Habiburokhman Protes MK Kebanyakan Batalin UU, Tapi DPR Tak Pernah Nanya Kenapa Rakyat Menggugat
Home > Detail

Habiburokhman Protes MK Kebanyakan Batalin UU, Tapi DPR Tak Pernah Nanya Kenapa Rakyat Menggugat

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 18 Juni 2025 | 12:36 WIB

Suara.com - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyampaikan keluh kesahnya saat rapat dengar pendapat umum membahas masukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau (KUHAP) di Gedung DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Selasa 17 Juni  2025.

Dalam rapat pembahasan yang dilakukan bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Peradi, Habiburokhman tetiba mengeluhkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasalnya, lembaga penegak konstitusi tersebut kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR.

Padahal, Habiburokhman mengemukakan bahwa sebagai legislator, mereka kerap kelelahan membahas rancangan undang-undang hingga menjadikannya sebagai produk hukum.

"Dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Habiburokhman.

Dia menyebut, MK biasanya punya senjata untuk membatalkan undang-undang dibuat DPR, seperti minim partisipasi publik yang bermakna, tidak mengakomodasi right to be heard atau hak untuk didengarkan, right to be considered atau hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau right to be explained.

Dia kemudian menyindir MK--menurutnya memutus gugatan undang-undang juga tidak menggunakan partisipasi publik yang bermakna.

Karenanya, Politisi Gerindra itu, berharap agar revisi KUHAP yang sedang mereka bahas, nantinya tidak secara gampang dipatahkan oleh MK.

"Jangan sampai kita sudah berbulan-bulan rapat dengar pendapat umum dengan gampangnya pula oleh sembilan orang itu dipatahkan lagi, 'oh ini nggak memenuhi meaningful participation karena keinginan mereka tidak terakomodir dalam UU ini'," ujarnya.

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengkritisi pernyataan Habiburokhman tersebut. Menurut Ardi, banyaknya gugatan undang-undang ke MK harus menjadi bahan evaluasi bagi DPR untuk segera berbenah.

Merujuk pada data, sepanjang Januari hingga Mei 2025, MK menerima 100 permohonan gugatan undang-undang.

Angka itu hampir setengah gugatan undang-undang yang diajukan ke MK pada 2024, yakni sebanyak 189 perkara.

"Jika banyak undang-undang yang dibatalkan MK, artinya DPR harus berbenah dan mengevaluasi diri," kata Ardi saat dihubungi Suara.com, Selasa 17 Juni 2025.

Berbenah diri itu bisa dilakukan DPR, dengan mulai mempertanyakan apakah pembuatan undang-undang oleh DPR dan pemerintah sudah akuntabel sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan.

Serta, apakah DPR dan pemerintah sudah melakukan review konstitusionalitas terhadap undang-undang yang dibuatnya sebelum disahkan menjadi aturan.

Pemantauan Imparsial menemukan banyak undang-undang yang proses pembuatannya terkesan tertutup, tidak akuntabel, dan sarat akan kepentingan segelintir elit, khususnya mereka yang terafiliasi dengan kekuasaan sehingga merugikan publik.

Made with Flourish

Tak hanya itu, Imparsial juga menemukan sejumlah undang-undang yang dibuat secara terburu-buru dan tidak mengindahkan aspirasi atau suara publik.

Adapun sejumlah undang-undang yang jadi sorotan publik, seperti revisi Undang-undang TNI yang sudah disahkan pada Maret lalu.

Undang-undang dianggap menghidupkan kembali Dwi Fungsi TNI, karena memperluas kewenangan militer di ranah sipil.

Saat itu proses pembahasannya juga terkesan tertutup, terlihat dari pembahasannya yang dilakukan di salah satu hotel mewah pada hari libur dan tertutup untuk media.

Setidaknya pada tahun 2025 ini, terdapat belasan gugatan terhadap UU TNI yang diajukan ke MK.

Ada juga revisi Undang-Undang Minerba yang dibahas secepat kilat. Kemudian revisi UU BUMN pun demikian, bahkan draf revisi sempat tak bisa diakses oleh publik.

Lalu undang-undang fenomenal Cipta Kerja, setidaknya sampai Oktober 2024, aturan tersebut telah digugat sebanyak 37 kali ke MK.

Banyak gugatan itu karena pembahasannya yang problematik yang pada akhirnya dinilai sangat merugikan kaum buruh.

Buruknya produk undang-undang yang dilahirkan DPR, juga tergambar dari hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang digelar pada 22-28 Mei 2025.

Tingkat Kepercayaan Publik

Tingkat kepercayaan publik kepada DPR tergolong rendah, hanya 43,2 persen, dengan urutan ke 13 dari 15 lembaga.

Sementara, MK berada pada urutan ke lima sebagai lembaga paling dipercaya dengan persentase sebesar 74,3 persen.

Buruknya produk Undang-Undang DPR, juga diamini Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah.

Saat diwawancarai Suara.com pada 2 Juni 2025 lalu, Herdiansyah menyebut terdapat sejumlah faktor dibalik banyaknya undang-undang digugat ke MK.

Salah satunya, pembuatan undang-undang yang tidak lagi didasari oleh kepentingan publik.

Hal itu menurutnya karena minimnya keterlibatan publik. Padahal, ditegaskannya keterlibatan publik dalam pembuatan undang-undang merupakan aspek terpenting.

Sebab, tanpa itu undang-undang yang dihasilkan, selain kehilangan legitimasinya, semakin berpotensi digugat, sebab hanya mengakomodir kepentingan publik.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyoroti dominasi partai politik pendukung pemerintah di DPR.

