Suara.com - Pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp10,72 triliun untuk program Bantuan Subsidi Upah atau BSU. Program tersebut masih terus dijadikan instrumen andalan pemerintah dalam menjaga daya beli pekerja sektor formal di tengah berbagai tekanan ekonomi. Apakah desain program tersebut masih relevan?
MENTERI Ketenagakerjaan Yassierli menyebut program BSU merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah. Salah satu tujuannya untuk memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tetap memiliki daya beli yang cukup di tengah tekanan ekonomi. Pemerintah juga berharap lewat program ini pertumbuhan ekonomi nasional akan ikut terdorong.
Terdapat beberapa syarat bagi penerima BSU. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah bagi Pekerja/Buruh.
Syarat penerima BSU salah satunya harus berstatus pekerja formal yang tercatat sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan hingga April 2025. Selain itu mereka juga harus berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta/perbulan, serta tidak sedang menerima subsidi program Keluarga Harapan.
Pada 2025 pemerintah menargetkan 17,3 juta penerima BSU. Bantuan tersebut disalurkan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp600 ribu/orang. Angka tersebut merupakan akumulasi dari total BSU untuk bulan Juni dan Juli.
Yassierli awalnya menargetkan program BSU ini akan disalurkan di awal Juni 2025. Pemerintah menurutnya perlu hati-hati dalam memverifikasi data agar tepat sasaran.
“Pemadanan data calon penerima telah kami lakukan bersama BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Yassierli.
Namun sayangnya hingga kekinian program BSU belum juga terealiasi. Kepala Biro Humas Kemnaker, Sunardi Manampiar Sinaga menyebut proses pemadanan dan validasi data calon penerima masih berlangsung. Selain juga masih dilakukan proses finalisasi administrasi keuangan melalui Kementerian Keuangan di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian.
“Pencairan BSU 2025 sesegera mungkin akan direalisasikan dalam waktu dekat ini setelah finalisasi rampung,” kata dia kepada Suara.com, Selasa, 17 Juni 2025.
Tak Sentuh Pekerja Rentan
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan menilai program BSU belum cukup menyentuh akar persoalan terkait perlindungan sosial di Indonesia. Terutama bagi kelompok pekerja informal yang sebenarnya paling terdampak di tengah tekanan ekonomi saat ini.
Jaya mengatakan program BSU selama ini hanya menargetkan pekerja sektor formal yang terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan. Skema tersebut memang sederhana secara administratif, tapi tak efektif.
“Sebab kondisinya justru pekerja informal seperti ride hailing atau ojol itu sangat rentan,” ungkap Jaya kepada Suara.com, Selasa, 17 Juni 2025.
Berdasar data Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) jumlah pekerja informal di Indonesia hingga Februari 2024 tercatat mencapai 84,13 juta atau setara 59,17 persen dari total penduduk yang bekerja. Angka tersebut lebih tinggi jika dibanding jumlah pekerja sektor formal yang hanya mencapai 58,05 juta atau 40,83 persen.
Jaya juga menyoroti realitas pekerja informal saat ini. Di mana banyak dari mereka yang harus bekerja lebih lama demi mendapat penghasilan yang layak.
“Rata-rata itu mereka kerja 58 jam seminggu hanya untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Maka, BSU seharusnya juga menyasar sektor informal,” ujarnya.
Di sisi lain, Jaya mengakui program BSU ini tetap relevan dalam konteks jangka pendek, terutama untuk menahan guncangan ekonomi dalam waktu cepat. Namun sayangnya nilai bantuan Rp600 ribu selama dua bulan itu menurutnya masih terlalu kecil untuk menopang daya beli masyarakat di tengah inflasi dan tekanan ekonomi.
“Ada baiknya ditingkatkan hingga Rp1 juta dan diberikan secara berkelanjutan sampai Desember,” usul Jaya.
Tak hanya itu, program BSU menurut Jaya juga tidak dapat berdiri sendiri. Sebab sebagai bantuan tunai, BSU hanya terkesan menyelesaikan masalah di permukaan.
Sementara untuk menciptakan dampak jangka panjang, Jaya menilai program BSU perlu dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan pemberdayaan ekonomi yang lebih menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan. Misalnya menciptakan lapangan kerja berkelanjutan dan memperkuat ekonomi lokal. Hal itu jauh lebih berdampak bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
“Tidak cukup hanya dengan transfer tunai sesaat,” tuturnya.
Jaya juga menyayangkan keputusan pemerintah mencabut kebijakan diskon tarif listrik rumah tangga. Padahal kebijakan semacam itu lebih memberikan dampak signifikan dan tidak bisa digantikan begitu saja oleh BSU.
“Dampaknya sangat signifikan dan tidak bersifat substitusi dengan BSU. Ini justru harus saling melengkapi,” jelasnya.
Pandangan serupa disampaikan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Ia menilai program BSU yang terlalu kecil dan terlambat, menjadi bukti ketidaksinkronan antara keluhan pekerja di lapangan dan respons kebijakan pemerintah.
