Suara.com - PEMERINTAH kembali mencanangkan pembangunan giant sea wall (GSW) atau tanggul laut raksasa setelah tertunda selama puluhan tahun. Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya dengan segera membentuk badan otorita khusus menangani proyek ambisius tersebut.
"Sekarang tidak ada lagi penundaan. Sudah tidak perlu lagi banyak bicara, kita akan kerjakan itu segera," kata Prabowo dalam pidatonya di acara International Conference on Infrastructure di JCC Senayan, Jakarta pada Kamis, 12 Juni 2025.
Pembangunan tanggul laut raksasa bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi dampak pemanasan global yang mengakibatkan tinggi permukaan air laut meningkat. Akibatnya sejumlah wilayah terancam tenggelam, salah satunya adalah Jakarta.
Situasi ini diperburuk dengan menurunnya tinggi permukaan tanah karena pembangunan kota secara masif yang mengakibatkan beban tanah semakin berat. World Economic Forum (WEF) 2024 mengungkapkan permukaan tanah di Jakarta turun rata-rata 17 Cm setiap tahun.
Selain itu, ketergantungan terhadap penggunaan air tanah seperti sumur bor turut berkontribusi terhadap turunnya permukaan tanah. Di Jakarta, hingga 2024, 60 persen warga memang sudah menggunakan air pipa. Namun, untuk menahan penurunan permukaan tanah, warga sudah harus beralih 100 persen menggunakan air pipa.
Ditentang Sejak Awal
Rencana proyek pembangunan GSW sedari awal hingga saat ini masih menimbulkan pertentangan dari banyak kalangan. Sebab proyek ini dinilai berdampak buruk pada lingkungan serta bukan solusi menanggulangi peningkatan tinggi permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah.
Urban Justice Campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Silvia Sirait menyebut pembangunan tanggul laut di Indonesia bukan hal baru. Temuan Greenpeace di beberapa kawasan pesisir, keberadaan tanggul laut tak bisa dijadikan sebagai solusi jangka panjang.
Silvia mencontohkan tanggul laut di kawasan Marunda Pulo, dan Muara Karang, Jakarta Utara. Pada awal dibangun keberadaannya dapat mencegahnya terjadinya banjir rob, tapi tidak bertahan lama karena seiring berjalannya waktu mengalami pergeseran hingga abruk.
Penelitian Greenpeace mengungkap kawasan pesisir memiliki tekstur tanah yang berbeda. Komposisi tanahnya didominasi pasir atau lumpur yang sifatnya gembur, tidak padat.
"Ketika di atasnya ditaruh tanggul atau beton dalam bentuk apapun, cepat atau lambat dia pasti akan turun. Kenapa, karena Beton lebih berat. Wilayah pesisir itu tak sanggup menanggung beban beton yang terlalu berat. Akhirnya apa? tanggulnya turun," kata Silvia kepada Suara.com, Senin, 16 Juni 2025.
Dia menjelaskan, pembangunan tanggul laut membuat permukaan tanah di kawasan pesisir turun, dan diperburuk dengan peningkatan permukaan air laut. Belajar dari kasus tersebut, pembangunan GSW tidak dapat dijadikan sebagai solusi.
"Bukannya belajar dari kesalahan, pemerintahan Prabowo justru memilih untuk melakukan kesalahan yang lebih buruk dengan membangun giant sea wall," ujar Silvia.
Greenpeace memprediksi, GSW akan memiliki bobot lima sampai tujuh kali lebih besar dari tanggul laut yang sudah pernah dibangun. Artinya, lanjut Silvia, dengan tetap akan membangun GSW, pemerintah justru membuat kesalahan lima sampai tujuh kali lebih fatal.
Selain tidak dapat dijadian sebagai solusi, pembangunan GSW berpotensi merusak ekosistem laut karena pembangunannya dalam skala besar. Terumbu karang terancam rusak yang berdampak terhadap keanekaragaman biota laut. Begitu juga dengan keberadaan padang lamun yang semakin terancam keberadaannya.
