Suara.com - Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan gaji hakim. Angkanya fantastis—mencapai 280 persen dari gaji saat ini untuk hakim tingkat pertama atau baru. Tapi benarkah kesejahteraan menjadi kunci utama mengikis praktik korupsi di tubuh yudikatif?
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto menaikkan gaji hakim disampaikan dalam acara Pengukuhan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama pada Peradilan Seluruh Indonesia di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada 12 Juni 2025.
“Saya Prabowo Subianto, Presiden RI ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan,” ucap Prabowo.
Kenaikan gaji tertinggi, kata Prabowo, akan diberikan kepada hakim tingkat pertama. Angkanya mencapai 280 persen dari gaji saat ini. Prabowo menegaskan bukan ingin memanjakan hakim, tapi ia menilai memang sudah selayaknya gaji hakim itu dinaikkan.
“Delapanbelas tahun hakim tidak menerima kenaikan gaji. Tiga persen saja nggak terima, lima persen aja tidak terima, benar?” tanya Prabowo.
Keputusan Prabowo itu disambut riuh tepuk tangan para hakim yang hadir. Ada sekitar 1.451 hakim tingkat pertama yang baru saja dikukuhkan. Mereka terdiri dari; 921 hakim peradilan umum, 326 hakim peradilan agama, 143 hakim peradilan tata usaha negara, dan 25 hakim peradilan militer.
Ribuan hakim tersebut akan ditempatkan di empat lingkungan peradilan. Di antaranya; 44 pengadilan negeri kelas II, 173 pengadilan agama kelas II, 22 pengadilan tata usaha negara tipe b dan c, dan 11 pengadilan militer tipe A dan B.
Prabowo berharap kenaikan gaji ini dapat meningkatkan kesejahteraan hakim. Sehingga para wakil ‘Tuhan’ itu tak lagi tergoda akan suap atau gratifikasi.
Lantas benarkah kesejahteraan menjadi kunci utama mengikis korupsi di tubuh yudikatif?
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Erma Nuzulia Syifa menilai sah dan tidak menolak jika Prabowo ingin menaikkan gaji hakim. Namun jika kenaikan gaji itu didasari atas pertimbangan mencegah korupsi, ia menilai itu kekeliruan.
“Sebab yang kerap kami temui, masalah utama dalam suap hakim adalah mekanisme pengawasan hakim, bukan masalah gaji,” kata Erma kepada Suara.com, Sabtu, 14 Juni 2025.
Sejak 2011 hingga 2024, ICW mencatat 29 hakim terseret dalam kasus korupsi. Mereka diduga menerima suap untuk mengatur vonis. Total nilai suapnya tak tanggung-tanggung, mencapai Rp107,9 miliar.
Di sisi lain, kata Erma, gaji hakim juga telah dinaikkan oleh Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi pada akhir masa jabatannya pada Oktober 2024. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (MA).
Jika merujuk PP Nomor 44 Tahun 2024, Erma menilai gaji terendah untuk hakim tingkat pertama sebesar Rp2.785.700 berikut tunjangan sebesar Rp11.900.000, sudah cukup menjamin kesejahteraan. Terlebih bagi hakim dengan jabatan ketua pengadilan yang besaran tunjangannya bisa mencapai lebih dari Rp50 juta per bulan.
“Itu belum termasuk berbagai tunjangan tambahan seperti tunjangan memeriksa perkara, tunjangan keluarga, hingga insentif lain,” beber Erma.
Erma turut mengungkap hasil penelusuran ICW terhadap profil keuangan beberapa hakim yang terseret kasus suap. Salah satunya hakim penerima suap dalam perkara pembunuhan oleh Gregorius Ronald Tannur. Rata-rata gaji dan tunjangan hakim tersebut dalam setahun diketahui bisa mencapai Rp300 juta.
“Dapat dilihat sebetulnya suap maupun jual beli putusan di pengadilan bukanlah karena hakim tidak sejahtera maupun tidak cukup gaji dan tunjangannya, tetapi karena adanya keserakahan atau greed,” jelasnya.