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat menggelar RDPU bersama LSPK dan Peradi membahas masukan Revisi KUHAP yang digelar di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 17 Juni 2025. [Tangkapan layar]
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat menggelar RDPU bersama LSPK dan Peradi membahas masukan Revisi KUHAP yang digelar di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 17 Juni 2025. [Tangkapan layar]

Sebagaimana diketahui hampir semua anggota DPR, kecuali PDIP, berasal dari partai pendukung pemerintah.

Dominasi partai pendukung pemerintah itu, menurutnya berkontribusi atas buruknya produk undang-undang yang dilahirkan, karena cenderung lebih mengedepankan kepentingan elite daripada publik.

Ingkari Konstitusi

Di sisi lain, Imparsial memandang, pernyataan Habiburokhman seolah mengingkari tugas masing-masing lembaga negara sebagaimana diamanatkan konstitusi. DPR dan pemerintah bertugas membuat aturan perundang-undang.

Sedangkan MK untuk mengevaluasi produk perundangan-undangan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah, dengan memastikan aturan yang dibentuk tidak bertentangan dengan konstitusi.

Dijelaskannya, para hakim MK, setidaknya adalah orang-orang yang paling memahami hukum Konstitusi dibandingkan yang lain.

"Jadi, uji konstitusionalitas suatu undang-undang merupakan sebuah mekanisme hukum untuk menjaga agar negara ini tidak dijalankan berdasarkan pada kekuasaan."

"Di mana pemerintah bisa membuat peraturan secara semena-mena, tanpa mengindahkan hak-hak dan ketentuan yang dijamin dalam Konstitusi," katanya.


Terkait

Revisi KUHAP, LPSK Usul Terpidana yang Tidak Bayar Restitusi Tak Dapat Hak Warga Binaan
Selasa, 17 Juni 2025 | 14:20 WIB

Revisi KUHAP, LPSK Usul Terpidana yang Tidak Bayar Restitusi Tak Dapat Hak Warga Binaan

Ketua LPSK usul terpidana yang tak bayar restitusi, haknya sebagai warga binaan dicabut. Usulan ini diajukan dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI terkait Revisi KUHAP.

Bahas Masukan Revisi KUHAP, Komisi III DPR Gelar Rapat Bareng LPSK Hingga Peradi
Selasa, 17 Juni 2025 | 13:16 WIB

Bahas Masukan Revisi KUHAP, Komisi III DPR Gelar Rapat Bareng LPSK Hingga Peradi

Komisi III DPR RI kebut revisi KUHAP, target selesai sebelum 2026. RDPU bersama LPSK, Peradi, dan berbagai ormas digelar untuk menerima masukan.

Terbaru
Retret Kepala Sekolah Rakyat: Ancaman Disiplin yang Menyempitkan Akal?
polemik

Retret Kepala Sekolah Rakyat: Ancaman Disiplin yang Menyempitkan Akal?

Rabu, 18 Juni 2025 | 07:23 WIB

Pola militeristik pasti menerapkan sistem komando dan pembungkaman. Mustahil akan ada ruang kritis di dalamnya, ujar Castro.

Mafia Sawit di Tesso Nilo: Antara Konservasi, Korupsi, dan Masa Depan Hutan polemik

Mafia Sawit di Tesso Nilo: Antara Konservasi, Korupsi, dan Masa Depan Hutan

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:05 WIB

Semakin meluas kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo dan timbulnya dampak sosial adalah bukti dari lemahnya pengawasan, serta pembiaran yang berlangsung bertahun-tahun.

BSU Gagal Cegah PHK: Jutaan Pekerja Rentan Jadi Korban? polemik

BSU Gagal Cegah PHK: Jutaan Pekerja Rentan Jadi Korban?

Selasa, 17 Juni 2025 | 15:19 WIB

Sebab kondisinya justru pekerja informal seperti ride hailing atau ojol itu sangat rentan, ungkap Jaya.

Ironi Kekerasan Seksual oleh Anak di Bekasi: Ketika Korban Berubah Jadi Pelaku polemik

Ironi Kekerasan Seksual oleh Anak di Bekasi: Ketika Korban Berubah Jadi Pelaku

Selasa, 17 Juni 2025 | 07:58 WIB

Masalah itu bukan untuk dihilangkan, tapi masalah itu harus ditangani, kata Novrian.

Prabowo-Gibran Dianggap Berhasil Berantas Korupsi? Ada Fakta Pahit di Baliknya! polemik

Prabowo-Gibran Dianggap Berhasil Berantas Korupsi? Ada Fakta Pahit di Baliknya!

Senin, 16 Juni 2025 | 21:49 WIB

"Saya melihat pemerintahan Prabowo belum punya prestasi apapun yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Baru semangat pidato dan janji," kata Zaenur.

Rahasia Empat Pulau Aceh: 'Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang' polemik

Rahasia Empat Pulau Aceh: 'Tanya Rembulan, Tanya Rumput di Pulau Panjang'

Senin, 16 Juni 2025 | 18:53 WIB

Ada pejabat pemerintah di Jakarta yang bilang MoU Helsinki tidak bisa dijadikan dasar. Saya kira itu orang tidak paham sejarah perdamaian Aceh," kata Munawar.

Giant Sea Wall: Solusi Krisis Iklim atau Proyek Bisnis Raksasa? polemik

Giant Sea Wall: Solusi Krisis Iklim atau Proyek Bisnis Raksasa?

Senin, 16 Juni 2025 | 16:07 WIB

"Bukannya belajar dari kesalahan, Prabowo justru memilih untuk melakukan kesalahan yang lebih buruk dengan membangun giant sea wall," ujar Silvia.