Kawasan hutan mangrove yang sudah tidak luas lagi juga semakin terancam karena potensi pembabatan. Padahal selama ini hutan mangrove berfungsi sebagai pengaman alami dari abrasi dan menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Sependapat dengan Silvia, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan pembangunan GSW akan mengubah arus laut karena fungsi tangulnya sebagai penghalang air laut ke daratan. Perubahan itu disebabkan tanggul laut yang memantulkan energi gelombang sehingga mengubah pola pergerakan air. Hal itu membuat tinggi permukaan air laut meningkat di kawasan pesisir lainnya.
Sehingga yang paling terdampak dari pembangunan GWS adalah nelayan dan masyarakat di kawasan pesisir. Kerusakan ekosistem laut akan membuat nelayan semakin sulit mendapatkan ikan.
"Yang paling kami khawatirkan adalah nelayan dan perempuan-perempuan bisa jadi beralih profesi, tidak lagi melaut. Karena hari ini tidak ada giant sea wall saja ekonomi mereka masih sulit, apalagi dengan dibatasi ruangnya seperti itu," kata Susan kepada Suara.com.
Solusi Krisis Iklim atau Bisnis?
GSW rencananya akan dibangun di kawasan pesisir laut utara Jawa atau sepanjang 500 kilometer, terbentang dari kawasan Banten hingga Jawa Timur dan akan memakan waktu selama 15 tahun sampai 20 tahun. Dana yang dibutuhkan sangat fantastis, ditaksir menelan biaya hingga US$ 80 miliar atau setara Rp 1.280 triliun. Jakarta dan Semarang, dua kawasan yang diprioritaskan dalam proyek ini.
Untuk kawasan teluk utara Jakarta, Prabowo menyebut akan menelan dana sekitar US$ 8 miliar hingga US$ 10 miliar. Dan proses pembangunannya memakan waktu sekitar delapan hingga sepuluh tahun.
Mengingat mega proyek ini menelan anggaran yang fantastis, Prabowo membuka opsi untuk mengajak investor asing seperti China hingga Timur Tengah untuk turut berinvestasi.
Sementara itu, Gubernur Jakarta Pramono Anung siap mendukung mega proyek tersebut. Pemerintah Jakarta bakal menyiapkan anggaran sebesar Rp 5 triliun setiap tahun untuk GSW.
Melihat anggaran yang dibutuhkan, dan melibatkan investor asing, Susan menilai ada pergeseran tujuan dari pembangunan GSW. Dari kepentingan lingkungan menjadi kepentingan bisnis.
"Sekali lagi ini bukan murni upaya negara untuk menanggulangi krisis iklim, tapi ini adalah proyek iklim. Kita butuh climate justice, bukan climate business," tegas Susan.
Oleh karena itu, Susan menilai pembangunan GSW bukan hanya berupa tanggul raksasa di kawasan pesisir, melainkan reklamasi yang dampak lingkungannya jauh lebih besar. Sebagai catatan, GSW terbagi dua, tipe A berupa pembangunan tanggul beton raksasa di pesisir pantai, dan tipe B-C berupa reklamasi atau pembangunan pulau buatan.
"Artinya kalau dikaitkan dengan investasi sudah pasti ada pemanfaatan ruang lainnya. Kemungkinan besar ada reklamasi untuk mendatangkan investasi itu sendiri, kemudian dibikin seperti waterfront city dan lain-lain," ujar Susan.
Pendapat senada juga disampaikan Silvia. Sejak awal rencana pembangunan GSW tidak murni demi menghadapi krisis iklim. Oleh karena itu, Greenpeace mendesak pemerintah untuk tidak lagi menjadikan krisis iklim sebagai sebagai peluang bisnis.
"Ini tidak sama sekali memiliki tujuan untuk restorasi kondisi lingkungan atau upaya mitigasi, atau ada adaptasi terhadap krisis klim. Tapi sudah pasti niatnya adalah membuka peluang investasi terhadap investor asing," ujarnya.
"Jadi jangan jual restorasi lingkungan, jangan jual penanggulangan krisis klim untuk kepentingan bisnis," tegasnya.