Nur juga menilai besaran program BSU Rp600 ribu sebatas simbolis jika dibandingkan lonjakan harga komoditas pokok. Melihat kondisi tersebut ia meyakini tanpa adanya perbaikan data penerima disertai dengan kebijakan-kebijakan lain berupa pelatihan vokasi dan program padat karya sinergis program BSU tidak akan berdampak efektif terhadap kondisi perekonomian nasional.
Oleh karena itu, Nur mendorong pemerintah untuk lebih mengedepankan kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang dan menjamin keadilan sosial. Bukan sebatas kebijakan fiskal reaktif semata.
“Jika tidak, BSU akan selamanya menjadi cerita tentang 'rupiah yang terlambat' dan 'data yang ingkar janji' bagi mereka yang paling membutuhkan,” ujar Nur kepada Suara.com.
Tak Efektif Cegah PHK
Program subsidi upah sebenarnya tidak hanya berlaku di Indonesia. Tetapi juga diterapkan di berbagai negara, khususnya selama masa pandemi sebagai bagian dari respons fiskal. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam desain dan orientasi kebijakannya.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI membeberkan berbagai desain yang diterapkan beberapa negara terkait skema subsidi upah tersebut dalam laporan bertajuk "Bantuan Subsidi Upah (BSU) Setelah Lima Tahun: Masihkah Relevan? Bagaimana Seharusnya Ke Depan?". Laporan yang diterbitkan pada Juni 2025 ini merupakan hasil kajian yang ditulis oleh Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah.
Hanri dan Nia menyebut negara seperti Australia, Inggris, atau Jerman menjalankan skema subsidi berbasis perusahaan. Berbeda dengan program BSU di Indonesia yang sejak awal dirancang sebagai bantuan langsung ke pekerja.
Mereka menilai desain program BSU yang tidak berbasis perusahaan membuat tujuan jangka panjang untuk menjaga stabilitas hubungan kerja menjadi tidak tercapai.
“Akibatnya, meskipun BSU relatif cepat dan sederhana secara administratif, efektivitasnya dalam mencegah PHK atau mendorong pemulihan hubungan kerja formal menjadi terbatas,” tulisnya.
Berdasar catatan Kemnaker dalam Satu Data Ketenagakerjaan Kemnaker diketahui angka pemutusan hubungan kerja atau PHK di Indonesia terus mengalami peningkatan. Di tahun 2024 Kemnaker mencatat angka PHK mencapai 77.965 orang atau naik signifikan dibandingkan 2023 yang hanya mencapai 64.855 orang.
Kondisi tersebut, kata Hanri dan Nia, kontras dengan pendekatan Australia lewat program JobKeeper. Melalui program tersebut pemerintah Australia secara rutin membayar perusahaan agar pekerja tetap berada dalam daftar gaji.
Skema yang serupa juga dilakukan Inggris lewat program Coronavirus Job Retention Scheme yang menanggung hingga 80 persen upah pekerja yang dirumahkan sementara. Bahkan di Jerman, skema Kurzarbeit telah lama menjadi bagian dari sistem ketenagakerjaan—pemerintah mengganti sebagian penghasilan pekerja dengan jam kerja yang dipangkas, sehingga perusahaan tidak perlu memberhentikan pegawainya.
Negara-negara ASEAN, menurut Hanri dan Nia, mayoritas juga menerapkan skema subsidi upah berbasis perusahaan. Seperti Malaysia melalui Program Subsidi Upah (PSU) yang menyalurkan bantuan kepada perusahaan dengan syarat mutlak: tidak boleh melakukan PHK. Lalu Singapura melalui Jobs Support Scheme (JSS) menyalurkan subsidi antara 25–75 persen dari upah pekerja dengan perusahaan sebagai perantara.
“Dengan demikian, subsidi ini berfungsi sebagai instrumen job retention yang membantu menjaga stabilitas hubungan kerja formal selama masa krisis,” pungkasnya.
Bagaimana jika Anda gagal memperoleh BSU? Ini solusinya.
Bagaimana jika nama Anda tidak muncul di BSU BPJS Ketenagakerjaan? Lakukan langkah - langkah berikut.
Update dan edit data diri di SIPP BPJS Ketenagakerjaan merupakan langkah krusial bagi penerima BSU.
Masalah itu bukan untuk dihilangkan, tapi masalah itu harus ditangani, kata Novrian.
"Saya melihat pemerintahan Prabowo belum punya prestasi apapun yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Baru semangat pidato dan janji," kata Zaenur.
Ada pejabat pemerintah di Jakarta yang bilang MoU Helsinki tidak bisa dijadikan dasar. Saya kira itu orang tidak paham sejarah perdamaian Aceh," kata Munawar.
"Bukannya belajar dari kesalahan, Prabowo justru memilih untuk melakukan kesalahan yang lebih buruk dengan membangun giant sea wall," ujar Silvia.
Tetapi kalau korupsinya karena keserakahan atau corruption by greed, gaji berapapun tidak akan menjadi jawaban, ujar Zaenur.
Salah satu hal dari Negeri Sakura selama ini terkenal dengan budaya kerja keras, disiplin, hingga kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.
Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu sama Agak Laen, lucu mana?