dokumen resmi dalam laporan investigasi,” beber Yahya.

Kasus serupa, lanjut Yahya, juga terjadi pada 2024 di Puncak Jaya, dalam peristiwa yang disebut "manusia gentong", di mana seorang warga Papua disiksa dalam tong. TNI menyatakan korban adalah anggota OPM, tapi korban kemudian dipulangkan oleh pihak kepolisian karena tidak terbukti terlibat dalam kegiatan separatis.

“Ini menunjukkan pola tuduhan sepihak yang terus berulang. Padahal, sekalipun seseorang terbukti anggota TPNPB/OPM, penindakan tetap menjadi kewenangan kepolisian, bukan TNI. Papua bukan wilayah operasi militer,” tegasnya.

Ia juga mengkritik klaim Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi yang menyebut kematian Abral tidak mungkin dilakukan TNI.

“Seharusnya mereka bisa membuktikan terlebih dahulu melalui proses hukum yang jelas dan transparan,” pungkasnya.


Terkait

Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal: Mengaburkan Nama Besar di Balik Tragedi Mei 98?
Rabu, 18 Juni 2025 | 22:07 WIB

Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal: Mengaburkan Nama Besar di Balik Tragedi Mei 98?

"Bahasa yang diungkapkan Fadli Zon itu bahasa feodalisme paternalistik sekali. Tidak ada sensitif hak asasi manusia," ujar Romo Sandyawan.

Bola Panas Pemakzulan Gibran, Ujian Loyalitas Prabowo atau Sekadar Politik Sandera?
Rabu, 18 Juni 2025 | 19:53 WIB

Bola Panas Pemakzulan Gibran, Ujian Loyalitas Prabowo atau Sekadar Politik Sandera?

Meski usulan pemakzulan Gibran ditujukan kepada DPR dan MPR, nasib bola panas ini pada akhirnya tidak bergantung pada riuhnya sidang parlemen

Intip 'Irone Dome' Indonesia, Siapkah Bila Terjadi Perang Rudal seperti Iran Vs Israel?
Rabu, 18 Juni 2025 | 19:29 WIB

Intip 'Irone Dome' Indonesia, Siapkah Bila Terjadi Perang Rudal seperti Iran Vs Israel?

Bagaimana nasib Indonesia bila terjadi skenario perang rudal hipersonik seperti yang dipertontonkan Iran versus Israel?

Terbaru
Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal: Mengaburkan Nama Besar di Balik Tragedi Mei 98?
polemik

Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal: Mengaburkan Nama Besar di Balik Tragedi Mei 98?

Rabu, 18 Juni 2025 | 22:07 WIB

"Bahasa yang diungkapkan Fadli Zon itu bahasa feodalisme paternalistik sekali. Tidak ada sensitif hak asasi manusia," ujar Romo Sandyawan.

Dari Jawa Barat ke Jakarta: Efektifkah Barak Militer Redam Tawuran Pemuda? polemik

Dari Jawa Barat ke Jakarta: Efektifkah Barak Militer Redam Tawuran Pemuda?

Rabu, 18 Juni 2025 | 17:06 WIB

"Jadi lebih baik Pemerintah Provinsi Jakarta membuat program yang lebih spesifik dan inovatif, jelas Rakhmat.

Habiburokhman Protes MK Kebanyakan Batalin UU, Tapi DPR Tak Pernah Nanya Kenapa Rakyat Menggugat polemik

Habiburokhman Protes MK Kebanyakan Batalin UU, Tapi DPR Tak Pernah Nanya Kenapa Rakyat Menggugat

Rabu, 18 Juni 2025 | 12:36 WIB

UU yang disahkan DPR sering dibatalkan MK. Kritikan muncul, DPR diminta evaluasi proses pembuatan UU yang dinilai kurang akuntabel dan minim partisipasi publik.

Retret Kepala Sekolah Rakyat: Ancaman Disiplin yang Menyempitkan Akal? polemik

Retret Kepala Sekolah Rakyat: Ancaman Disiplin yang Menyempitkan Akal?

Rabu, 18 Juni 2025 | 07:23 WIB

Pola militeristik pasti menerapkan sistem komando dan pembungkaman. Mustahil akan ada ruang kritis di dalamnya, ujar Castro.

Mafia Sawit di Tesso Nilo: Antara Konservasi, Korupsi, dan Masa Depan Hutan polemik

Mafia Sawit di Tesso Nilo: Antara Konservasi, Korupsi, dan Masa Depan Hutan

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:05 WIB

Semakin meluas kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo dan timbulnya dampak sosial adalah bukti dari lemahnya pengawasan, serta pembiaran yang berlangsung bertahun-tahun.

BSU Gagal Cegah PHK: Jutaan Pekerja Rentan Jadi Korban? polemik

BSU Gagal Cegah PHK: Jutaan Pekerja Rentan Jadi Korban?

Selasa, 17 Juni 2025 | 15:19 WIB

Sebab kondisinya justru pekerja informal seperti ride hailing atau ojol itu sangat rentan, ungkap Jaya.

Ironi Kekerasan Seksual oleh Anak di Bekasi: Ketika Korban Berubah Jadi Pelaku polemik

Ironi Kekerasan Seksual oleh Anak di Bekasi: Ketika Korban Berubah Jadi Pelaku

Selasa, 17 Juni 2025 | 07:58 WIB

Masalah itu bukan untuk dihilangkan, tapi masalah itu harus ditangani, kata Novrian.