Solusi yang Tepat?
Silvia menjelaskan, penurunan permukaan tanah dan meningkatnya tinggi permukaan air dua hal yang berbeda. Permukaan tanah menurun karena pembangunan kota yang sudah melebih kapasitas. Sedangkan tinggi permukaan air laut meningkat disebabkan pemanasan global yang mengakibatkan es di kawasan kutub Utara dan Selatan mencair.
Silvia lantas mempertanyakan solusi dari pemerintah untuk mengatasi krisis iklim yang jadi pemicu peningkatan tinggi permukaan laut. Sejauh ini, kata dia, tidak ada langkah kongkrit dari pemerintah.
Pun dengan upaya transisi energi terbarukan yang selalu digembar-gemborkan, justru meningkatkan produksi emisi karbon. Salah satu penyumbangnya adalah pertambangan nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Aktivitasnya mengakibatkan perubahan kawasan hutan menjadi lahan pertambangan.
Belum lagi aktivitas pertambangan lainnya, dan perluasan perkebunan yang mengorbankan kawasan hutan. Kemudian, ketergantungan terhadap energi fosil seperti batubara dan minyak bumi yang semakin berkontribusi menyebabkan pemanasan global.
Sejumlah aktivitas itu juga menjadikan Indonesia termasuk 10 negara penyumbang emisi karbon dioksida terbesar di dunia pada 2020 menurut Global Carbon Project. Indonesia berada pada urutan ke 6 dengan menyumbang 729 juta ton karbon dioksida.
Sementara penyebab turunnya permukaan tanah karena pembangunan yang tidak memperhatikan tata kota, dan daya tampungnya. Serta masih ketergantungan menggunakan air tanah.
Karena kedua hal tersebut merupakan dua hal berbeda, solusinya juga harus berbeda. Bukan justru menjadikan GSW sebagai solusi tunggal untuk mengatasi peningkatan permukaan air laut, dan penurunan permukaan tanah.
Menurut Greenpeace, solusinya pemerintah tak perlu membangun tanggul laut raksasa. Langkah yang bisa dilakukan cukup membangun tembok dalam skala kecil, dan secara bersamaan menanam mangrove.
Tembok skala kecil sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi banjir rob. Selanjutnya, ketika tembok mengalami pergeseran akan digantikan dengan mangrove yang sudah tumbuh besar sebagai tembok atau tanggul alami.
"Enggak ada riset yang menunjukkan bahwa tembok lebih baik daripada mangrove. Jelas mangrove jauh lebih baik. Mangrove bisa menimbulkan timbunan baru, sifat mangrove itu menimbulkan ekosistem, melestarikan ekosistem baru, merestorasi kerusakan-kerusakan akibat erosi dan abrasi karena dia dapat menjadi reklamasi alami," tandasnya.
"Presiden mengambil alih ini langsung dan dijanjikan secepatnya akan diselesaikan," kata Hasan Nasbi
Para calon peserta SPMB DKI Jakarta 2025 sedang dihadapkan pada tantangan yang cukup membuat frustrasi: kesulitan dalam mengakses atau login ke situs pendaftaran daring.
Dia mengatakan reshuffle menjadi kewenangan absolut dari Presiden Prabowo.
Tetapi kalau korupsinya karena keserakahan atau corruption by greed, gaji berapapun tidak akan menjadi jawaban, ujar Zaenur.
Salah satu hal dari Negeri Sakura selama ini terkenal dengan budaya kerja keras, disiplin, hingga kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.
Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu sama Agak Laen, lucu mana?
Prabowo bakal mereshuffle Bahlil jika sudah ada kepastian PDIP bergabung dengan koalisi partai pro pemerintah.
Sebelum mewajibkan karyawan swasta, pemerintah pusat seharusnya terlebih dahulu memberikan contoh.
Celios meragukan UMKM dapat mengelola tambang secara profesional dengan memperhatikan dampak lingkungan dan potensi konflik yang terjadi.
Jika rumah dibuat terlalu kecil, tidak hanya ruang hidup yang terbatas, tapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis penghuninya, ujar Irine.