Corruption by Need
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman sependapat dengan ICW. Ia menilai keputusan Prabowo menaikkan gaji hakim hanya efektif menekan risiko korupsi karena kebutuhan atau corruption by need.
“Tetapi kalau korupsinya karena keserakahan atau corruption by greed, gaji berapapun tidak akan menjadi jawaban,” ujar Zaenur kepada Suara.com.
Korupsi di peradilan, kata Zaenur, memang tidak semata-mata terjadi karena kebutuhan ekonomi. Tetapi ada juga yang didorong oleh keserakahan atau corruption by greed. Kondisi ini bisa terlihat dari kasus-kasus besar yang terjadi.
“Para hakim yang kena OTT atau operasi tangkap tangan itu hakim-hakim senior. Bahkan hakim agung, yang tingkat kesejahteraannya sudah sangat tinggi. Itu masih menerima suap,” tuturnya.
Untuk mengatasi persoalan korupsi yang didasari keserakahan atau corruption by greed, Zaenur menekankan itu tidak bisa diselesaikan dengan sekadar meningkatkan kesejahteraan atau gaji. Tetapi perlu diiringi reformasi sistemik di tubuh peradilan. Mulai dari perbaikan manajemen sumber daya manusia atau SDM hingga kualitas pengawasan.
Perbaikan manajemen SDM, kata Zaenur, misalnya dapat dilakukan dengan menempatkan hakim-hakim berintegritas menjadi pimpinan di masing-masing satuan kerja. Kemudian perbaikan pengawasan dapat dilakukan dengan diiringi penjatuhan sanksi yang tegas dan keras.
“Menaikkan gaji hakim memang satu langkah baik, penting, dan perlu. Tetapi tidak menjadi silver bullet (solusi ajaib) yang akan menyelesaikan semua masalah korupsi. Masih dibutuhkan langkah-langkah lain,” jelasnya.
Zero Tolerance
Sementara Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto telah memberi peringatan keras kepada para hakim untuk tidak terlibat dalam praktik jual beli vonis. Ia menegaskan tidak akan memberikan toleransi bagi hakim yang terlibat dalam praktik lancung tersebut.
“Sebagai respons menyambut upaya pemerintah (menaikan gaji) tersebut, Mahkamah Agung akan tegas menegakkan prinsip zero tolerance,” kata Sunarto dalam acara Pembinaan Hakim di Hotel Mercure, Jakarta Pusat, Jumat, 13 Juni lalu.
Sunarto mengklaim sanksi tegas berupa pemberhentian tidak dengan hormat atau pemecatan akan langsung diberikan kepada hakim nakal. Sekecil atau sebesar apapun uang yang diterima.
“Ini bukan ancaman, tapi ini dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan saudara-saudara,” katanya.
Di samping itu, Sunarto juga mengklaim pihaknya akan terus meningkatkan pengawasan terhadap kinerja hakim. Salah satunya dengan melibatkan tim pengawas rahasia atau mystery shopper.
Pengawas rahasia itu, kata Sunarto, akan dikerahkan untuk mengawasi proses peradilan baik di pengadilan umum, agama, tata usaha negara, hingga militer. Mereka nantinya akan melakukan pengawasan secara ketat dengan didukung peralatan canggih.
“Saya bocorkan sedikit, ada kamera yang di kacamata, ada yang di kancing, ada yang di pulpen, hati-hati,” pungkasnya.
"Sebelum bertolak ke Rusia, Presiden Prabowo akan terlebih dahulu mengunjungi Singapura untuk bertemu dengan Perdana Menteri Singapura,"
Pramono mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana membangun setidaknya empat Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Sementara itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming tampak melepas keberangkatan Prabowo menuju ke Singapura
Film A Normal Woman ketolong akting Marissa Anita yang ciamik!
Awalnya film ini menjanjikan. Opening scene cukup solid dengan karakter yang tampaknya menarik.
Haruskan nonton web series-nya dulu sebelum nonton film Sore: Istri dari Masa Depan? Jawabannya ada di sini.
Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.